Semua Bab Just Friend (Trilogi Just, Seri-1): Bab 21 - Bab 30

74 Bab

BAB 21: Rasa Bersalah

ARINISetelah melewati perdebatan dengan Bran, akhirnya dia setuju untuk jaga jarak selama di sekolah. Ngeri juga jika geng Chibie gangguin lagi. Mereka benar-benar berbahaya. Masih trauma setelah dikurung di atap waktu itu.Begitu tiba di dalam gedung, kami segera masuk ke bioskop untuk memilih film yang akan ditonton. Ternyata Bran juga suka semua genre film sama dengan gue. Kayaknya kami bisa menjadi teman, karena banyak kesamaan juga.Kak Gadis ternyata orangnya asik juga, meski ceplas-ceplos tapi baik. Kaget juga waktu dia panggil Bran dengan sebutan cengeng. Apa dia secengeng itu waktu kecil, sampai dikasih julukan begitu sama sepupunya? Nggak kebayang gimana jadinya kalau cewek-cewek yang nge-fans sama dia tahu gimana Brandon? Haha!Selesai berdiskusi akhirnya pilihan film yang akan ditonton jatuh kepada film Hollywood berjudul Déjà Vu, genre fiksi ilmiah dan thriller. Sebagai pelajar yang baik, tentu harus memilih film yang bisa ditonton. Sebenarnya pengin nonton film Final De
Baca selengkapnya

BAB 22: Being a Best Friend

BRANDONAku melihat Iin pergi meninggalkan kami berdua. Ada yang aneh dari gelagatnya sejak tadi. Dia sempat melontarkan pernyataan yang kontras ketika berbicara dengan Papa, begitu juga dengan tadi. Apa benar Arini memiliki pacar? Atau bisa jadi berbohong agar aku tak lagi mengganggunya, ‘kan? Mencurigakan.“Kenapa, Ngeng? Segitunya lihatin Arini?” celetuk Gadis menyentakkanku.“Eh?” Aku menggelengkan kepala. “Nggak kok.”“Lo yakin nggak ada perasaan apa-apa sama dia?” selidik Gadis menatap curiga.“Ya nggak-lah. Lagian bukan tipe gue,” kilahku sambil menyandarkan tubuh.“Kali aja gitu. Anaknya cantik juga kok.”Aku hanya mengembuskan napas pendek menanggapi perkataan Gadis. Pandangan beralih ke pintu masuk restoran cepat saji, tanpa sengaja tertangkap sosok cewek yang cukup akrab di mata.“Hai, Brandon. Jodoh banget ya ketemu di sini,” sapanya sambil mengibaskan rambut hitam panjang sedikit di bawah bahu.Gadis melihat ke sumber suara, lantas menendang kaki ini. Dia memberi kode men
Baca selengkapnya

BAB 23: Sunset di Ancol

ARINIBrandon melihat dengan tatapan bingung, keningnya berkerut. Mata sayu hitamnya kini memandang gue lekat. Dia maju satu langkah ke depan, membuat kaki ini mundur ke belakang.“Bohong kenapa, In? Apa lo pernah bohongin gue?” ujarnya di tengah semilir angin laut yang mulai kuat menyapa tubuh.Haruskah berterus terang mengatakan kalau gue sama sekali nggak punya pacar? Gimana kalau nanti dia malah menjauh terus intimidasi lagi kayak sebelumnya? Nggak untuk sekarang. Bran belum boleh tahu tentang ini.“Nggak, cuma tanya aja. Andai gue bohongin lo. Tapi pasti ada alasannya jika orang bohong, ‘kan?” jelas gue cepat.“Lo tiba-tiba tanya begini pasti ada alasannya juga, In,” selidik Bran. Ternyata dia nggak percaya begitu aja.Gue tertawa aneh sambil membetulkan poni yang ditiup angin. “Gu-gue tanya itu karena kita ‘kan sekarang berteman. Bisa jadi suatu saat, salah satu di antara kita ada yang bohong. Maksudnya pengin tahu aja sih tanggapan lo,” kata gue mencari alasan yang tepat.Mata
Baca selengkapnya

BAB 24: Rasa Penasaran

BRANDONHampir dua hari ini, aku berpikir tentang keanehan dari cerita Iin tentang pacarnya. Tak hanya itu, dia menunjukkan gelagat mencurigakan. Apalagi ketika di Ancol Arini menyinggung masalah kebohongan. Apa dugaanku benar bahwa dia berbohong tentang pacarnya?“Kenapa, Bran? Kamu sepertinya sedang banyak pikiran,” tanya Mama ketika kami sedang sarapan.Aku menggelengkan kepala. “Nggak, Ma. Cuma kepikiran pelajaran aja,” jawabku berbohong.Kenapa aku jadi ikut-ikutan berdusta? Hufh!“Itu baru anak Papa. Sepertinya Arini membawa dampak positif untuk kamu,” puji Papa dengan raut wajah bangga.Aku hanya menggaruk kepala sambil nyengir. Segera dihabiskan sarapan, karena harus menjemput Arini sebelum berangkat sekolah.“Lho kenapa buru-buru, Bran?” Mama melihatku dengan kening berkerut.“Aku mau jemput Iin dulu sebelum ke sekolah, Ma. Kasihan kalau harus naik angkot.”Papa berdeham-ria mendengar perkataanku. Apa-apaan itu maksudnya?“Iya, kasihan tuh kemarin temani Mama belanja seharian
Baca selengkapnya

BAB 25: Haruskah Mengatakan yang Sebenarnya?

ARINI“Eh, Sabtu kemarin Brandon kabarnya nge-date lagi sama cewek lain. Cakep banget.” Tiba-tiba terdengar suara seorang siswi di luar bilik toilet.Tangan yang sedang melipat celana langsung berhenti.Cewek cakep? Apa yang mereka maksud Kak Gadis? Duh, gimana kalau ada yang lihat gue juga ikut dengan mereka? risau gue dalam hati.“Tapi ada yang lihat dia keluar dari mall dengan cewek yang beda loh,” tanggap yang lainnya.Mampus! Ada yang lihat gue keluar dengan Bran dari mall. Apa ada yang lihat kami di Ancol? Gimana nih? Mereka tahu nggak sih wajah gue?Jantung rasanya mencelos membayangkan gimana reaksi geng Chibie saat tahu gue juga bersama dengan Bran di mall Sabtu lalu.“Gila! Masa ngedate dengan dua orang sekaligus?” komentar siswi lain.“Orang ganteng mah bebas mau jalan sama tiga atau lima cewek sekaligus.” Kali ini cewek yang pertama menanggapi.“Ganteng sih, tapi nggak gitu juga kali. Masih SMA udah kayak gitu. Gimana nanti udah gedenya, punya banyak istri kali.”Cewek-cew
Baca selengkapnya

BAB 26: Mencari Tahu Kebenaran

BRANDONAku memandangi Iin lekat. Sepertinya sejak tadi gelisah, meski ia berusaha terlihat tenang. Apa Lova sudah bercerita tentang percakapan tadi pagi?“Sekarang jawab pertanyaan gue dengan jujur, In. Lo beneran punya pacar atau nggak sih?” tanyaku tanpa basa-basi lagi.Dia harus menjawab, agar aku bisa tenang. Iin diam tidak menjawab pertanyaan. Bola matanya bergerak tidak tenang, sepertinya lebih gelisah dibandingkan tadi.“Susah banget ya jawabnya? Tinggal bilang yes or no aja. Gampang, ‘kan?”Raut wajah Iin tampak tegang sekarang. Bibir mungilnya terbuka sedikit seperti ingin mengatakan sesuatu, namun tertutup kembali. Alis ini naik ke atas pertanda menunggu jawabannya.“Gila banget ya tuh cowok. Jalan sama dua cewek sekaligus, Cuy. Parah!” Tiba-tiba terdengar suara siswi dari arah pintu.“Brandon bebas mau jalan sama dua atau tiga ce—” Kalimat itu berhenti saat cewek dengan rambut dikuncir dua melihatku.Aku tertawa singkat melihat ekspresinya. “Kenapa nggak dilanjutkan aja?”
Baca selengkapnya

BAB 27: The Truth and Another Intimidation

ARINIFinally, nggak bisa lagi menghindar dari pertanyaan Bran. Mata ini terpejam beberapa saat. Gue harus mempertanggung jawabkannya. Seperti apa yang dikatakan oleh Uda David, kebohongan itu hanya baik untuk diri sendiri, bukan bersama.“In?”Gue menoleh dan melihat mata sayu Brandon memandangi diri ini lekat.Well, Ri. Apapun yang terjadi hadapi. Jika Bran berubah dan nggak lagi anggap lo sahabat, ikhlaskan. Toh kalian belum lama kenal, ‘kan? bisik gue dalam hati.“Oke. Gue bakal jujur sama lo. Tapi gue harap setelah tahu kebenarannya, lo nggak mikir lagi kalau gue caper sama lo.”Brandon bergeming dengan menatap serius diri ini.“Dugaan lo benar. Gue sama sekali belum pernah pacaran. Belum pernah juga merasakan suka dengan lawan jenis. Hidup gue selama ini disibukkan dengan belajar dan belajar,” jelas gue kemudian memberi jeda sebentar.“Lo benar lagi. Cowok yang antar jemput gue ke sekolah, Uda David.” Gue menarik napas pendek. “Alasan kenapa gue bohong adalah nggak mau lo terus-
Baca selengkapnya

BAB 28: Overconfident or Narcissist

BRANDONSelama satu jam ini aku berpikir keras dengan apa yang dikatakan oleh Iin. Anehnya tidak marah sama sekali karena dia berbohong, terutama mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan. Biasanya aku sudah meradang, jika ada yang berbicara seperti itu.Apakah benar aku egois dan selalu merasa benar dengan pikiran sendiri? Apa diri ini mulai masuk ke dalam tahap overconfident sehingga berpikir semua cewek suka kepadaku? No! Aku tidak seperti itu.Aku memejamkan mata, lantas mengusap wajah dengan kedua daun tangan. Embusan napas pelan keluar dari sela bibir ketika melihat sekarang sudah waktunya pergi ke arena basket untuk latihan. Iin pasti sudah ada di sana. Meski tidak marah kepadanya, tapi aku tidak bisa langsung memaafkan juga. Dia harus diberikan pelajaran atas kebohongan yang dilakukan.Lima menit kemudian, aku sudah berada di kelas. Setelah mengambil tas, kaki ini melangkah menuruni anak tangga berniat keluar dari gedung menuju gedung lain, tempat arena basket berada.“Tumben t
Baca selengkapnya

BAB 29: My Savior

ARINISudah berapa jam terkurung di sini? Tiga atau empat jam? Tubuh sudah mulai lemas. Panas, lapar dan haus menjadi satu. Belum lagi gelap bikin sesak napas. Coba kalian bayangkan gimana kondisi gue sekarang.Saking lemasnya, gue sampai ketiduran entah berapa lama hingga tersentak karena mendengar bunyi ringtone ponsel dari luar. Nada dering ponsel itu terdengar seperti milik Bran, bagian reff lagu Linkin Park yang berjudul ‘Numb’. Ah, gue pasti lagi berhalusinasi saking frustasinya.Wait! Kayaknya memang lagi nggak berhalusinasi, ini nyata. Sekarang terdengar samar suara seseorang sedang menelepon, karena komunikasi terjadi satu arah. Meski nggak tahu siapa itu, gue ngesot menuju pintu gudang.Jangan bayangin ada suster ngesot yang ikutan di samping gue, mana gelap jadi nggak bisa lihat apa-apa. Untuk beringsut ke pintu aja kudu meraba dengan susah payah. Mereka jahat banget sampai ikat tangan ini ke belakang dan kaki juga.Setelah merasakan permukaan kayu yang lebar di samping din
Baca selengkapnya

BAB 30: Mengenal Arini Lebih Dekat

BRANDON“Makan sekarang yuk! Kasihan tuh cacing di perut,” ajakku sambil menyerahkan helm kepada Iin.“Bentar.”Iin meletakkan tas di atas jok motor, lalu mencari sesuatu di dalamnya. Dia mengelurkan jaket berbahan kaus dan tisu basah. Jaket itu diserahkan kepadaku.“Pakai ini biar nggak dingin. Mudah-mudahan muat di tubuh lo,” katanya tersenyum manis memperlihatkan lesung pipi.“Lo bawa beginian?”Dia menganggukkan kepala. “Buat jaga-jaga kalau hujan pas pulang sekolah.”“Trus lo gimana? Udah malam loh, In.”“Lo lebih butuh, Bran. Apalagi duduk di depan. Gue masih kehalang sama lo.”Aku berdecak, lantas memasangkan jaket itu. Meski pas di tubuh, tapi masih nyaman dikenakan. Pandangan beralih melihat Iin menyeka wajah dengan tisu basah. Parasnya benar-benar kusut waktu aku tiba di gudang tadi, ketakutan juga.Entah apa yang menyeretku ke arahnya, sehingga memeluk tubuh kurus Iin. Tak hanya itu, aku juga memberi kecupan di puncak kepala Iin tadi. Semoga itulah hal tergila yang pernah d
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234568
DMCA.com Protection Status