Beranda / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Alun-alun Kota Qingge

Share

Alun-alun Kota Qingge

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-02 11:00:23

Mereka bertiga melangkah perlahan di jalan setapak yang mengelilingi alun-alun. Jalan itu disusun dari batu-batu alam berbentuk persegi, ditata sedemikian rupa hingga membentuk pola geometris yang harmonis.

Di sepanjang jalan, lentera kertas dengan desain minimalis namun artistik tergantung rapi, memancarkan cahaya keemasan lembut yang menerangi sore yang mulai meredup. Udara hangat berpadu dengan semilir angin malam yang perlahan menyusup, membawa aroma samar bunga sakura dan daun maple.

“Masih sore hari. Suasana belum terlalu ramai,” gumam Junjie, suaranya nyaris tertelan angin.

Song Mingyu menoleh, langkahnya kini sejajar dengan mereka. Ia berjalan di sebelah kiri Junjie, sementara Ren Hui ada di sisi kanan.

“Suasana seperti ini mengingatkanku pada masa kecil,” ujar Junjie pelan, senyumnya tipis, dan pandangannya menerawang jauh, seolah menggali ingatan yang telah lama terkubur. “Saat aku baru berusia delapan tahun.”

“Kau yakin tidak
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tamu Dari Kediaman Keberuntungan Besar

    Ren Hui berjalan santai, memutar lampion yang baru saja dibelinya. Cahaya hangat lampion memantul lembut di atas jalan setapak berlapis batu bata. Di sisinya, Junjie melangkah dengan gaya khasnya—acuh tak acuh, seolah dunia di sekitarnya hanya sekadar bayangan. Sementara itu, Song Mingyu sibuk menikmati tanghulu manis yang dibelikan Ren Hui sebelumnya, sesekali menjilat jemarinya yang lengket gula. Mereka tampak santai, seakan tidak menyadari bayangan yang terus mengikuti mereka sejak di alun-alun.Begitu tiba di tepi Sungai Ombak Hijau, mereka berhenti. Air sungai yang berkelok tenang memantulkan sinar bulan, menciptakan pemandangan yang memikat. Di kejauhan, deretan manor-manor megah berdiri anggun di bawah cahaya malam."Di mana letak Kediaman Keberuntungan Besar?" Ren Hui bertanya, pandangannya masih terpaku pada aliran sungai yang meliuk seperti naga. Junjie menggelengkan kepala, senyuman kecut terulas di wajahnya. "Aku tidak tahu," jawabnya pendek.Ren Hui menghela napas ringan,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Arak Obat Untuk Tuan Muda Ketiga Hong

    Song Mingyu datang menyajikan teh dan dengan ramah mempersilakan mereka untuk menikmati teh hangat terlebih dahulu. Udara dingin dari luar terasa tajam saat pintu rumah beroda terbuka, tetapi di dalamnya, aroma teh yang hangat menyebar, menenangkan jiwa. Ren Hui menuangkan teh ke dalam cangkir, bergerak hati-hati agar tidak ada setetes pun yang tumpah. Ia menyajikan teh untuk tamunya, dirinya sendiri, Junjie, dan Song Mingyu."Silakan diminum tehnya, Nona Yin," tawarnya dengan ramah, senyum ringan menghiasi wajahnya. Yin Tao mengangguk, matanya menyipit sedikit karena kehangatan teh yang menyentuh bibirnya. Dengan gerakan elegan, ia mengambil cangkir teh dan menyesapnya perlahan. "Teh yang enak. Segar dan menghangatkan tubuh," pujinya dengan tulus, nadanya lembut dan penuh makna. Ia tersenyum hangat dan meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja dengan hati-hati, seolah tidak ingin mengganggu ketenangan yang tercipta."Terima kasih Nona. Aku rasa masih te

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kakak Ipar

    Beberapa hari kemudian berlalu dengan tenang. Untuk sementara waktu, Ren Hui memutuskan untuk menetap di Qingge. Seperti biasanya, dia berjualan arak di pasar atau sesekali menawarkan araknya langsung pada pemilik kedai, restoran, penginapan, bahkan rumah bordil dan rumah judi yang tersebar di sekeliling kota.Seperti siang ini, Junjie duduk dengan santai di pelataran Paviliun Bunga Malam, sebuah rumah bordil terbesar di Kota Qingge. Udara siang terasa hangat meski matahari mulai condong ke barat, menebarkan cahaya lembut yang menambah keindahan paviliun tersebut. Di sebelahnya, Song Mingyu duduk termenung, matanya menatap kosong ke arah paviliun yang ramai. Meskipun di siang hari biasanya tidak seramai malam, suara riuh para wanita dan lelaki pengunjung tetap terasa mengganggu ketenangannya."Aiyo, apa yang tengah dilakukan Ren Hui? Kenapa dia lama sekali?" keluhnya, suaranya penuh dengan ketidaksabaran yang tercermin dari tindak-tanduknya yang tidak tenang.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Rumput Hijau Dan Yìcǎo

    Ren Hui melangkah dengan hati-hati, menginjakkan kaki di sepanjang tepi Sungai Ombak Hijau yang mengalir tenang. Ia memilih jalur ini, jauh dari keramaian, melewati hutan bambu yang sunyi, tempat yang cocok untuk memancing dan, lebih penting lagi, tidak menarik perhatian. Dari sini, ia bisa dengan mudah mengamati keadaan di seberang sungai, di mana manor-manor megah milik para bangsawan kuno berjajar rapi, menciptakan pemandangan yang memukau."Eh, Paman!" Ren Hui menyapa seorang pria paruh baya yang tengah berendam di tengah sungai."Aiyo, anak muda! Kau mau apa kemari?" Pria itu melambaikan tangan dan bertanya dengan ramah, suaranya mengalir ringan seperti air sungai itu sendiri."Aku hendak memancing ikan, Paman!" Ren Hui menjawab dengan riang, seraya meletakkan peralatan pancing yang sederhana tetapi cukup memadai di tepi sungai."Anak muda, itu cukup sulit di sini. Saat ini adalah musim panen rumput hijau. Semua tempat di sungai sudah dikerumuni oleh para pencari rumput hijau." P

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Herbal Terlarang

    Keesokan paginya, Ren Hui terbangun dengan kesadaran penuh. Namun, dia tidak berani membuka matanya langsung. Ia mengerjapkan mata sejenak, perlahan-lahan membuka matanya. Samar-samar, ia melihat atap rumah beroda yang terbuat dari kayu cedar tua, dengan serat-serat kayu yang membentuk pola indah yang tampak dalam cahaya pagi yang masuk lewat jendela.Setelah beberapa saat, Ren Hui memberanikan diri membuka matanya lebih lebar, memandangi sekeliling. Pandangan matanya sudah kembali normal, tidak mengabur seperti semalam. Perlahan, ia duduk dari tempat tidurnya, merasakan tubuhnya yang terasa sedikit kaku, namun tidak ada rasa sakit yang mengganggu."Kau sudah bangun?" Junjie segera mendekat dan membantu Ren Hui duduk. "Apa yang kau rasakan sekarang?" tanyanya dengan lembut. Ren Hui menggelengkan kepalanya, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya merasa sedikit lelah, tetapi tubuhnya terasa baik-baik saja, tanpa rasa sakit atau pusing.Junjie menghela

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Yin Tao Datang Lagi

    Song Mingyu kembali menjelang sore bersama Lobak. Keledai hitam itu tampak riang. Di punggungnya, kantung besar penuh lobak merah tergantung, menggoyang pelan seiring langkahnya. Aroma lobak merah segar, makanan favoritnya, membuat keledai hitam milik Junjie itu bersemangat dan tidak berulah seperti biasanya."Arak-arakmu yang biasa hampir habis. Tinggal arak-arak bagus dan mahal saja yang tersisa di gudang," lapor Song Mingyu sambil melempar kantung penuh tael perak ke tangan Ren Hui. Suara koin di dalamnya berdenting halus, seolah menceritakan hasil transaksi yang sukses."Wah, kau semakin pandai berdagang rupanya," puji Ren Hui dengan tawa yang ringan, sehangat langit senja di atas mereka."Oh tentu saja," sahut Song Mingyu dengan nada jenaka, melipat tangannya di belakang kepala. "Menjadi putra Tuan Song Yanzhu, yang merupakan kepala kamar dagang kekaisaran, dan hidup bersama pedagang arak yang pelit serta penuh perhitungan seperti dirimu, hidupku akan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Merpati Dari Paviliun Yueliang

    Keesokan harinya, mentari pagi memandikan kota Qingge dengan sinarnya yang keemasan. Jalan-jalan batu yang basah oleh embun malam berkilauan seperti berlian kecil. Ren Hui dan Junjie berjalan santai di tengah kota yang mulai ramai oleh penduduk yang memulai aktivitas pagi. Sedangkan, di rumah beroda yang mereka tinggalkan tetap tenang, hanya sesekali terdengar suara Baihua, rubah putih yang menjaga Song Mingyu yang sibuk berlatih pedang.Junjie menunggangi keledai hitamnya, Lobak, sementara Ren Hui berjalan di sampingnya. Tali kekang keledai itu digenggam dengan santai oleh Ren Hui, membuat perjalanan terasa lebih seperti tamasya daripada misi penting."Kemana kita pergi kali ini?" Junjie bertanya sembari menggerakkan ranting tempat sebuah lobak merah diikat untuk memberi makan keledai hitamnya.Dia menunggangi keledai itu dengan sikap malas, seolah perjalanan ini tak lebih dari rutinitas biasa. Ren Hui meliriknya sambil tersenyum tipis."Pasar,"

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Serangan Ke Bukit Semanggi

    Beberapa hari sebelumnya di Bukit Semanggi, Lembah Kabut Mutiara Kota Yinyue Langit cerah di atas Bukit Semanggi mendadak terasa berat. Awan-awan putih yang biasanya meneduhkan puncak bukit tergantikan oleh teriakan dan denting senjata. Para murid yunior Sekte Pedang Langit terpelanting ke tanah, berguling-guling di atas pelataran berlapis rumpun semanggi. Sosok-sosok berjubah hitam bertopeng hantu seram menyerbu dengan langkah penuh intimidasi, menggetarkan tanah di bawah mereka.Kertas kimcoa melayang-layang di udara, berhamburan seakan mengantarkan kematian seseorang yang sudah pasti di hari ini. Pelataran itu, yang biasanya menjadi tempat latihan seni pedang, kini dipenuhi aura pembantaian yang menyesakkan."Guru Cui! Ketua Bu Hui!" seorang murid yunior berlari dari arah gerbang utama. Nafasnya terengah-engah, suaranya serak oleh rasa takut yang mencekam.Cui Xuegang, yang tengah bersantai di ruang utama, segera bangkit dari tempat duduknya.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Selama Dunia Masih Mengijinkan

    Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kabar-kabar Gembira Di Kekaisaran Shenguang

    Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kembalinya Sang Dewa Pedang

    Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nada Seruling Di Malam Bulan Purnama

    Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status