Air Terjun Tersembunyi, Kota Yueliang
Mo Yuan berdiri tegak di tepi halaman kecil yang dibatasi oleh dinding air terjun yang terus-menerus bergemuruh. Butiran air yang lembut berterbangan di udara, membasahi sedikit pakaian hitamnya yang berkibar tertiup angin dingin.Pandangannya tertuju pada pondok kecil yang sederhana namun penuh misteri. Di dalam, Wei Xueran sudah lebih dahulu memasuki ruangan, meninggalkan suara langkah-langkah ringan yang teredam oleh suara air terjun."Kenapa kau hanya berdiri di sini?" Suara berat dan serius Kasim Zheng memecah keheningan, memaksa Mo Yuan untuk menoleh.Pria berhanfu hitam dengan jubah panjang itu hanya tersenyum tipis, meski matanya menunjukkan sorot penuh perhitungan. "Aku hanya mengamati suasana," jawabnya santai.Namun, kakinya mulai bergerak mengikuti langkah sang kasim yang sudah memasuki pondok bersama Han Jin. Pria yang sedari tadi juga berdiri di sampingnya, mengamati suasana sekitar. MKota JinghuSong Mingyu menarik ulur lobak merah yang diikatkan pada sebatang ranting. Sembari menepuk pantat keledai berbulu hitam yang ditungganginya, ia menghela napas panjang. Namun keledai itu tampak enggan bergerak lebih cepat."Aiyo! Aiyo! Lobak, kau pikir kau ini keledai milik Yang Mulia Kaisar?" keluhnya dengan nada bercanda yang terselip rasa kesal.Lobak, nama yang diberikan Junjie pada keledai hitam itu ketika membelinya di pasar beberapa waktu lalu, mendengus sambil menggerakkan telinganya. Tindakannya itu seakan menjawab keluhan sang penunggang."Iya, iya! Kau benar! Meski Junjie itu sebenarnya Pangeran Yongle, di mataku dia hanya pria pengangguran, pemalas, dan sakit-sakitan. Apa yang bisa kau harapkan dari orang seperti dia?" Song Mingyu terus berceloteh sambil menggelengkan kepalanya.Di tempat lain, di dalam rumah beroda yang bergerak perlahan menyusuri jalanan kota Jinghu, Junjie bersin keras. Dia mendongak heran. Cuaca
Perjalanan Ren Hui dan kawan-kawan terus berlanjut, meninggalkan Kota Jinghu yang kini hanya terlihat samar di kejauhan. Mereka melewati pedesaan yang sunyi, di mana hamparan ladang baru saja selesai dipanen. Sisa jerami yang mengering bertebaran, mengirimkan aroma khas musim panen yang bercampur dengan debu ringan yang beterbangan bersama angin."Berapa lama lagi kita sampai di Qingge?" tanya Song Mingyu, suaranya terdengar malas dan bosan, memecah keheningan. Ia bersandar di dinding kayu teras beroda, menggigit setangkup rumput liar yang ia petik entah dari mana.Baihua duduk di sampingnya dengan lidah terjulur, napasnya pendek-pendek. Rubah putih itu tampak kelelahan menghadapi suhu yang mulai meningkat. Musim semi hampir berakhir, dan angin yang tadinya sejuk kini membawa hawa hangat, meninggalkan jejak keringat di pelipis manusia dan makhluk hidup lainnya."Mungkin satu atau dua minggu lagi, tergantung situasi di kota berikutnya," jawab Ren Hui santai
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di Kota Qingge. Kota ini, menurut Junjie, adalah miniatur dari Ibukota Baiyun. Dengan arsitektur yang tertata rapi dan suasana yang terjaga, Qingge memancarkan aura ketenangan yang khas.Di pinggiran kota, berdiri manor-manor megah milik bangsawan kuno yang berjajar di sepanjang tepi Sungai Ombak Hijau. Sungai itu mendapat namanya dari ganggang yang tumbuh subur di dasarnya, membuat air sungai seakan-akan berwarna hijau zamrud saat tertimpa cahaya matahari. Hal ini juga yang membuat Qingge dikenal sebagai penghasil rumput laut kualitas tinggi dan ikan air tawar terbesar kedua setelah Jinghu di wilayah barat Kekaisaran Shenguang."Qingge dahulu merupakan ibukota Shenguang Barat," ujar Junjie, menoleh ke arah Song Mingyu yang tampak terpikat oleh pemandangan kota.Mereka berjalan santai menyusuri jalan setapak yang dihiasi pohon-pohon maple. Daun-daun merahnya berguguran perlahan, terdorong angin lembut yang membawa aroma
Mereka bertiga melangkah perlahan di jalan setapak yang mengelilingi alun-alun. Jalan itu disusun dari batu-batu alam berbentuk persegi, ditata sedemikian rupa hingga membentuk pola geometris yang harmonis. Di sepanjang jalan, lentera kertas dengan desain minimalis namun artistik tergantung rapi, memancarkan cahaya keemasan lembut yang menerangi sore yang mulai meredup. Udara hangat berpadu dengan semilir angin malam yang perlahan menyusup, membawa aroma samar bunga sakura dan daun maple.“Masih sore hari. Suasana belum terlalu ramai,” gumam Junjie, suaranya nyaris tertelan angin.Song Mingyu menoleh, langkahnya kini sejajar dengan mereka. Ia berjalan di sebelah kiri Junjie, sementara Ren Hui ada di sisi kanan.“Suasana seperti ini mengingatkanku pada masa kecil,” ujar Junjie pelan, senyumnya tipis, dan pandangannya menerawang jauh, seolah menggali ingatan yang telah lama terkubur. “Saat aku baru berusia delapan tahun.”“Kau yakin tidak
Ren Hui berjalan santai, memutar lampion yang baru saja dibelinya. Cahaya hangat lampion memantul lembut di atas jalan setapak berlapis batu bata. Di sisinya, Junjie melangkah dengan gaya khasnya—acuh tak acuh, seolah dunia di sekitarnya hanya sekadar bayangan. Sementara itu, Song Mingyu sibuk menikmati tanghulu manis yang dibelikan Ren Hui sebelumnya, sesekali menjilat jemarinya yang lengket gula. Mereka tampak santai, seakan tidak menyadari bayangan yang terus mengikuti mereka sejak di alun-alun.Begitu tiba di tepi Sungai Ombak Hijau, mereka berhenti. Air sungai yang berkelok tenang memantulkan sinar bulan, menciptakan pemandangan yang memikat. Di kejauhan, deretan manor-manor megah berdiri anggun di bawah cahaya malam."Di mana letak Kediaman Keberuntungan Besar?" Ren Hui bertanya, pandangannya masih terpaku pada aliran sungai yang meliuk seperti naga. Junjie menggelengkan kepala, senyuman kecut terulas di wajahnya. "Aku tidak tahu," jawabnya pendek.Ren Hui menghela napas ringan,
Song Mingyu datang menyajikan teh dan dengan ramah mempersilakan mereka untuk menikmati teh hangat terlebih dahulu. Udara dingin dari luar terasa tajam saat pintu rumah beroda terbuka, tetapi di dalamnya, aroma teh yang hangat menyebar, menenangkan jiwa. Ren Hui menuangkan teh ke dalam cangkir, bergerak hati-hati agar tidak ada setetes pun yang tumpah. Ia menyajikan teh untuk tamunya, dirinya sendiri, Junjie, dan Song Mingyu."Silakan diminum tehnya, Nona Yin," tawarnya dengan ramah, senyum ringan menghiasi wajahnya. Yin Tao mengangguk, matanya menyipit sedikit karena kehangatan teh yang menyentuh bibirnya. Dengan gerakan elegan, ia mengambil cangkir teh dan menyesapnya perlahan. "Teh yang enak. Segar dan menghangatkan tubuh," pujinya dengan tulus, nadanya lembut dan penuh makna. Ia tersenyum hangat dan meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja dengan hati-hati, seolah tidak ingin mengganggu ketenangan yang tercipta."Terima kasih Nona. Aku rasa masih te
Beberapa hari kemudian berlalu dengan tenang. Untuk sementara waktu, Ren Hui memutuskan untuk menetap di Qingge. Seperti biasanya, dia berjualan arak di pasar atau sesekali menawarkan araknya langsung pada pemilik kedai, restoran, penginapan, bahkan rumah bordil dan rumah judi yang tersebar di sekeliling kota.Seperti siang ini, Junjie duduk dengan santai di pelataran Paviliun Bunga Malam, sebuah rumah bordil terbesar di Kota Qingge. Udara siang terasa hangat meski matahari mulai condong ke barat, menebarkan cahaya lembut yang menambah keindahan paviliun tersebut. Di sebelahnya, Song Mingyu duduk termenung, matanya menatap kosong ke arah paviliun yang ramai. Meskipun di siang hari biasanya tidak seramai malam, suara riuh para wanita dan lelaki pengunjung tetap terasa mengganggu ketenangannya."Aiyo, apa yang tengah dilakukan Ren Hui? Kenapa dia lama sekali?" keluhnya, suaranya penuh dengan ketidaksabaran yang tercermin dari tindak-tanduknya yang tidak tenang.
Ren Hui melangkah dengan hati-hati, menginjakkan kaki di sepanjang tepi Sungai Ombak Hijau yang mengalir tenang. Ia memilih jalur ini, jauh dari keramaian, melewati hutan bambu yang sunyi, tempat yang cocok untuk memancing dan, lebih penting lagi, tidak menarik perhatian. Dari sini, ia bisa dengan mudah mengamati keadaan di seberang sungai, di mana manor-manor megah milik para bangsawan kuno berjajar rapi, menciptakan pemandangan yang memukau."Eh, Paman!" Ren Hui menyapa seorang pria paruh baya yang tengah berendam di tengah sungai."Aiyo, anak muda! Kau mau apa kemari?" Pria itu melambaikan tangan dan bertanya dengan ramah, suaranya mengalir ringan seperti air sungai itu sendiri."Aku hendak memancing ikan, Paman!" Ren Hui menjawab dengan riang, seraya meletakkan peralatan pancing yang sederhana tetapi cukup memadai di tepi sungai."Anak muda, itu cukup sulit di sini. Saat ini adalah musim panen rumput hijau. Semua tempat di sungai sudah dikerumuni oleh para pencari rumput hijau." P
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam
Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil
Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk
Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan
Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.
Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny