Junjie bersandar santai di bawah pohon wisteria yang sedang berbunga. Hembusan angin lembut menggoyangkan dahan, membuat kelopak bunga wisteria yang bercahaya keunguan jatuh perlahan di sekitarnya, melayang-layang seperti hujan cahaya. Matanya terpaku pada sosok Ren Hui yang tengah berlatih di tepi danau.
Ren Hui bergerak dengan anggun, seperti seorang penari istana yang meliuk di tengah panggung. Setiap langkah dan ayunan tangannya membentuk pola indah, seolah dia sedang menari bersama kelopak-kelopak merah darah yang berhamburan di sekitarnya. Junjie tersenyum kecil. Meski sering menyebut dirinya pemalas, dia tak pernah bisa berpaling ketika Ren Hui memegang senjata.“Dia selalu menarik saat menggunakan pedang, apa pun jurusnya,” gumam Junjie lirih, nyaris seperti bisikan angin malam. Senyum tipis itu berubah menjadi kilasan kekaguman yang sulit ia sembunyikan.Di tengah danau sebening cermin, Ren Hui berdiri ringan, ujung kakinya menyentuh permukaan airDi bawah cahaya rembulan yang samar, Ren Hui dan Junjie berjalan menyusuri tepi danau Jinghu. Aroma lembut bunga musim semi bercampur dengan kesejukan angin malam mengiringi langkah mereka. Di antara keheningan, sebuah perahu kecil tertambat pada tonggak kayu tua, seolah-olah menunggu kehadiran mereka."Mau mencoba naik perahu ke tengah danau?" tanya Ren Hui, matanya yang cerah memandang perahu sederhana itu dengan penuh rasa ingin tahu.Junjie memperhatikan perahu itu lekat-lekat, alisnya mengernyit. “Di mana pemiliknya?” tanyanya, matanya menyapu sekitar, mencari keberadaan nelayan atau penjaga perahu."Aku rasa pemiliknya sengaja meninggalkannya. Mungkin mereka tidak menyeberangkan orang di malam hari," jawab Ren Hui, menunjuk ke seberang danau yang remang-remang dalam kabut. Junjie menatap perahu itu sejenak sebelum tersenyum tipis. "Baiklah, ayo kita berkeliling danau!" katanya, tangannya cekatan mengambil lentera yang tergantung di tonggak
Song Mingyu duduk termenung, pandangannya terpaku pada permukaan meja kayu yang kusam. Jemarinya yang ramping mengetuk-ngetuk perlahan, seolah mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. Di bayangannya, danau Jinghu kembali hadir, memantulkan bayang-bayang langit malam yang pekat, seperti layar raksasa yang menyimpan rahasia.Pikiran itu terusik oleh ingatan tentang Ren Hui, yang selama ini ia anggap hanya seorang pedagang arak sederhana. Namun, momen di atas danau Jinghu telah mengubah segalanya. Sosok yang tampak lemah dan tak terlatih itu ternyata memiliki kemampuan yang sulit dipercaya. Ren Hui memang tidak sempurna; gerakannya kerap canggung, dan kadang ia terlihat ragu mengambil risiko. Namun, ada sesuatu dalam jurusnya—sesuatu yang membuat Song Mingyu tak bisa mengabaikannya.“Jurusnya memang lumayan,” gumamnya lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Namun, seperti kata Junjie, tenaga dalamnya masih jauh dari memadai.”Ia tersenyu
Song Mingyu dan Junjie duduk diam, masing-masing dengan ekspresi berbeda. Ketegangan memancar di wajah Song Mingyu, sementara Junjie tampak tenang meski pandangan matanya mengamati setiap gerakan Ren Hui. Di atas meja, lukisan besar Dewa Pedang Ren Jie terhampar, permukaannya berkilauan di bawah cahaya lentera. Ren Hui muncul kembali dari belakang dengan teko berisi air dingin. Langkahnya pelan tapi pasti, seperti seseorang yang sepenuhnya yakin akan tindakannya.Tanpa banyak bicara, dia menuangkan air dari teko itu ke permukaan lukisan. Aliran air yang dingin menciptakan riak tipis pada kertasnya, seperti salju mencair di awal musim semi."Eh!" Song Mingyu berseru dengan nada cemas. Tangannya bergerak cepat hendak menghentikan Ren Hui, tetapi sebelum dia sempat melakukannya, Junjie menahan lengannya."Biarkan dia," ujar Junjie singkat, matanya tetap tertuju pada Ren Hui.Ren Hui menoleh, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis y
Arak seribu tahun bukan jenis arak yang menyerang tenggorokan dengan tajam. Sebaliknya, aromanya lembut dan rasa yang mengalir di lidah begitu halus—tetapi mengandung kekuatan yang memabukkan. Siapapun yang mencicipinya hanya perlu sekali untuk jatuh dalam candu, terperangkap dalam kerinduannya yang sulit dilepaskan.Ren Hui, yang berdiri santai di teras rumah beroda, memandang Junjie dengan senyum tipis. Di tangannya, kendi arak itu hampir kosong. Junjie meneguk lagi tanpa ragu hingga tetes terakhir menetes ke dagu. Dengan gerakan sederhana tetapi anggun, ia menyeka dagunya menggunakan ujung mantelnya, lalu menatap kendi yang kini kosong seolah menyayangkan isinya yang lenyap terlalu cepat.“Arak seribu tahun ... pantas disebut seperti itu ,” ucap Junjie, suaranya mulai terdengar sengau, menunjukkan efek arak yang mulai merasuk.Ren Hui tertawa kecil, mengangkat kendi miliknya. Tapi sebelum sempat meneguk, kilatan tajam pedang membuatnya tertegun. Junjie,
“Aih, Song Mingyu!” Seruan Ren Hui memecah keheningan malam saat dia menoleh dan mendapati sosok pemuda itu tengah bersandar santai di pintu rumah beroda mereka. Tatapannya penuh rasa ingin tahu, tapi diiringi senyuman yang seakan-akan tidak terkejut sama sekali.“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” Junjie ikut menatap, nada suaranya setengah heran, setengah menggoda. “Kupikir kau masih sibuk memandangi lukisan Dewa Pedang milikmu itu.” Senyumnya tipis, cukup untuk membuat orang lain bingung apakah ia sungguh-sungguh atau hanya bercanda.Song Mingyu mendengus kecil. Dia melipat tangan di depan dada, memalingkan wajah sejenak sebelum kembali menatap keduanya dengan sorot mata kesal. “Kalian bersenang-senang tanpa mengajakku. Betapa tidak adilnya kalian.” Ada nada manja dalam suaranya, meskipun raut wajahnya mencoba terlihat serius.Ren Hui mengibaskan payung putihnya, sisa tetesan air memercik lembut ke lantai kayu sebelum dia melipatnya dengan rapi. Payu
Air Terjun Tersembunyi, Kota YueliangMo Yuan berdiri tegak di tepi halaman kecil yang dibatasi oleh dinding air terjun yang terus-menerus bergemuruh. Butiran air yang lembut berterbangan di udara, membasahi sedikit pakaian hitamnya yang berkibar tertiup angin dingin. Pandangannya tertuju pada pondok kecil yang sederhana namun penuh misteri. Di dalam, Wei Xueran sudah lebih dahulu memasuki ruangan, meninggalkan suara langkah-langkah ringan yang teredam oleh suara air terjun."Kenapa kau hanya berdiri di sini?" Suara berat dan serius Kasim Zheng memecah keheningan, memaksa Mo Yuan untuk menoleh.Pria berhanfu hitam dengan jubah panjang itu hanya tersenyum tipis, meski matanya menunjukkan sorot penuh perhitungan. "Aku hanya mengamati suasana," jawabnya santai. Namun, kakinya mulai bergerak mengikuti langkah sang kasim yang sudah memasuki pondok bersama Han Jin. Pria yang sedari tadi juga berdiri di sampingnya, mengamati suasana sekitar. M
Kota JinghuSong Mingyu menarik ulur lobak merah yang diikatkan pada sebatang ranting. Sembari menepuk pantat keledai berbulu hitam yang ditungganginya, ia menghela napas panjang. Namun keledai itu tampak enggan bergerak lebih cepat."Aiyo! Aiyo! Lobak, kau pikir kau ini keledai milik Yang Mulia Kaisar?" keluhnya dengan nada bercanda yang terselip rasa kesal.Lobak, nama yang diberikan Junjie pada keledai hitam itu ketika membelinya di pasar beberapa waktu lalu, mendengus sambil menggerakkan telinganya. Tindakannya itu seakan menjawab keluhan sang penunggang."Iya, iya! Kau benar! Meski Junjie itu sebenarnya Pangeran Yongle, di mataku dia hanya pria pengangguran, pemalas, dan sakit-sakitan. Apa yang bisa kau harapkan dari orang seperti dia?" Song Mingyu terus berceloteh sambil menggelengkan kepalanya.Di tempat lain, di dalam rumah beroda yang bergerak perlahan menyusuri jalanan kota Jinghu, Junjie bersin keras. Dia mendongak heran. Cuaca
Perjalanan Ren Hui dan kawan-kawan terus berlanjut, meninggalkan Kota Jinghu yang kini hanya terlihat samar di kejauhan. Mereka melewati pedesaan yang sunyi, di mana hamparan ladang baru saja selesai dipanen. Sisa jerami yang mengering bertebaran, mengirimkan aroma khas musim panen yang bercampur dengan debu ringan yang beterbangan bersama angin."Berapa lama lagi kita sampai di Qingge?" tanya Song Mingyu, suaranya terdengar malas dan bosan, memecah keheningan. Ia bersandar di dinding kayu teras beroda, menggigit setangkup rumput liar yang ia petik entah dari mana.Baihua duduk di sampingnya dengan lidah terjulur, napasnya pendek-pendek. Rubah putih itu tampak kelelahan menghadapi suhu yang mulai meningkat. Musim semi hampir berakhir, dan angin yang tadinya sejuk kini membawa hawa hangat, meninggalkan jejak keringat di pelipis manusia dan makhluk hidup lainnya."Mungkin satu atau dua minggu lagi, tergantung situasi di kota berikutnya," jawab Ren Hui santai
Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga
Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija
Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam