Perjalanan mereka terus berlanjut, kali ini mengarah ke barat, sebuah wilayah subur di Kekaisaran Shenguang yang dijuluki lumbung pangan kerajaan. Hawa musim semi terasa lembut menyapu wajah, angin membawa aroma tanah yang baru dibajak, bercampur dengan harumnya bunga liar di sepanjang jalan.
"Ini pertama kalinya aku melakukan perjalanan ke barat," ucap Ren Hui sambil meletakkan tiga mangkuk mi di atas meja kecil yang berderit pelan di rumah beroda mereka.Semangkuk mi yang terlihat begitu menggugah selera. Mi buatan tangan Ren Hui, yang menurut Song Mingyu adalah mi terlezat di dunia, tersaji dengan kaldu ayam beraroma rempah-rempah yang harum, sayuran hijau segar, tahu sutra, jamur kuping hitam, udang hasil tangkapan mereka dari sungai pagi tadi, telur pidan yang tampak mengkilap, dan taburan bawang goreng yang renyah."Aiyo! Aku sungguh mencintaimu, Ren Hui!" Song Mingyu, yang mencium aroma mi itu dari kejauhan, melompat dari tempat tidurnya dan tanpa mKota Jinghu pagi itu ramai seperti biasa, hidup dengan hiruk-pikuk para pedagang dan pembeli. Udara segar bercampur dengan aroma tanah basah dan rempah-rempah yang menyengat indra. Matahari memantulkan cahayanya pada keranjang-keranjang penuh sayuran segar yang berwarna-warni, seakan melukiskan kehidupan yang sederhana namun penuh makna di pasar kota itu."Tuan, lobak merahnya! Atau asparagus? Murah, segar baru panen!" seru seorang pedagang dengan nada semangat.Meja-meja penuh sayur-mayur segar memanjakan mata. Lobak merah yang cerah, sawi hijau yang memikat, kacang polong, kubis, bayam hingga jamur musim semi yang menguarkan aroma segar. Ren Hui, seperti biasa, menikmati kegiatan berbelanjanya. Dia berjongkok santai di depan seorang pedagang yang menggelar dagangannya di teras toko, tangannya cekatan memilih sayuran.Junjie, di sisi lain, bersandar dengan malas di gerobak pedagang lain. Wajahnya tampak bosan, tetapi dia setia menunggu sahabatnya menyeles
Di Tepi Danau JinghuLangit di atas danau Jinghu berwarna biru lembut, dihiasi awan-awan tipis yang melayang seperti sapuan kuas di atas kanvas. Angin berhembus lembut, mengantarkan aroma air segar bercampur wangi bunga wisteria yang bermekaran di sekitar tepian. Song Mingyu dan Baihua bermain-main di tepi danau. Pemuda itu tertawa riang melihat kelincahan rubah putih milik Ren Hui itu. Namun, matanya tiba-tiba membelalak saat melihat siluet familiar dari kejauhan.“Aiyo!” serunya, melompat berdiri sambil menunjuk. “Apakah penghuni rumah beroda kita bertambah lagi?” Tawanya menggema, menambah keceriaan sore itu.Ren Hui, yang tengah berjalan mendekat mengangkat bahu dan menunjuk ke arah Junjie. “Tanyakan padanya,” sahutnya datar. Junjie, yang berjalan di belakang dan menuntun seekor keledai berbulu hitam yang menarik gerobak mereka, hanya mendengus tanpa berniat menjelaskan. Keledai itu, yang melangkah malas, menarik perhatian Baihua ya
Junjie bersandar santai di bawah pohon wisteria yang sedang berbunga. Hembusan angin lembut menggoyangkan dahan, membuat kelopak bunga wisteria yang bercahaya keunguan jatuh perlahan di sekitarnya, melayang-layang seperti hujan cahaya. Matanya terpaku pada sosok Ren Hui yang tengah berlatih di tepi danau.Ren Hui bergerak dengan anggun, seperti seorang penari istana yang meliuk di tengah panggung. Setiap langkah dan ayunan tangannya membentuk pola indah, seolah dia sedang menari bersama kelopak-kelopak merah darah yang berhamburan di sekitarnya. Junjie tersenyum kecil. Meski sering menyebut dirinya pemalas, dia tak pernah bisa berpaling ketika Ren Hui memegang senjata.“Dia selalu menarik saat menggunakan pedang, apa pun jurusnya,” gumam Junjie lirih, nyaris seperti bisikan angin malam. Senyum tipis itu berubah menjadi kilasan kekaguman yang sulit ia sembunyikan.Di tengah danau sebening cermin, Ren Hui berdiri ringan, ujung kakinya menyentuh permukaan air
Di bawah cahaya rembulan yang samar, Ren Hui dan Junjie berjalan menyusuri tepi danau Jinghu. Aroma lembut bunga musim semi bercampur dengan kesejukan angin malam mengiringi langkah mereka. Di antara keheningan, sebuah perahu kecil tertambat pada tonggak kayu tua, seolah-olah menunggu kehadiran mereka."Mau mencoba naik perahu ke tengah danau?" tanya Ren Hui, matanya yang cerah memandang perahu sederhana itu dengan penuh rasa ingin tahu.Junjie memperhatikan perahu itu lekat-lekat, alisnya mengernyit. “Di mana pemiliknya?” tanyanya, matanya menyapu sekitar, mencari keberadaan nelayan atau penjaga perahu."Aku rasa pemiliknya sengaja meninggalkannya. Mungkin mereka tidak menyeberangkan orang di malam hari," jawab Ren Hui, menunjuk ke seberang danau yang remang-remang dalam kabut. Junjie menatap perahu itu sejenak sebelum tersenyum tipis. "Baiklah, ayo kita berkeliling danau!" katanya, tangannya cekatan mengambil lentera yang tergantung di tonggak
Song Mingyu duduk termenung, pandangannya terpaku pada permukaan meja kayu yang kusam. Jemarinya yang ramping mengetuk-ngetuk perlahan, seolah mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. Di bayangannya, danau Jinghu kembali hadir, memantulkan bayang-bayang langit malam yang pekat, seperti layar raksasa yang menyimpan rahasia.Pikiran itu terusik oleh ingatan tentang Ren Hui, yang selama ini ia anggap hanya seorang pedagang arak sederhana. Namun, momen di atas danau Jinghu telah mengubah segalanya. Sosok yang tampak lemah dan tak terlatih itu ternyata memiliki kemampuan yang sulit dipercaya. Ren Hui memang tidak sempurna; gerakannya kerap canggung, dan kadang ia terlihat ragu mengambil risiko. Namun, ada sesuatu dalam jurusnya—sesuatu yang membuat Song Mingyu tak bisa mengabaikannya.“Jurusnya memang lumayan,” gumamnya lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Namun, seperti kata Junjie, tenaga dalamnya masih jauh dari memadai.”Ia tersenyu
Song Mingyu dan Junjie duduk diam, masing-masing dengan ekspresi berbeda. Ketegangan memancar di wajah Song Mingyu, sementara Junjie tampak tenang meski pandangan matanya mengamati setiap gerakan Ren Hui. Di atas meja, lukisan besar Dewa Pedang Ren Jie terhampar, permukaannya berkilauan di bawah cahaya lentera. Ren Hui muncul kembali dari belakang dengan teko berisi air dingin. Langkahnya pelan tapi pasti, seperti seseorang yang sepenuhnya yakin akan tindakannya.Tanpa banyak bicara, dia menuangkan air dari teko itu ke permukaan lukisan. Aliran air yang dingin menciptakan riak tipis pada kertasnya, seperti salju mencair di awal musim semi."Eh!" Song Mingyu berseru dengan nada cemas. Tangannya bergerak cepat hendak menghentikan Ren Hui, tetapi sebelum dia sempat melakukannya, Junjie menahan lengannya."Biarkan dia," ujar Junjie singkat, matanya tetap tertuju pada Ren Hui.Ren Hui menoleh, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis y
Arak seribu tahun bukan jenis arak yang menyerang tenggorokan dengan tajam. Sebaliknya, aromanya lembut dan rasa yang mengalir di lidah begitu halus—tetapi mengandung kekuatan yang memabukkan. Siapapun yang mencicipinya hanya perlu sekali untuk jatuh dalam candu, terperangkap dalam kerinduannya yang sulit dilepaskan.Ren Hui, yang berdiri santai di teras rumah beroda, memandang Junjie dengan senyum tipis. Di tangannya, kendi arak itu hampir kosong. Junjie meneguk lagi tanpa ragu hingga tetes terakhir menetes ke dagu. Dengan gerakan sederhana tetapi anggun, ia menyeka dagunya menggunakan ujung mantelnya, lalu menatap kendi yang kini kosong seolah menyayangkan isinya yang lenyap terlalu cepat.“Arak seribu tahun ... pantas disebut seperti itu ,” ucap Junjie, suaranya mulai terdengar sengau, menunjukkan efek arak yang mulai merasuk.Ren Hui tertawa kecil, mengangkat kendi miliknya. Tapi sebelum sempat meneguk, kilatan tajam pedang membuatnya tertegun. Junjie,
“Aih, Song Mingyu!” Seruan Ren Hui memecah keheningan malam saat dia menoleh dan mendapati sosok pemuda itu tengah bersandar santai di pintu rumah beroda mereka. Tatapannya penuh rasa ingin tahu, tapi diiringi senyuman yang seakan-akan tidak terkejut sama sekali.“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” Junjie ikut menatap, nada suaranya setengah heran, setengah menggoda. “Kupikir kau masih sibuk memandangi lukisan Dewa Pedang milikmu itu.” Senyumnya tipis, cukup untuk membuat orang lain bingung apakah ia sungguh-sungguh atau hanya bercanda.Song Mingyu mendengus kecil. Dia melipat tangan di depan dada, memalingkan wajah sejenak sebelum kembali menatap keduanya dengan sorot mata kesal. “Kalian bersenang-senang tanpa mengajakku. Betapa tidak adilnya kalian.” Ada nada manja dalam suaranya, meskipun raut wajahnya mencoba terlihat serius.Ren Hui mengibaskan payung putihnya, sisa tetesan air memercik lembut ke lantai kayu sebelum dia melipatnya dengan rapi. Payu
Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg
Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"