Home / Fiksi Remaja / About Me: Alshameyzea / Chapter 131 - Chapter 140

All Chapters of About Me: Alshameyzea : Chapter 131 - Chapter 140

143 Chapters

Bab 47. Trust Me, Please.. (Part 2)

Aku mengangguk, melangkah keluar dari kamar, sementara ponsel masih terhubung dengan Keenan. Langkahku berat saat aku menuju halaman rumah."Kamu marah sama aku, Sheena?" tanya Keenan dari telepon, suaranya penuh keprihatinan. Aku hanya bisa berjalan dengan langkah pelan menuju gerbang, mulutku terkunci rapat, enggan mengungkapkan apa yang kurasakan. Setiap langkah terasa seperti beban berat."Sheena.." panggil Keenan, meskipun kami sudah dekat, suaranya masih terdengar dari telepon.Ketika aku membuka kunci gerbang, aku menundukkan kepala, tidak berani menatapnya langsung. Keenan berdiri di luar, wajahnya penuh dengan ekspresi yang sulit kubaca.Dengan hati berdebar, aku membuka pintu gerbang, tetap tidak berani menatap Keenan. Aku berusaha menyembunyikan perasaan yang berkecamuk dalam hati, melawan air mata yang hampir jatuh."Keenan, ini udah malem. Ngapain kamu kesini? Mending kamu pulang aja," ucapku pelan dengan suara bergetar."Sheena, kamu diapain sama Clara?" tanyanya, terden
last updateLast Updated : 2024-10-06
Read more

Bab 48. Rasa yang Dewasa

"Ada momen di mana aku sadar, kedewasaan adalah ketika kita berhenti memaksa, tapi tetap berharap dengan tenang." -Alshameyzea Afsheena••••Pagi itu, aku berdiri di tengah lapangan bersama ratusan siswa lainnya. Matahari belum terlalu tinggi, namun sinarnya sudah mulai terasa hangat di kulit. Suasana terasa berbeda. Ada semacam kegembiraan yang bercampur dengan kebanggaan di udara. Semua mata tertuju pada satu titik, Keenan dan tim basket kebanggaan sekolah kami. Hari ini atau lebih tepatnya nanti sore, mereka akan berangkat ke luar negeri, mewakili SMAN Cendana di ISF Basketball World Schools Championship.Aku berdiri di barisan paling belakang, mencoba menghindari pandangan Keenan dari depan sana. Aline, dia memilih untuk berdiri di depan, tadi dia sempat memaksaku, tapi aku tidak mau. Aku sudah tidak marah ke Keenan setelah kejadian beberapa hari terakhir, terlebih lagi saat malam itu. Tapi, entah kenapa aku masih enggan bertemu dengannya. Semalam, aku sudah memaafkannya, meskipun
last updateLast Updated : 2024-10-06
Read more

Bab 48. Rasa yang Dewasa (Part 2)

"Perjodohan itu masih bisa dibatalin, Sheena. Mereka ngasih aku waktu sampai aku lulus SMA nanti, mereka nyuruh aku dan Clara buat ngejalanin dulu. Jadi, aku masih punya kesempatan buat ngelakuin sesuatu supaya rencana mereka gagal." Keenan berusaha menjelaskan, berusaha memberi keyakinan dengan penuh harapan, tapi aku tetap terdiam, terbenam dalam pikiranku sendiri."Sheena, please, kamu percaya sama aku kan? Give me time, Sheena, to prove that everything I’ve said is true." Keenan berbicara lagi, suaranya penuh permohonan dan keyakinan yang tulus.Aku tetap terdiam, menunduk, merasakan keheningan yang menekan di antara kami."Sheena," panggilnya lembut, suaranya mengandung keinginan yang tulus."Trust is the foundation of any relationship, Sheena. I know you have doubts, but I really want to prove myself." ucapnya, menunggu jawaban yang akan menentukan segalanya."Please, just look at me and tell me you trust me," lanjutnya lagi, suaranya penuh harapan.Aku menghela napas panjang, h
last updateLast Updated : 2024-10-06
Read more

Bab 49. Merilis Luka

"Kadang, melepaskan bukan tentang melupakan, tapi tentang mengikhlaskan luka agar hati dapat bernapas lagi." -Alshameyzea Afsheena •••Suasana di luar kelas terasa tenang, kontras dengan hiruk-pikuk di dalam yang dipenuhi suara tawa dan obrolan yang bercampur seperti pasar. Aku duduk di bangku depan, merasa canggung di samping Keenan. Ada sesuatu yang menggantung di udara, semakin berat saat Clara tiba-tiba mendekat dengan langkah penuh percaya diri."Nanti sore, aku yang bakal nganterin kamu ke bandara," katanya dengan suara riang, tangannya dengan mudah menyentuh lengan Keenan. Di dalam dadaku, ada rasa perih yang tiba-tiba muncul, seperti ditusuk jarum halus namun tajam.Keenan langsung menepis tangannya, ekspresinya berubah dingin. "Gak usah," ucapnya datar, tapi jelas-jelas terdengar ketus.Clara terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam. Wajahnya mengeras, namun bibirnya tetap melengkung, meski matanya kini tajam memandangku. "Kok gitu sih? Aku kan tunangan kamu," ucapnya, deng
last updateLast Updated : 2024-10-07
Read more

Bab 49. Merilis Luka (Part 2)

"Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"
last updateLast Updated : 2024-10-07
Read more

Bab 49. Merilis Luka (Part 3)

Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob
last updateLast Updated : 2024-10-07
Read more

Bab 50. Melangitkan Rasa

"Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men
last updateLast Updated : 2024-10-07
Read more

Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 2)

Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam
last updateLast Updated : 2024-10-07
Read more

Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 3)

Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su
last updateLast Updated : 2024-10-07
Read more

Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 4)

Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl
last updateLast Updated : 2024-10-07
Read more
PREV
1
...
101112131415
DMCA.com Protection Status