Home / CEO / Suamiku Bukan Pegawai Biasa / Chapter 91 - Chapter 100

All Chapters of Suamiku Bukan Pegawai Biasa: Chapter 91 - Chapter 100

118 Chapters

Keluarga yang terpecah

"Adrian?" Pak Hartono yang tadinya duduk tenang, langsung menegakkan tubuhnya. "Apa yang dilakukan Adrian di sana?" tanyanya dengan nada penuh penasaran.Reza mengangkat bahu lagi. "Entahlah, Pa. Tapi dari penampilannya, aku rasa dia kerja sebagai OB di sana. Bajunya biasa banget, jauh dari kesan seorang bos.""OB?" Dimas yang sejak tadi diam, ikut berbicara. "Apa kamu yakin Adrian cuma OB di sana?"Reza mengangguk dengan yakin. "Ya, pasti lah. Masa Adrian jadi CEO di sana? Nggak mungkin banget, Kak. Selama ini dia cuma karyawan biasa. Aku yakin dia kerja jadi OB atau pekerjaan serabutan semacam itu."Pak Hartono tersenyum kecil mendengar keyakinan Reza. "Iya, benar. Pekerjaan Adrian selama ini memang tidak terlalu menonjol. Jadi OB mungkin saja jadi pilihan dia saat ini."Pak Hartono duduk diam, memikirkan ucapan Siska yang penuh emosi. Semua yang dibicarakan di ruang tamu malam itu terasa semakin berat di hatinya. "Kalau memang benar Adrian sekarang bekerja di Aditya Corporation, b
Read more

Dua Sisi Kehidupan Reza

"Ah, nggak usah. Palingan dia mau pinjam uang lagi. Lagian, ini nggak terlalu penting," jawab Reza sambil menekan tombol untuk menolak panggilan dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celananya. Wajahnya masih menyimpan kegelisahan, berharap telepon itu tidak akan berdering lagi.Namun, belum lama setelah ponsel dimasukkan ke saku, dering ponsel itu terdengar kembali. Kali ini lebih membuat Reza panik. Lagi-lagi, nama "Lukas" tertera di layar."Duh, siapa sih lagi, ganggu saja!" keluh Reza sambil mengeluarkan ponselnya lagi. Dia tahu betul bahwa Lina tidak akan berhenti menelepon sampai dia menjawabnya."Sudah, angkat saja, sayang. Mungkin benar-benar penting," kata Siska, sedikit penasaran dengan kenapa suaminya terlihat begitu ragu.Dengan terpaksa, Reza mengambil keputusan cepat. "Baiklah, kalau begitu aku angkat di luar saja ya, sayang," ucapnya sambil beranjak dari kursi, bermaksud menjauh agar bisa berbicara tanpa gangguan.Namun, Siska yang biasanya tidak terlalu peduli
Read more

Pertemuan tak terduga

Di depan pintu, Lina berdiri dengan senyum menggoda. Dia mengenakan pakaian yang jauh dari biasa, hanya dibalut pakaian tidur tipis yang tampak sengaja dipilih untuk menarik perhatian Reza. Mata Lina berkilat penuh godaan, dan dia berjalan mendekat.Reza, yang tadinya khawatir, sekarang hanya bisa tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala. "Jadi, kamu bohong soal orang yang mondar-mandir di depan apartemen mu? Ini semua hanya akal-akalanmu saja biar aku datang ke sini?" tanyanya dengan suara rendah, sambil mencolek hidung Lina.Lina tersenyum dan mengangguk, sedikit menundukkan kepalanya. "Habisnya, kalau aku nggak pakai alasan begitu, kamu nggak bakal datang kesini, mas. Ini sudah seminggu lo kita nggak ketemu, Mas," jawab Lina manja."Iya, maafkan aku, sayang. Minggu-minggu ini mas benar-benar sibuk di kantor," ucap Reza mencoba membela diri, meskipun dia tahu ada kebenaran dalam ucapan Lina."Ah, itu hanya alasanmu saja. Bilang saja kamu sibuk mengurus istrimu itu," sahut Lina de
Read more

Jejak penghianatan

Melihat Dinda yang pergi begitu saja, Dimas panik. Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari menyusulnya. "Dinda, tunggu!" teriak Dimas, suaranya menggema di lorong-lorong mall. Namun, Dinda tidak menoleh, langkahnya semakin cepat, meninggalkan butik itu tanpa menoleh sedikit pun. Saat Dimas hendak mengejar lebih jauh, tiba-tiba tangan Rita menariknya. "Mas, tunggu! Siapa dia? Kenapa kamu panik begitu?" tanya Rita dengan suara bingung dan khawatir.Dimas terdiam sejenak, memandang Rita dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Dia... dia Dinda, sayang. Dia Istriku," ucapnya pelan, nyaris berbisik. Namun, kata-kata itu menghantam keras di hati Rita.Rita tertegun, tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Selama ini, ia tahu nama Dinda sebagai istri Dimas, tapi ia tak pernah tahu seperti apa wajah wanita itu. Kini, wanita yang selama ini hanya nama di benaknya, ada di depannya, dan kenyataan itu begitu menyakitkan."Istrimu, Mas?" tanya Rita dengan suara gemetar, seolah memastikan diriny
Read more

Ketika Cinta Tak Lagi Cukup

Dinda berangsur pergi, langkahnya cepat dan penuh amarah. Namun tiba-tiba, suara Rita memanggil dari belakang, menghentikan langkahnya. "Tunggu, Dinda... jangan pergi dulu," suara Rita terdengar lirih namun jelas. Dinda berhenti sejenak, namun tidak menoleh. Hatinya bergejolak antara ingin segera pergi atau mendengar kata-kata yang keluar dari mulut perempuan yang sudah menghancurkan hidupnya.Rita berjalan mendekat, langkahnya pelan, penuh keraguan. "Aku tahu... aku tahu kamu mungkin sulit untuk memaafkan kami. Dan kamu berhak untuk marah, aku paham itu karena kami yang salah," ucapnya dengan suara pelan, wajahnya penuh rasa bersalah. Matanya menatap punggung Dinda yang membeku di tempatnya, tanpa sedikit pun tanda akan membalas.“Apa lagi yang ingin kamu katakan?” Dinda berkata, suaranya bergetar menahan amarah yang terpendam. Ia tidak ingin mendengar lebih banyak kebohongan, namun ada sesuatu dalam suara Rita yang membuatnya berhenti. Sesuatu yang entah bagaimana, membuatnya tetap
Read more

Saat Nyawa dan Cinta Diuji

“RITA!!” teriak Dimas panik, berlari ke arah tubuh Rita yang tergeletak. Darah mulai mengalir dari antara kaki Rita, menodai aspal. Matanya terpejam, wajahnya pucat pasi, menahan sakit yang luar biasa di perutnya.“Tidak… Rita… bertahanlah!” seru Dimas, suaranya pecah penuh kekhawatiran. Dinda, yang masih syok, tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia hanya bisa melihat, dengan napas terengah-engah, ketika darah terus mengalir di bawah tubuh Rita.“Ambulans… kita butuh ambulans!” Dimas memekik, tangannya gemetar saat menelepon dengan panik. Wajahnya penuh ketakutan, dan air mata mulai membasahi pipinya. "Tolong... secepatnya! Ada wanita hamil yang terluka parah!"Rita masih terbaring, napasnya terengah-engah, tangannya memegangi perut yang terasa sangat sakit. Namun, dalam kondisi sekarat, dia tetap berusaha tersenyum lemah ke arah Dinda. “Dinda… maafkan aku…” ucapnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.Dinda mendekati Rita, tubuhnya gemetar. Dia tahu seharusnya merasa marah, namun meli
Read more

Penantian di Ruang Tunggu

Di ruang tunggu, Dimas merasa seperti disiksa oleh waktu yang berjalan lambat. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan ia hanya bisa memikirkan hal terburuk. Teringat saat-saat indah bersama Rita, tawa dan senyumnya, serta janji yang pernah ia ucapkan untuk selalu melindungi istrinya. Namun kini, perasaan bersalah menghantam keras. Dimas hanya bisa berdoa dalam hati, berharap agar Tuhan memberi kesempatan kedua.Sementara itu, di ruang operasi, dokter memulai proses caesar darurat. Suasana begitu tegang. Pisau bedah dengan hati-hati membelah lapisan perut Rita, dan saat rahim terbuka, bayi yang masih sangat kecil muncul, berjuang untuk hidup. Dokter bedah mengangkat bayi itu dengan cepat. "Bayi berhasil dikeluarkan, tapi sangat prematur. Cepat siapkan inkubator di NICU," perintahnya.Bayi mungil itu langsung dibawa oleh tim neonatal, masih dalam keadaan lemah. Mereka menyiapkan segala perlengkapan untuk mendukung pernapasan dan menjaga suhu tubuhnya. Di ruangan yang terpisah, Rita m
Read more

Pesan terakhir

n itu. "Kamu mau ngomong apa, Sayang? Apa tidak sebaiknya kamu istirahat dulu? Kamu ini masih lemah. Nanti saja kalau sudah lebih baikan," kata Dimas khawatir.Rita menggeleng lemah, meringis kesakitan ketika tubuhnya mencoba bergerak sedikit. “Nggak, Mas… aku harus bicara sekarang. Aku takut tidak punya waktu lagi...” jawab Rita dengan suara yang semakin pelan."Hush... jangan ngomong yang aneh-aneh. Kamu pasti sembuh, Rita. Nggak ada yang perlu kamu takutkan," balas Dimas, mencoba menyemangati istrinya, meski hatinya ikut waswas.Namun, Rita tetap bersikeras. “Mas, tolong... panggil Dinda sekarang. Aku nggak mau menunggu lagi,” pintanya lagi, suaranya penuh dengan rasa mendesak meski tubuhnya sangat lemah.Dimas merasa terpojok. Dia tidak ingin Rita memaksakan diri, tapi dia juga tidak bisa mengabaikan keinginannya. Akhirnya, setelah diam sejenak, Dimas mengalah. "Baik, aku akan panggil Dinda. Tapi kamu janji ya, kalau sudah capek atau kesakitan, kamu langsung istirahat. Jangan mema
Read more

Perpisahan Tanpa Kata

Namun, tiba-tiba tubuh Rita mengejang, seperti tersentak oleh rasa sakit yang luar biasa. Monitor detak jantung yang semula berbunyi stabil mulai berbunyi tak menentu, seolah-olah sedang berlomba dengan waktu. Dinda terkejut, melihat tubuh Rita yang sekarat di depannya.“Rita…! Rita!!” teriak Dinda panik, memanggil namanya, berharap Rita akan membuka matanya lagi. Air matanya mengalir deras, jatuh di atas tangan Rita yang perlahan mulai kehilangan kehangatannya.Dimas, yang mendengar suara teriakan Dinda di luar, segera berlari masuk. “Rita?! Rita!!” Dimas berteriak, matanya membelalak melihat kondisi istrinya yang semakin parah. Dia langsung berlari ke arah Rita, mengguncang bahunya dengan cemas. "Sayang, bertahan! Bertahanlah, tolong!"Dokter dan perawat bergegas masuk, mendorong Dinda dan Dimas ke samping. “Maaf, kami harus menangani pasien!” ujar salah satu dokter sambil segera memeriksa keadaan Rita. Tim medis mulai bekerja cepat, menyiapkan alat-alat darurat untuk menyelamatkan
Read more

Cinta dan tanggung jawab

Bayi itu tampak begitu kecil, terbaring tenang di dalam inkubator dengan berbagai alat medis yang membantunya bertahan. Dinda berdiri di balik kaca, menatap bayi itu dengan mata yang berkaca-kaca. "Ternyata laki-laki," gumamnya pelan, menahan perasaan yang sulit ia definisikan. "Akhirnya, keluarga Hartono punya penerus laki-laki juga... walaupun lahir bukan dari rahimku."Kata-kata itu terucap dengan getir. Ada perasaan tak terelakkan yang menghantui Dinda—kenapa bukan dia yang memberi Dimas seorang anak, kenapa bukan dia yang bisa menjadi ibu dari penerus keluarga Hartono. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dari perasaan yang menghimpit dadanya."Kenapa, Tuhan…," ucapnya lirih, hampir tak terdengar. "Kenapa Kau menghukumku seperti ini? Apakah ini balasan atas semua yang pernah kulakukan pada Anisa? Apakah aku dihukum menjadi wanita mandul karena dosa-dosa masa laluku?"Air mata mengalir tanpa bisa dicegah, tapi Dinda tidak menghapusnya. Dia menatap bayi laki-laki it
Read more
PREV
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status