Semua Bab Kembalinya Sang Dewa Pedang: Bab 251 - Bab 260

402 Bab

Jangan Menangis

Setelah berjalan cukup lama, Ren Hui mengisyaratkan pada Song Mingyu untuk menghentikan rumah beroda di pinggir hutan. Kabut tipis menyelimuti pohon-pohon pinus, menciptakan suasana sunyi yang seolah menjaga rahasia alam. Sepertinya situasi memang sudah aman, jejak mereka berhasil disembunyikan. Pasukan Hantu Kematian tidak lagi mengejar, dan Song Mingyu telah mengelabui mereka dengan memutar arah perjalanan lebih jauh ke timur."Beristirahatlah! Besok pagi kita menuju Pondok Bukit Semanggi," kata Ren Hui, menepuk bahu pemuda itu dengan lembut. Suaranya terdengar serak, lelah setelah malam yang penuh ketegangan.Song Mingyu mengangguk pelan. Dia bangkit berdiri, meregangkan otot-ototnya yang kaku setelah semalaman mengendalikan rumah beroda. "Kau juga perlu beristirahat, Ren Hui," ucapnya dengan suara lembut, mengamati pria yang duduk bersandar di dinding rumah beroda. Wajah Ren Hui tampak pucat diterangi cahaya bulan yang menyelinap di sela-sela pepohonan.
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-19
Baca selengkapnya

Bukit Semanggi

Pagi telah merekah, sinar matahari yang malu-malu menyusup melalui celah dedaunan pinus di sekitar rumah beroda. Udara dingin yang berembus membawa aroma tanah basah, berpadu dengan wangi samar semanggi yang sedang bermekaran di kejauhan. Suasana di dalam rumah beroda masih terbalut keheningan. Di lantai kayu, Song Mingyu terlelap dengan posisi miring, selimutnya setengah tersingkap. Di dekatnya, Junjie mulai menggeliat, membuka matanya perlahan, lalu terduduk di tepi tempat tidur. Pandangannya tertuju pada sosok Hong Yi, yang tertidur dengan kepala tertelungkup di atas meja. “Ren Hui...” gumam Junjie dalam hati, matanya menyapu sekeliling ruangan. Tidak ada tanda-tanda kehadiran pedagang arak itu. Ia menyingkirkan selimut tebal yang membalut tubuhnya, lalu turun dari tempat tidur dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkan Song Mingyu. Begitu keluar dari rumah beroda, angin pagi menyentuh wajahnya, membawa serta suara gemerisik daun pinus. Junj
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-20
Baca selengkapnya

Angin Duka Di Bukit Semanggi

Ren Hui, Junjie, dan Yingying mengikuti langkah wanita cantik berambut putih memasuki pondok kayu kecil itu. Aroma kayu cendana samar memenuhi udara, bercampur dengan wangi dedaunan basah yang terbawa angin. Seorang pria sebaya Ren Hui dan Junjie, yang mengenakan jubah sederhana namun rapi, tertegun melihat kedatangan mereka. Matanya membelalak ketika pandangannya jatuh pada sosok yang terkulai di gendongan Ren Hui."Ye Hun!" serunya penuh kegelisahan. Dengan langkah cepat, pria itu menghampiri dan tanpa ragu mengambil tubuh tak bernyawa itu dari pelukan Ren Hui. Hatinya terguncang. Namun, tangannya tetap kokoh ketika membaringkan Ye Hun di dipan kayu di sudut ruangan. Suara napasnya terdengar berat, seolah berusaha menahan luapan emosi yang hampir meledak.Pandangan pria itu beralih ke wanita berambut putih. "Bu Hui...?" tanyanya lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam sunyi. Wanita itu, yang sejak awal menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan, mengangguk
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-20
Baca selengkapnya

Rencana Selanjutnya

Beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Ye Hun. Langit di Pondok Bukit Semanggi tampak kelabu, seperti masih menyimpan duka yang enggan berlalu. Ren Hui, Junjie, Song Mingyu, dan Yingying memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka. Di sisi lain, Cui Xuegang dan Bu Hui, meski dengan berat hati, akhirnya merestui kepergian mereka. “Kami akan baik-baik saja,” ujar Ren Hui dengan nada tenang, tetapi meyakinkan. “Pasukan Hantu Kematian hanya mengincar diriku. Mereka tidak akan mempersulit kalian. Tuan Cui, tidak perlu khawatir,” tambah Hong Yi, mencoba menghilangkan keraguan di wajah dua sekutu barunya. Mereka telah menghabiskan beberapa hari bersama, tetapi waktu singkat itu cukup untuk menumbuhkan kedekatan. Kepribadian Ren Hui yang hangat dan cerdas membuat suasana duka setelah kepergian Ye Hun sedikit lebih mudah dilalui. Di pagi yang masih diselimuti embun tipis, Ren Hui dan kawan-kawan akhirnya berpamitan. Cui Xuegang, Bu Hui, dan Hon
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-21
Baca selengkapnya

Rebusan Pahit Bi'an Hua

Rumah beroda itu bergerak perlahan, hampir seperti enggan memecah kesunyian pagi. Suara derak roda yang menggiling kerikil terdengar berirama, menciptakan kontras dengan udara pagi yang dingin dan segar. Kabut tipis menyelimuti jalan menuju pusat Kota Yinyue, sementara bayangan pohon-pohon besar bergoyang lembut diterpa angin. Song Mingyu, dengan perhatian tajamnya, memastikan rumah beroda itu berjalan stabil, menuju tujuan pertama mereka, Pasar Hantu.Song Mingyu duduk santai di atas kusir, hanya ditemani Baihua, rubah putih yang setia berbaring di sebelahnya. Dengan suara siulannya yang lembut, Song terlihat santai, seolah dunia tak memiliki beban. Di dalam, suasananya jauh berbeda. Junjie duduk bersandar di sudut, matanya terpaku pada buku yang belum selesai dibacanya. Tangannya sesekali membalik halaman dengan lambat, tetapi ekspresinya menunjukkan pikiran yang melayang lebih jauh dari kata-kata yang tertulis di depan matanya.Ren Hui sendiri sibuk mengatur guc
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-21
Baca selengkapnya

Di Balik Jurus Pedang Surgawi

Junjie menutup buku yang tengah dibacanya. Gerakannya pelan, seolah mencoba menenangkan pikirannya yang terusik oleh situasi. Dengan langkah hati-hati, ia menghampiri Yingying yang tengah merebus obat di atas tungku kecil. Asap tipis beraroma herbal menguar, menyelimuti ruangan dengan kehangatan samar. Suaranya nyaris berbisik saat bertanya, “Bagaimana keadaannya?” Tatapannya melirik Ren Hui, yang duduk bersila dengan kening bersimbah peluh.“Saat ini baik-baik saja,” jawab Yingying tenang, meski sorot matanya menyiratkan kecemasan. “Aku rasa perlu beberapa waktu lagi untuk melihat reaksi tubuh sekaligus racun di dalam tubuhnya terhadap racun bi’an hua.”Junjie mengangguk, memahami keterbatasan mereka dalam situasi genting ini. Ia menghampiri Ren Hui yang masih bermeditasi. Pria itu terus berkeringat deras, bahkan giginya sesekali bergemeletuk, menahan sakit yang tak kasatmata. Dengan hati-hati, Junjie mengambil sapu tangan yang terlipat rapi di atas meja dan mengu
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-22
Baca selengkapnya

Keakraban Yang Samar

Pondok Bukit Semanggi, Lembah Kabut Mutiara, Kota Yinyue Sementara itu di Pondok Bukit Semanggi, Cui Xuegang dan Bu Hui duduk berhadapan di sebuah gazebo di sudut tersembunyi yang terhalang rerumpunan bunga sepatu yang tengah mekar berbunga."Aku merasa tidak asing dengan mereka," ujar Cui Xuegang sambil menyesap tehnya perlahan. "Pedagang arak itu maksudku, Ren Hui," lanjutnya menegaskan.Bu Hui tersenyum, mengangguk pelan. Dia pun merasakan hal yang sama dengan pria yang telah menjadi pujaan hatinya sejak belia. Meski tidak mengenal pedagang arak dengan rumah beroda unik itu, dia merasa ada keakraban yang tak dapat dijelaskan."Seperti seseorang yang pernah begitu dekat dengan kita," gumamnya lirih, hampir tak terdengar."Entahlah, aku hanya merasa dia bukanlah sosok yang asing bagi kita," sahut Cui Xuegang sambil tersenyum, tatapannya menerawang jauh, seolah menyelami kenangan yang samar.Interaksinya beberapa hari lalu denga
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-22
Baca selengkapnya

Perjalanan Meninggalkan Lembah Kabut Mutiara

Setelah bermeditasi cukup lama, tiba-tiba saja Ren Hui memuntahkan darah hitam pekat yang seketika mengotori lantai kayu. Yingying, yang sudah berjaga di dekatnya dengan cemas, segera melompat untuk membantunya. Dengan tangan cekatan, dia memegang mangkuk berisi ramuan obat dan menyuapkannya perlahan kepada Ren Hui, berharap Ren Hui segera pulih dan baik-baik saja.Perlahan-lahan, keadaan Ren Hui sedikit membaik. Tubuhnya yang lelah kini terlelap dalam tidur nyenyak, diiringi dengkuran halus yang menenangkan. Sementara itu, rumah beroda mereka terus bergerak perlahan, melintasi desa-desa yang indah di Lembah Kabut Mutiara dan pusat kota Yinyue yang ramai dengan aktivitas penduduknya.Di sudut lain, Junjie sibuk menulis surat dengan tinta hitam pekat, lalu mengikatnya rapi sebelum mengirimkannya melalui burung merpatinya yang terlatih. Tangannya bergerak cepat dan cekatan, setiap kalimat yang dituliskannya mengandung pesan penting dan mendesak.Setelah sele
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-23
Baca selengkapnya

Pelukan Ayahanda Kaisar

Kediaman Giok Hijau, Kota BaiyunRaja An Bang duduk diam di kursi yang berukir indah, jari-jarinya meremas gulungan surat bersegel emas di tangannya. Di hadapannya, asap dupa tipis melayang, menebar aroma cendana yang menenangkan. Namun, pikirannya sama sekali tidak tenang. Surat itu, yang dibawa merpati pos milik Pangeran Yongle, keponakannya yang cerdas, tetapi penuh teka-teki, kini menyalakan kembali kegelisahan yang telah lama bersembunyi di relung hatinya.“Apakah ada pergerakan dari Perdana Menteri Chao dan Permaisuri Wu?” tanyanya, suaranya datar meski dipenuhi kehati-hatian. Matanya yang tajam menyapu pria yang tengah berlutut di depannya.Han Jin, bawahan yang telah lama menjadi kepercayaannya, mengangkat sedikit wajahnya. Rambut hitamnya terikat rapi, mencerminkan ketertiban seorang pelayan yang setia. “Saat ini belum ada sesuatu yang mencurigakan, Yang Mulia,” jawabnya dengan nada tegas yang tak pernah bergetar.Raja An Bang mengangguk
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-24
Baca selengkapnya

Permaisuri Wu Yang Sedang Berbahagia

Istana Seribu Bunga, Ibukota BaiyunIstana Seribu Bunga, sebuah tempat mewah dalam Kompleks Istana Awan, adalah simbol keindahan dan kedamaian. Tempat ini dihuni oleh wanita-wanita anggun dan anak-anak yang belum cukup umur untuk memasuki urusan istana. Di sinilah Permaisuri, penguasa tertinggi wanita, memimpin sebuah dunia yang dijuluki sebagai kediaman "tiga ribu kecantikan" milik Kaisar.Di salah satu sudutnya, di Istana Anggrek Bulan, Permaisuri Wu bersandar santai di atas kursi panjang berhias ukiran bunga-bunga bulan. Tirai tipis berwarna gading melambai lembut diterpa angin musim semi yang beraroma bunga persik. Dalam ruangan terbuka yang diterangi sinar matahari keemasan, pelayan-pelayan istana datang dan pergi dengan sikap penuh hormat. Beberapa membawakan teh harum dan camilan mungil berlapis gula, sementara yang lain mengipasi permaisuri dengan gerakan terukur, memastikan kesejukannya terjaga.Di lantai marmer yang dingin, seorang kasim berlutut
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-24
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
2425262728
...
41
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status