Pondok Bukit Semanggi, Lembah Kabut Mutiara, Kota Yinyue
Sementara itu di Pondok Bukit Semanggi, Cui Xuegang dan Bu Hui duduk berhadapan di sebuah gazebo di sudut tersembunyi yang terhalang rerumpunan bunga sepatu yang tengah mekar berbunga."Aku merasa tidak asing dengan mereka," ujar Cui Xuegang sambil menyesap tehnya perlahan. "Pedagang arak itu maksudku, Ren Hui," lanjutnya menegaskan.Bu Hui tersenyum, mengangguk pelan. Dia pun merasakan hal yang sama dengan pria yang telah menjadi pujaan hatinya sejak belia. Meski tidak mengenal pedagang arak dengan rumah beroda unik itu, dia merasa ada keakraban yang tak dapat dijelaskan."Seperti seseorang yang pernah begitu dekat dengan kita," gumamnya lirih, hampir tak terdengar."Entahlah, aku hanya merasa dia bukanlah sosok yang asing bagi kita," sahut Cui Xuegang sambil tersenyum, tatapannya menerawang jauh, seolah menyelami kenangan yang samar.Interaksinya beberapa hari lalu dengaSetelah bermeditasi cukup lama, tiba-tiba saja Ren Hui memuntahkan darah hitam pekat yang seketika mengotori lantai kayu. Yingying, yang sudah berjaga di dekatnya dengan cemas, segera melompat untuk membantunya. Dengan tangan cekatan, dia memegang mangkuk berisi ramuan obat dan menyuapkannya perlahan kepada Ren Hui, berharap Ren Hui segera pulih dan baik-baik saja.Perlahan-lahan, keadaan Ren Hui sedikit membaik. Tubuhnya yang lelah kini terlelap dalam tidur nyenyak, diiringi dengkuran halus yang menenangkan. Sementara itu, rumah beroda mereka terus bergerak perlahan, melintasi desa-desa yang indah di Lembah Kabut Mutiara dan pusat kota Yinyue yang ramai dengan aktivitas penduduknya.Di sudut lain, Junjie sibuk menulis surat dengan tinta hitam pekat, lalu mengikatnya rapi sebelum mengirimkannya melalui burung merpatinya yang terlatih. Tangannya bergerak cepat dan cekatan, setiap kalimat yang dituliskannya mengandung pesan penting dan mendesak.Setelah sele
Kediaman Giok Hijau, Kota BaiyunRaja An Bang duduk diam di kursi yang berukir indah, jari-jarinya meremas gulungan surat bersegel emas di tangannya. Di hadapannya, asap dupa tipis melayang, menebar aroma cendana yang menenangkan. Namun, pikirannya sama sekali tidak tenang. Surat itu, yang dibawa merpati pos milik Pangeran Yongle, keponakannya yang cerdas, tetapi penuh teka-teki, kini menyalakan kembali kegelisahan yang telah lama bersembunyi di relung hatinya.“Apakah ada pergerakan dari Perdana Menteri Chao dan Permaisuri Wu?” tanyanya, suaranya datar meski dipenuhi kehati-hatian. Matanya yang tajam menyapu pria yang tengah berlutut di depannya.Han Jin, bawahan yang telah lama menjadi kepercayaannya, mengangkat sedikit wajahnya. Rambut hitamnya terikat rapi, mencerminkan ketertiban seorang pelayan yang setia. “Saat ini belum ada sesuatu yang mencurigakan, Yang Mulia,” jawabnya dengan nada tegas yang tak pernah bergetar.Raja An Bang mengangguk
Istana Seribu Bunga, Ibukota BaiyunIstana Seribu Bunga, sebuah tempat mewah dalam Kompleks Istana Awan, adalah simbol keindahan dan kedamaian. Tempat ini dihuni oleh wanita-wanita anggun dan anak-anak yang belum cukup umur untuk memasuki urusan istana. Di sinilah Permaisuri, penguasa tertinggi wanita, memimpin sebuah dunia yang dijuluki sebagai kediaman "tiga ribu kecantikan" milik Kaisar.Di salah satu sudutnya, di Istana Anggrek Bulan, Permaisuri Wu bersandar santai di atas kursi panjang berhias ukiran bunga-bunga bulan. Tirai tipis berwarna gading melambai lembut diterpa angin musim semi yang beraroma bunga persik. Dalam ruangan terbuka yang diterangi sinar matahari keemasan, pelayan-pelayan istana datang dan pergi dengan sikap penuh hormat. Beberapa membawakan teh harum dan camilan mungil berlapis gula, sementara yang lain mengipasi permaisuri dengan gerakan terukur, memastikan kesejukannya terjaga.Di lantai marmer yang dingin, seorang kasim berlutut
Kediaman Kedamaian Hati, Manor Chu, Ibukota BaiyunChu Wang berdiri tegak di tengah gazebo yang dikelilingi pemandangan Taman Cahaya Salju. Mata sebening dan sedalam kolam gioknya, tenang tetapi menyimpan kekhawatiran samar, tertuju pada hamparan taman yang mulai berubah wajah. Musim semi telah datang, membawa warna-warna kehidupan yang mengusir jejak salju yang pernah mendominasi tempat itu.Sekarang, taman itu seperti kanvas lukisan hidup. Pohon-pohon plum tua di sudut taman bermekaran, melukiskan percikan merah muda, merah, dan putih yang berselang-seling di antara hijau dedaunan. Di sepanjang jalan setapak berbatu, bunga-bunga liar tumbuh semaunya—Chinese forget-me-nots yang biru lembut mekar di tepi kolam kecil, sementara wild violets bersembunyi malu-malu di bawah naungan rumput liar.Hanfu putih Chu Wang berkibar lembut dihembus angin pagi yang membawa aroma segar musim semi. Sudah beberapa hari berlalu sejak ia kembali dari Paviliun Yueliang, tetap
Rumah beroda itu berderak lembut, roda-rodanya meninggalkan jejak samar di jalan berbatu kota yang mulai lengang. Aroma debu bercampur embusan angin dan sinar matahari terasa di udara, menyatu dengan ritme langkah kuda-kuda yang menarik rumah kayu bertingkat itu. Song Mingyu, dengan senyumnya yang selalu santai, mengendalikan tali kekang sembari bersiul pelan. Di sampingnya, Baihua—rubah putih berbulu halus—duduk tenang, sesekali menggoyangkan ekornya seolah menikmati perjalanan.Seperti biasa, rumah beroda itu menarik perhatian. Penduduk kota, baik tua maupun muda, keluar dari rumah mereka untuk sekadar melihat. Anak-anak berlarian mengikuti di belakang, tawa mereka berderai seperti lonceng angin. “Beberapa hari ini kita meninggalkan Pasar Hantu, dan Yingying tidak lagi bersama kita,” gumam Song Mingyu, hampir pada dirinya sendiri. Ia menatap jalan di depannya, ingatan melayang pada tabib ilahi yang biasanya menemani mereka. Yingying harus kembali ke Kota Xuelian
Perjalanan mereka terus berlanjut, kali ini mengarah ke barat, sebuah wilayah subur di Kekaisaran Shenguang yang dijuluki lumbung pangan kerajaan. Hawa musim semi terasa lembut menyapu wajah, angin membawa aroma tanah yang baru dibajak, bercampur dengan harumnya bunga liar di sepanjang jalan."Ini pertama kalinya aku melakukan perjalanan ke barat," ucap Ren Hui sambil meletakkan tiga mangkuk mi di atas meja kecil yang berderit pelan di rumah beroda mereka.Semangkuk mi yang terlihat begitu menggugah selera. Mi buatan tangan Ren Hui, yang menurut Song Mingyu adalah mi terlezat di dunia, tersaji dengan kaldu ayam beraroma rempah-rempah yang harum, sayuran hijau segar, tahu sutra, jamur kuping hitam, udang hasil tangkapan mereka dari sungai pagi tadi, telur pidan yang tampak mengkilap, dan taburan bawang goreng yang renyah."Aiyo! Aku sungguh mencintaimu, Ren Hui!" Song Mingyu, yang mencium aroma mi itu dari kejauhan, melompat dari tempat tidurnya dan tanpa m
Kota Jinghu pagi itu ramai seperti biasa, hidup dengan hiruk-pikuk para pedagang dan pembeli. Udara segar bercampur dengan aroma tanah basah dan rempah-rempah yang menyengat indra. Matahari memantulkan cahayanya pada keranjang-keranjang penuh sayuran segar yang berwarna-warni, seakan melukiskan kehidupan yang sederhana namun penuh makna di pasar kota itu."Tuan, lobak merahnya! Atau asparagus? Murah, segar baru panen!" seru seorang pedagang dengan nada semangat.Meja-meja penuh sayur-mayur segar memanjakan mata. Lobak merah yang cerah, sawi hijau yang memikat, kacang polong, kubis, bayam hingga jamur musim semi yang menguarkan aroma segar. Ren Hui, seperti biasa, menikmati kegiatan berbelanjanya. Dia berjongkok santai di depan seorang pedagang yang menggelar dagangannya di teras toko, tangannya cekatan memilih sayuran.Junjie, di sisi lain, bersandar dengan malas di gerobak pedagang lain. Wajahnya tampak bosan, tetapi dia setia menunggu sahabatnya menyeles
Di Tepi Danau JinghuLangit di atas danau Jinghu berwarna biru lembut, dihiasi awan-awan tipis yang melayang seperti sapuan kuas di atas kanvas. Angin berhembus lembut, mengantarkan aroma air segar bercampur wangi bunga wisteria yang bermekaran di sekitar tepian. Song Mingyu dan Baihua bermain-main di tepi danau. Pemuda itu tertawa riang melihat kelincahan rubah putih milik Ren Hui itu. Namun, matanya tiba-tiba membelalak saat melihat siluet familiar dari kejauhan.“Aiyo!” serunya, melompat berdiri sambil menunjuk. “Apakah penghuni rumah beroda kita bertambah lagi?” Tawanya menggema, menambah keceriaan sore itu.Ren Hui, yang tengah berjalan mendekat mengangkat bahu dan menunjuk ke arah Junjie. “Tanyakan padanya,” sahutnya datar. Junjie, yang berjalan di belakang dan menuntun seekor keledai berbulu hitam yang menarik gerobak mereka, hanya mendengus tanpa berniat menjelaskan. Keledai itu, yang melangkah malas, menarik perhatian Baihua ya
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam
Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil
Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk
Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan
Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.
Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny