Share

Aku Manusia Biasa

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-30 11:00:54

“Aih, Song Mingyu!” Seruan Ren Hui memecah keheningan malam saat dia menoleh dan mendapati sosok pemuda itu tengah bersandar santai di pintu rumah beroda mereka. Tatapannya penuh rasa ingin tahu, tapi diiringi senyuman yang seakan-akan tidak terkejut sama sekali.

“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” Junjie ikut menatap, nada suaranya setengah heran, setengah menggoda. “Kupikir kau masih sibuk memandangi lukisan Dewa Pedang milikmu itu.” Senyumnya tipis, cukup untuk membuat orang lain bingung apakah ia sungguh-sungguh atau hanya bercanda.

Song Mingyu mendengus kecil. Dia melipat tangan di depan dada, memalingkan wajah sejenak sebelum kembali menatap keduanya dengan sorot mata kesal. “Kalian bersenang-senang tanpa mengajakku. Betapa tidak adilnya kalian.” Ada nada manja dalam suaranya, meskipun raut wajahnya mencoba terlihat serius.

Ren Hui mengibaskan payung putihnya, sisa tetesan air memercik lembut ke lantai kayu sebelum dia melipatnya dengan rapi. Payu
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Rahasia Pondok Di Balik Air Terjun

    Air Terjun Tersembunyi, Kota YueliangMo Yuan berdiri tegak di tepi halaman kecil yang dibatasi oleh dinding air terjun yang terus-menerus bergemuruh. Butiran air yang lembut berterbangan di udara, membasahi sedikit pakaian hitamnya yang berkibar tertiup angin dingin. Pandangannya tertuju pada pondok kecil yang sederhana namun penuh misteri. Di dalam, Wei Xueran sudah lebih dahulu memasuki ruangan, meninggalkan suara langkah-langkah ringan yang teredam oleh suara air terjun."Kenapa kau hanya berdiri di sini?" Suara berat dan serius Kasim Zheng memecah keheningan, memaksa Mo Yuan untuk menoleh.Pria berhanfu hitam dengan jubah panjang itu hanya tersenyum tipis, meski matanya menunjukkan sorot penuh perhitungan. "Aku hanya mengamati suasana," jawabnya santai. Namun, kakinya mulai bergerak mengikuti langkah sang kasim yang sudah memasuki pondok bersama Han Jin. Pria yang sedari tadi juga berdiri di sampingnya, mengamati suasana sekitar. M

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Janji Junjie

    Kota JinghuSong Mingyu menarik ulur lobak merah yang diikatkan pada sebatang ranting. Sembari menepuk pantat keledai berbulu hitam yang ditungganginya, ia menghela napas panjang. Namun keledai itu tampak enggan bergerak lebih cepat."Aiyo! Aiyo! Lobak, kau pikir kau ini keledai milik Yang Mulia Kaisar?" keluhnya dengan nada bercanda yang terselip rasa kesal.Lobak, nama yang diberikan Junjie pada keledai hitam itu ketika membelinya di pasar beberapa waktu lalu, mendengus sambil menggerakkan telinganya. Tindakannya itu seakan menjawab keluhan sang penunggang."Iya, iya! Kau benar! Meski Junjie itu sebenarnya Pangeran Yongle, di mataku dia hanya pria pengangguran, pemalas, dan sakit-sakitan. Apa yang bisa kau harapkan dari orang seperti dia?" Song Mingyu terus berceloteh sambil menggelengkan kepalanya.Di tempat lain, di dalam rumah beroda yang bergerak perlahan menyusuri jalanan kota Jinghu, Junjie bersin keras. Dia mendongak heran. Cuaca

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Wujud Kekaisaran Shenguang

    Perjalanan Ren Hui dan kawan-kawan terus berlanjut, meninggalkan Kota Jinghu yang kini hanya terlihat samar di kejauhan. Mereka melewati pedesaan yang sunyi, di mana hamparan ladang baru saja selesai dipanen. Sisa jerami yang mengering bertebaran, mengirimkan aroma khas musim panen yang bercampur dengan debu ringan yang beterbangan bersama angin."Berapa lama lagi kita sampai di Qingge?" tanya Song Mingyu, suaranya terdengar malas dan bosan, memecah keheningan. Ia bersandar di dinding kayu teras beroda, menggigit setangkup rumput liar yang ia petik entah dari mana.Baihua duduk di sampingnya dengan lidah terjulur, napasnya pendek-pendek. Rubah putih itu tampak kelelahan menghadapi suhu yang mulai meningkat. Musim semi hampir berakhir, dan angin yang tadinya sejuk kini membawa hawa hangat, meninggalkan jejak keringat di pelipis manusia dan makhluk hidup lainnya."Mungkin satu atau dua minggu lagi, tergantung situasi di kota berikutnya," jawab Ren Hui santai

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Qingge; Jejak Kekaisaran Yang Terpecah

    Beberapa hari kemudian, mereka tiba di Kota Qingge. Kota ini, menurut Junjie, adalah miniatur dari Ibukota Baiyun. Dengan arsitektur yang tertata rapi dan suasana yang terjaga, Qingge memancarkan aura ketenangan yang khas.Di pinggiran kota, berdiri manor-manor megah milik bangsawan kuno yang berjajar di sepanjang tepi Sungai Ombak Hijau. Sungai itu mendapat namanya dari ganggang yang tumbuh subur di dasarnya, membuat air sungai seakan-akan berwarna hijau zamrud saat tertimpa cahaya matahari. Hal ini juga yang membuat Qingge dikenal sebagai penghasil rumput laut kualitas tinggi dan ikan air tawar terbesar kedua setelah Jinghu di wilayah barat Kekaisaran Shenguang."Qingge dahulu merupakan ibukota Shenguang Barat," ujar Junjie, menoleh ke arah Song Mingyu yang tampak terpikat oleh pemandangan kota.Mereka berjalan santai menyusuri jalan setapak yang dihiasi pohon-pohon maple. Daun-daun merahnya berguguran perlahan, terdorong angin lembut yang membawa aroma

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Alun-alun Kota Qingge

    Mereka bertiga melangkah perlahan di jalan setapak yang mengelilingi alun-alun. Jalan itu disusun dari batu-batu alam berbentuk persegi, ditata sedemikian rupa hingga membentuk pola geometris yang harmonis. Di sepanjang jalan, lentera kertas dengan desain minimalis namun artistik tergantung rapi, memancarkan cahaya keemasan lembut yang menerangi sore yang mulai meredup. Udara hangat berpadu dengan semilir angin malam yang perlahan menyusup, membawa aroma samar bunga sakura dan daun maple.“Masih sore hari. Suasana belum terlalu ramai,” gumam Junjie, suaranya nyaris tertelan angin.Song Mingyu menoleh, langkahnya kini sejajar dengan mereka. Ia berjalan di sebelah kiri Junjie, sementara Ren Hui ada di sisi kanan.“Suasana seperti ini mengingatkanku pada masa kecil,” ujar Junjie pelan, senyumnya tipis, dan pandangannya menerawang jauh, seolah menggali ingatan yang telah lama terkubur. “Saat aku baru berusia delapan tahun.”“Kau yakin tidak

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tamu Dari Kediaman Keberuntungan Besar

    Ren Hui berjalan santai, memutar lampion yang baru saja dibelinya. Cahaya hangat lampion memantul lembut di atas jalan setapak berlapis batu bata. Di sisinya, Junjie melangkah dengan gaya khasnya—acuh tak acuh, seolah dunia di sekitarnya hanya sekadar bayangan. Sementara itu, Song Mingyu sibuk menikmati tanghulu manis yang dibelikan Ren Hui sebelumnya, sesekali menjilat jemarinya yang lengket gula. Mereka tampak santai, seakan tidak menyadari bayangan yang terus mengikuti mereka sejak di alun-alun.Begitu tiba di tepi Sungai Ombak Hijau, mereka berhenti. Air sungai yang berkelok tenang memantulkan sinar bulan, menciptakan pemandangan yang memikat. Di kejauhan, deretan manor-manor megah berdiri anggun di bawah cahaya malam."Di mana letak Kediaman Keberuntungan Besar?" Ren Hui bertanya, pandangannya masih terpaku pada aliran sungai yang meliuk seperti naga. Junjie menggelengkan kepala, senyuman kecut terulas di wajahnya. "Aku tidak tahu," jawabnya pendek.Ren Hui menghela napas ringan,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Arak Obat Untuk Tuan Muda Ketiga Hong

    Song Mingyu datang menyajikan teh dan dengan ramah mempersilakan mereka untuk menikmati teh hangat terlebih dahulu. Udara dingin dari luar terasa tajam saat pintu rumah beroda terbuka, tetapi di dalamnya, aroma teh yang hangat menyebar, menenangkan jiwa. Ren Hui menuangkan teh ke dalam cangkir, bergerak hati-hati agar tidak ada setetes pun yang tumpah. Ia menyajikan teh untuk tamunya, dirinya sendiri, Junjie, dan Song Mingyu."Silakan diminum tehnya, Nona Yin," tawarnya dengan ramah, senyum ringan menghiasi wajahnya. Yin Tao mengangguk, matanya menyipit sedikit karena kehangatan teh yang menyentuh bibirnya. Dengan gerakan elegan, ia mengambil cangkir teh dan menyesapnya perlahan. "Teh yang enak. Segar dan menghangatkan tubuh," pujinya dengan tulus, nadanya lembut dan penuh makna. Ia tersenyum hangat dan meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja dengan hati-hati, seolah tidak ingin mengganggu ketenangan yang tercipta."Terima kasih Nona. Aku rasa masih te

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kakak Ipar

    Beberapa hari kemudian berlalu dengan tenang. Untuk sementara waktu, Ren Hui memutuskan untuk menetap di Qingge. Seperti biasanya, dia berjualan arak di pasar atau sesekali menawarkan araknya langsung pada pemilik kedai, restoran, penginapan, bahkan rumah bordil dan rumah judi yang tersebar di sekeliling kota.Seperti siang ini, Junjie duduk dengan santai di pelataran Paviliun Bunga Malam, sebuah rumah bordil terbesar di Kota Qingge. Udara siang terasa hangat meski matahari mulai condong ke barat, menebarkan cahaya lembut yang menambah keindahan paviliun tersebut. Di sebelahnya, Song Mingyu duduk termenung, matanya menatap kosong ke arah paviliun yang ramai. Meskipun di siang hari biasanya tidak seramai malam, suara riuh para wanita dan lelaki pengunjung tetap terasa mengganggu ketenangannya."Aiyo, apa yang tengah dilakukan Ren Hui? Kenapa dia lama sekali?" keluhnya, suaranya penuh dengan ketidaksabaran yang tercermin dari tindak-tanduknya yang tidak tenang.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Baihua Dan Kelinci Buruannya

    Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Gelang Mutiara Malam

    Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ada Aku Di Sini

    Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Di Pasar Hóngshā

    Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pesona Ren Hui

    Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Kembali Untuk Diriku Sendiri

    Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ren Hui Dan Bi'an Hua

    Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Jenderal Miu Mengunjungi Rumah Beroda

    Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kaisar Yang Baik

    Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"

DMCA.com Protection Status