Kota Jinghu pagi itu ramai seperti biasa, hidup dengan hiruk-pikuk para pedagang dan pembeli. Udara segar bercampur dengan aroma tanah basah dan rempah-rempah yang menyengat indra. Matahari memantulkan cahayanya pada keranjang-keranjang penuh sayuran segar yang berwarna-warni, seakan melukiskan kehidupan yang sederhana namun penuh makna di pasar kota itu.
"Tuan, lobak merahnya! Atau asparagus? Murah, segar baru panen!" seru seorang pedagang dengan nada semangat.Meja-meja penuh sayur-mayur segar memanjakan mata. Lobak merah yang cerah, sawi hijau yang memikat, kacang polong, kubis, bayam hingga jamur musim semi yang menguarkan aroma segar. Ren Hui, seperti biasa, menikmati kegiatan berbelanjanya. Dia berjongkok santai di depan seorang pedagang yang menggelar dagangannya di teras toko, tangannya cekatan memilih sayuran.Junjie, di sisi lain, bersandar dengan malas di gerobak pedagang lain. Wajahnya tampak bosan, tetapi dia setia menunggu sahabatnya menyelesDi Tepi Danau JinghuLangit di atas danau Jinghu berwarna biru lembut, dihiasi awan-awan tipis yang melayang seperti sapuan kuas di atas kanvas. Angin berhembus lembut, mengantarkan aroma air segar bercampur wangi bunga wisteria yang bermekaran di sekitar tepian. Song Mingyu dan Baihua bermain-main di tepi danau. Pemuda itu tertawa riang melihat kelincahan rubah putih milik Ren Hui itu. Namun, matanya tiba-tiba membelalak saat melihat siluet familiar dari kejauhan.“Aiyo!” serunya, melompat berdiri sambil menunjuk. “Apakah penghuni rumah beroda kita bertambah lagi?” Tawanya menggema, menambah keceriaan sore itu.Ren Hui, yang tengah berjalan mendekat mengangkat bahu dan menunjuk ke arah Junjie. “Tanyakan padanya,” sahutnya datar. Junjie, yang berjalan di belakang dan menuntun seekor keledai berbulu hitam yang menarik gerobak mereka, hanya mendengus tanpa berniat menjelaskan. Keledai itu, yang melangkah malas, menarik perhatian Baihua ya
Junjie bersandar santai di bawah pohon wisteria yang sedang berbunga. Hembusan angin lembut menggoyangkan dahan, membuat kelopak bunga wisteria yang bercahaya keunguan jatuh perlahan di sekitarnya, melayang-layang seperti hujan cahaya. Matanya terpaku pada sosok Ren Hui yang tengah berlatih di tepi danau.Ren Hui bergerak dengan anggun, seperti seorang penari istana yang meliuk di tengah panggung. Setiap langkah dan ayunan tangannya membentuk pola indah, seolah dia sedang menari bersama kelopak-kelopak merah darah yang berhamburan di sekitarnya. Junjie tersenyum kecil. Meski sering menyebut dirinya pemalas, dia tak pernah bisa berpaling ketika Ren Hui memegang senjata.“Dia selalu menarik saat menggunakan pedang, apa pun jurusnya,” gumam Junjie lirih, nyaris seperti bisikan angin malam. Senyum tipis itu berubah menjadi kilasan kekaguman yang sulit ia sembunyikan.Di tengah danau sebening cermin, Ren Hui berdiri ringan, ujung kakinya menyentuh permukaan air
Di bawah cahaya rembulan yang samar, Ren Hui dan Junjie berjalan menyusuri tepi danau Jinghu. Aroma lembut bunga musim semi bercampur dengan kesejukan angin malam mengiringi langkah mereka. Di antara keheningan, sebuah perahu kecil tertambat pada tonggak kayu tua, seolah-olah menunggu kehadiran mereka."Mau mencoba naik perahu ke tengah danau?" tanya Ren Hui, matanya yang cerah memandang perahu sederhana itu dengan penuh rasa ingin tahu.Junjie memperhatikan perahu itu lekat-lekat, alisnya mengernyit. “Di mana pemiliknya?” tanyanya, matanya menyapu sekitar, mencari keberadaan nelayan atau penjaga perahu."Aku rasa pemiliknya sengaja meninggalkannya. Mungkin mereka tidak menyeberangkan orang di malam hari," jawab Ren Hui, menunjuk ke seberang danau yang remang-remang dalam kabut. Junjie menatap perahu itu sejenak sebelum tersenyum tipis. "Baiklah, ayo kita berkeliling danau!" katanya, tangannya cekatan mengambil lentera yang tergantung di tonggak
Song Mingyu duduk termenung, pandangannya terpaku pada permukaan meja kayu yang kusam. Jemarinya yang ramping mengetuk-ngetuk perlahan, seolah mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. Di bayangannya, danau Jinghu kembali hadir, memantulkan bayang-bayang langit malam yang pekat, seperti layar raksasa yang menyimpan rahasia.Pikiran itu terusik oleh ingatan tentang Ren Hui, yang selama ini ia anggap hanya seorang pedagang arak sederhana. Namun, momen di atas danau Jinghu telah mengubah segalanya. Sosok yang tampak lemah dan tak terlatih itu ternyata memiliki kemampuan yang sulit dipercaya. Ren Hui memang tidak sempurna; gerakannya kerap canggung, dan kadang ia terlihat ragu mengambil risiko. Namun, ada sesuatu dalam jurusnya—sesuatu yang membuat Song Mingyu tak bisa mengabaikannya.“Jurusnya memang lumayan,” gumamnya lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Namun, seperti kata Junjie, tenaga dalamnya masih jauh dari memadai.”Ia tersenyu
Song Mingyu dan Junjie duduk diam, masing-masing dengan ekspresi berbeda. Ketegangan memancar di wajah Song Mingyu, sementara Junjie tampak tenang meski pandangan matanya mengamati setiap gerakan Ren Hui. Di atas meja, lukisan besar Dewa Pedang Ren Jie terhampar, permukaannya berkilauan di bawah cahaya lentera. Ren Hui muncul kembali dari belakang dengan teko berisi air dingin. Langkahnya pelan tapi pasti, seperti seseorang yang sepenuhnya yakin akan tindakannya.Tanpa banyak bicara, dia menuangkan air dari teko itu ke permukaan lukisan. Aliran air yang dingin menciptakan riak tipis pada kertasnya, seperti salju mencair di awal musim semi."Eh!" Song Mingyu berseru dengan nada cemas. Tangannya bergerak cepat hendak menghentikan Ren Hui, tetapi sebelum dia sempat melakukannya, Junjie menahan lengannya."Biarkan dia," ujar Junjie singkat, matanya tetap tertuju pada Ren Hui.Ren Hui menoleh, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis y
Arak seribu tahun bukan jenis arak yang menyerang tenggorokan dengan tajam. Sebaliknya, aromanya lembut dan rasa yang mengalir di lidah begitu halus—tetapi mengandung kekuatan yang memabukkan. Siapapun yang mencicipinya hanya perlu sekali untuk jatuh dalam candu, terperangkap dalam kerinduannya yang sulit dilepaskan.Ren Hui, yang berdiri santai di teras rumah beroda, memandang Junjie dengan senyum tipis. Di tangannya, kendi arak itu hampir kosong. Junjie meneguk lagi tanpa ragu hingga tetes terakhir menetes ke dagu. Dengan gerakan sederhana tetapi anggun, ia menyeka dagunya menggunakan ujung mantelnya, lalu menatap kendi yang kini kosong seolah menyayangkan isinya yang lenyap terlalu cepat.“Arak seribu tahun ... pantas disebut seperti itu ,” ucap Junjie, suaranya mulai terdengar sengau, menunjukkan efek arak yang mulai merasuk.Ren Hui tertawa kecil, mengangkat kendi miliknya. Tapi sebelum sempat meneguk, kilatan tajam pedang membuatnya tertegun. Junjie,
“Aih, Song Mingyu!” Seruan Ren Hui memecah keheningan malam saat dia menoleh dan mendapati sosok pemuda itu tengah bersandar santai di pintu rumah beroda mereka. Tatapannya penuh rasa ingin tahu, tapi diiringi senyuman yang seakan-akan tidak terkejut sama sekali.“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” Junjie ikut menatap, nada suaranya setengah heran, setengah menggoda. “Kupikir kau masih sibuk memandangi lukisan Dewa Pedang milikmu itu.” Senyumnya tipis, cukup untuk membuat orang lain bingung apakah ia sungguh-sungguh atau hanya bercanda.Song Mingyu mendengus kecil. Dia melipat tangan di depan dada, memalingkan wajah sejenak sebelum kembali menatap keduanya dengan sorot mata kesal. “Kalian bersenang-senang tanpa mengajakku. Betapa tidak adilnya kalian.” Ada nada manja dalam suaranya, meskipun raut wajahnya mencoba terlihat serius.Ren Hui mengibaskan payung putihnya, sisa tetesan air memercik lembut ke lantai kayu sebelum dia melipatnya dengan rapi. Payu
Air Terjun Tersembunyi, Kota YueliangMo Yuan berdiri tegak di tepi halaman kecil yang dibatasi oleh dinding air terjun yang terus-menerus bergemuruh. Butiran air yang lembut berterbangan di udara, membasahi sedikit pakaian hitamnya yang berkibar tertiup angin dingin. Pandangannya tertuju pada pondok kecil yang sederhana namun penuh misteri. Di dalam, Wei Xueran sudah lebih dahulu memasuki ruangan, meninggalkan suara langkah-langkah ringan yang teredam oleh suara air terjun."Kenapa kau hanya berdiri di sini?" Suara berat dan serius Kasim Zheng memecah keheningan, memaksa Mo Yuan untuk menoleh.Pria berhanfu hitam dengan jubah panjang itu hanya tersenyum tipis, meski matanya menunjukkan sorot penuh perhitungan. "Aku hanya mengamati suasana," jawabnya santai. Namun, kakinya mulai bergerak mengikuti langkah sang kasim yang sudah memasuki pondok bersama Han Jin. Pria yang sedari tadi juga berdiri di sampingnya, mengamati suasana sekitar. M
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam
Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil
Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk
Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan
Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.
Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny