BRANDONSelama satu jam ini aku berpikir keras dengan apa yang dikatakan oleh Iin. Anehnya tidak marah sama sekali karena dia berbohong, terutama mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan. Biasanya aku sudah meradang, jika ada yang berbicara seperti itu.Apakah benar aku egois dan selalu merasa benar dengan pikiran sendiri? Apa diri ini mulai masuk ke dalam tahap overconfident sehingga berpikir semua cewek suka kepadaku? No! Aku tidak seperti itu.Aku memejamkan mata, lantas mengusap wajah dengan kedua daun tangan. Embusan napas pelan keluar dari sela bibir ketika melihat sekarang sudah waktunya pergi ke arena basket untuk latihan. Iin pasti sudah ada di sana. Meski tidak marah kepadanya, tapi aku tidak bisa langsung memaafkan juga. Dia harus diberikan pelajaran atas kebohongan yang dilakukan.Lima menit kemudian, aku sudah berada di kelas. Setelah mengambil tas, kaki ini melangkah menuruni anak tangga berniat keluar dari gedung menuju gedung lain, tempat arena basket berada.“Tumben t
ARINISudah berapa jam terkurung di sini? Tiga atau empat jam? Tubuh sudah mulai lemas. Panas, lapar dan haus menjadi satu. Belum lagi gelap bikin sesak napas. Coba kalian bayangkan gimana kondisi gue sekarang.Saking lemasnya, gue sampai ketiduran entah berapa lama hingga tersentak karena mendengar bunyi ringtone ponsel dari luar. Nada dering ponsel itu terdengar seperti milik Bran, bagian reff lagu Linkin Park yang berjudul ‘Numb’. Ah, gue pasti lagi berhalusinasi saking frustasinya.Wait! Kayaknya memang lagi nggak berhalusinasi, ini nyata. Sekarang terdengar samar suara seseorang sedang menelepon, karena komunikasi terjadi satu arah. Meski nggak tahu siapa itu, gue ngesot menuju pintu gudang.Jangan bayangin ada suster ngesot yang ikutan di samping gue, mana gelap jadi nggak bisa lihat apa-apa. Untuk beringsut ke pintu aja kudu meraba dengan susah payah. Mereka jahat banget sampai ikat tangan ini ke belakang dan kaki juga.Setelah merasakan permukaan kayu yang lebar di samping din
BRANDON“Makan sekarang yuk! Kasihan tuh cacing di perut,” ajakku sambil menyerahkan helm kepada Iin.“Bentar.”Iin meletakkan tas di atas jok motor, lalu mencari sesuatu di dalamnya. Dia mengelurkan jaket berbahan kaus dan tisu basah. Jaket itu diserahkan kepadaku.“Pakai ini biar nggak dingin. Mudah-mudahan muat di tubuh lo,” katanya tersenyum manis memperlihatkan lesung pipi.“Lo bawa beginian?”Dia menganggukkan kepala. “Buat jaga-jaga kalau hujan pas pulang sekolah.”“Trus lo gimana? Udah malam loh, In.”“Lo lebih butuh, Bran. Apalagi duduk di depan. Gue masih kehalang sama lo.”Aku berdecak, lantas memasangkan jaket itu. Meski pas di tubuh, tapi masih nyaman dikenakan. Pandangan beralih melihat Iin menyeka wajah dengan tisu basah. Parasnya benar-benar kusut waktu aku tiba di gudang tadi, ketakutan juga.Entah apa yang menyeretku ke arahnya, sehingga memeluk tubuh kurus Iin. Tak hanya itu, aku juga memberi kecupan di puncak kepala Iin tadi. Semoga itulah hal tergila yang pernah d
ARINISelesai makan dan bercerita, kami langsung pulang. Orang-orang di rumah pasti khawatir menunggu gue pulang. Apalagi Bran bilang Papa dan Uda David sudah keliling mencari ke rumah teman-teman.“Gue pastikan mereka akan mendapatkan pelajaran yang setimpal, In,” cetus Bran sebelum kami meninggalkan restoran cepat saji.Awalnya gue protes, kasihan juga kalau mereka sampai dikeluarkan dari sekolah. Bran mengemukakan pendapat, katanya biar ada efek jera jadi nggak terulang lagi kejadian yang sama kepada siapapun.“Mental lo kuat, In. Coba kalau kejadian sama yang mental lemah, bisa bunuh diri kayak di film-film ‘kan bahaya.”Perkataan Brandon ada benarnya juga. Akhirnya gue manggut-manggut saja. Mereka nggak mikir gimana perasaan gue waktu dikunci tadi sore. Hah! Semoga dengan hukuman yang diberikan oleh pihak sekolah nanti, mampu menyadarkan mereka berlima dan bisa berubah menjadi lebih baik lagi.Setelah menempuh perjalanan sepuluh menit, akhirnya kami tiba di pekarangan rumah. Tern
BRANDONTiga bulan kemudianTubuh rasanya mulai terasa nyaman setelah berhari-hari latihan basket. Bersyukur pertandingan berjalan dengan lancar kemarin. Sekarang saatnya bersiap untuk mengikuti ujian semester dua yang akan diselenggarakan satu minggu lagi. Mulai hari ini hingga selesai ujian, latihan basket ditiadakan sehingga para anggota bisa fokus dengan ujian semester.Setiap pulang sekolah, Iin mampir ke rumahku dulu untuk belajar bersama. Selama tiga bulan ini juga hubungan kami membaik. Kami berdua saling mengenal dan mulai mengerti satu sama lain. Apalagi di sekolah sekarang tidak ada lagi geng Chibie, mereka semua dikeluarkan secara tidak hormat dari sekolah tepat dua hari setelah kejadian yang menimpa sahabatku.Pihak sekolah juga memperketat peraturan, salah satunya benar-benar mengawasi perundungan di lingkungan sekolah. Akhirnya, aku dan Iin bisa bebas istirahat dan pulang bersama-sama.Sekarang aku sedang menunggunya keluar dari kelas. Tak lama kemudian, Iin muncul di s
ARINISiapa cowok bernama Rafly ini? Tiba-tiba kirim pesan ngajak ketemuan, katanya ada yang mau dikatakan. Apa orang iseng ya?“Coba tanya siapa? Kalau nggak mau jawab cuekin aja,” ujar Bran kembali duduk di sofa.“Kira-kira mau bilang apa ya?” tanya gue penasaran.“Mana gue tahu! Tanya aja sama orangnya, ngapain tanya sama gue,” jawab Bran jutek.Dih, kenapa dia jadi sensi kayak gini?Bran berdiri lagi, lantas mengeluarkan buku Fisika dari laci meja. “Nanti aja diurus tuh cowok, sekarang belajar dulu.”Gue tersenyum usil, kemudian berjalan ke meja belajar. “Semangat banget sih belajarnya.”“Demi PS3,” sahutnya singkat.“Eh, lurusin niat dulu. Belajar jangan semata-mata karena PS3, kalau nanti udah dapat berhenti dong,” cecar gue.Brandon menatap dingin dengan mata sayunya. Kayaknya lagi nggak mood deh. Ini anak kenapa sih tiba-tiba berubah tanpa sebab?Kalau sudah begini, sebaiknya gue nggak bikin mood-nya jadi rusak deh. Oke, mari belajar.Kami berdua mulai membahas pelajaran Fisik
BRANDONAkhirnya ujian selesai juga, sekarang tinggal menunggu pembagian rapor. Selama ujian berlangsung, selalu ada keajaiban terjadi. Aku bisa mengerjakan seluruh soal-soal dengan mudah. Ternyata tidak sia-sia Iin mengajarkanku. Meski yakin nilai sekarang meningkat, tapi sebaiknya menunggu pembagian rapor terlebih dahulu.“Heh, bengong aja,” seru Iin menepuk pundak membuatku terperanjat.Seperti biasa, saat tidak ada jam pelajaran kami selalu nongkrong di atap. Ketika aku berada di atap, tidak ada satu siswa pun yang berani ke sini.“Apaan sih? Kagetin aja,” balasku dengan wajah berkerut.“Habis dari tadi lo diam aja.”“Gue lagi bayangin gimana reaksi Bokap Nyokap lihat nilai rapor entar, In.”“Yakin banget nilai lo bakalan naik?”Apa nih maksud pertanyaan Iin? Apa dia meragukan hasil kerja kerasnya?“Lo kayaknya nggak yakin dengan hasil usaha sendiri, In?!”“Bukan gitu, Bran. Habis beberapa hari belakangan ketika ditanya udah paham atau belum, selalu jawabnya belum. Minta diajarin
ARINIBeberapa hari kemudianAkhirnya tiba juga hari penerimaan rapor. Sebentar lagi gue akan melihat hasil jerih payah belajar selama enam bulan. Deg-degan sih sama nilai semester ini, takut turun juga. Selain itu penasaran pengin lihat nilai rapor Bran.Brandon: Otw jemput lo ya.Me: Oke!Begitulah hari-hari yang dilalui sejak bersahabat dengan Bran. Dia yang jemput dan antarkan gue ke sekolah. Bokap dan Nyokap wanti-wanti jangan sampai pergi dan pulang sendirian. Parno banget sejak kejadian waktu itu. Alhasil diri ini dalam pengawasan ketat Brandon.Oya, sekarang gue sudah punya pacar loh. Yup! Waktu Kak Rafly nembak tiga hari yang lalu, gue langsung terima. Eh, jangan negative thinking dulu. Sebenarnya nggak mau juga pacaran, tapi demi menunjukkan kalau diri ini normal dan suka cowok kepada Bran, akhirnya diterima juga tuh cowok. Itu yang bikin senyum nggak pernah lepas beberapa hari ini, bukan karena hati yang berbunga.Meski punya pacar, nggak ada yang berbeda. Kami cuma bisa ng
BRANDON Tuhan seakan menakdirkan aku dan Iin kembali berjumpa setelah dua tahun berpisah. Rindu yang sulit dibendung selama ini, sekarang terbayar sudah dengan pertemuan tak terduga kami beberapa hari yang lalu. Sungguh skenario yang dituliskan-Nya begitu indah. Siapa yang menyangka kami akan bersua kembali ketika bekerja di kantor yang sama? Di antara sekian banyak perusahaan di Jakarta, Iin bekerja di kantor tempatku mencari nafkah. Aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami lagi. Sayangnya karena perbedaan sif dan waktu libur, membuat kami belum bisa berbicara dengan baik hingga sekarang. Hari ini, Iin akan datang berkunjung ke apartemen untuk pertama kali. Dulu sebelum menikah, dia menolak datang ke sini tanpa mengutarakan alasannya. Tapi kali ini, aku memaksa Arini datang melihat tempat tinggalku. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Itu pasti Iin. Aku bergegas membuka pintu, karena sudah tidak sabar bertemu dengan sahabatku. Ingin sekali ber
BRANDONDua bulan kemudianAku duduk sambil memangku tangan melihat perempuan muda yang duduk di seberang meja. Dia makan sambil malu-malu. Istilah anak muda zaman sekarang jaim alias jaga image. Entah wanita ke berapa yang dikenalkan oleh Mama dua bulan belakangan.Dari sekian banyak yang disodorkan Mama, tak satupun menarik perhatianku. Demi menghargai jerih payah beliau, aku penuhi permintaan agar berkenalan dengan mereka.“Nggak makan, Kak?” tanyanya lembut.“Kenyang,” jawabku singkat.Dia mengangguk sambil membetulkan rambut model bob yang sempat turun ke depan. Satu hal yang Mama tidak tahu tentangku adalah aku tidak suka wanita berambut pendek, apalagi sampai model seperti ini.Pandangan beralih melihat ponsel. Aku mendesah ketika tidak melihat tanda-tanda Iin online. Kalian benar, inilah rutinitasku sehari-hari, memantau apakah dia online atau tidak. Meski Tante Asma mengatakan Arini baik-baik saja, tapi hati ini kurang bisa percaya sebelum mendengar suaranya.“Sudah selesai?”
BRANDONAku menatap nanar layar gadget pipih yang ada dalam genggaman. Hampir satu tahun Iin tidak bisa dihubungi. Ada apa dengannya? Kenapa tidak ada lagi telepon dan chat dari sahabatku? Hati kembali tidak tenang.Ingin menghubungi Tante Asma untuk menanyakan Iin, tapi diurungkan. Khawatir jika menimbulkan masalah jika Om Yunus tahu. Setelah ganti ponsel, nomor Uda David juga tidak ada lagi di daftar kontak. Nomor Donny sejak dulu tidak pernah disimpan, karena jarang berkomunikasi.Segera dibuka akun sosial media milik Iin, mulai dari Facebook hingga Instagram. Tidak ada postingan terbaru di sana. Terakhir kali dia mengunggah foto sebelum kami berpisah satu minggu menjelang pernikahan.“Kenapa, Bran? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah,” tanya Mama berdiri di dapur apartemen.Mama sedang berkunjung ke apartemen, karena hari ini aku libur. Seperti biasa, beliau mengecek kebutuhan makanan untuk satu minggu. Terkadang Bi Ijah juga datang ke sini mengantarkan makan siang dan malam.“Iin
ARINIKerinduan kepada Bran sedikit terobati. Gue bisa melihat wajah, senyum dan mendengar tawanya. Jiwa yang tadinya kosong menjadi terisi setelah video call dengannya. Secara sadar diri ini tahu apa yang terasa saat ini salah, namun nggak mau munafik karena faktanya seperti itu.Senyuman mengambang ketika selesai memasak ayam kecap kesukaan Bran. Jadi membayangkan wajah semringahnya setiap kali disuguhkan makanan ini. Sebelum dihidangkan di meja makan, gue mengabadikan dalam foto terlebih dahulu lantas mengirimkannya kepada Bran.Me: Masakan kesukaan lo udah selesai nih. Mau nggak?Begitulah caption yang ditulis saat mengirimkan foto ayam kecap.Nggak perlu menunggu lama, Bran membalas.Brandon: Enak banget tuh, In. Jadi kangen masakan lo deh.Gue hanya tersenyum membaca balasan dari Bran. Baru akan membalas, terdengar pintu diketuk. Itu pasti Bang Desta yang pulang.Ketika kaki melangkah, gue langsung ingat dengan pelumas yang ada di dalam kulkas. Dia harus jujur mengatakan milik s
ARINIDelapan bulan sudah menjalani biduk rumah tangga dengan Bang Desta. Orangnya baik, tapi hati ini masih terasa berjarak. Jangan ditanya lagi apakah gue sudah mencintainya atau nggak. Hambar, nggak ada perasaan sama sekali.Berbeda dengan yang dirasakan ketika bersama dengan Bran. Astaghfirullah. Sudah seharusnya nggak boleh memikirkan pria lain lagi selain suami. Kata Mama hal itu termasuk dosa.Brandon apa kabar ya? Kenapa dia jarang hubungi gue setelah menikah?Gue melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 15.30. Sebentar lagi Bang Desta pulang bekerja dari salah satu Bank BUMN yang ada di kota ini.Ya, semenjak menikah gue mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga. Fokus mengurus segala macam keperluan suami. Kami juga tinggal terpisah dari orang tua. Benar-benar berdua di sini.Hingga sekarang, kami masih belum diberikan amanah. Mama bilang santai saja, nikmati kemesraan dengan Bang Desta dulu.Seketika gue pengin tertawa mendengar kata mesra yang dikatakan Mama waktu
ARINIPandangan menatap nanar ke arah cermin yang memantulkan wajah dengan riasan khas pengantin. Sebuah kebaya muslimah kini membalut tubuh. Kerudung juga menutupi rambut yang biasa terlihat. Tangan ini terangkat ke atas dan terlihat inai yang baru dihias kemarin sore, setelah bertemu dengan Bran.Mata ini terpejam saat ingat obrolan kami kemarin. Suasana yang terasa penuh emosional, karena perasaan bercampur aduk. Ada sedih, marah dan sayang semua menjadi satu. Jika saja tidak memikirkan Papa yang akan malu di kampung, pasti gue sudah menyetujui ajakan Bran pergi dari sini. Kabur berdua dengannya.Saat Bran ingin mencium bibir ini, sekuat tenaga gue lawan perasaan yang hadir ketika itu. Gimanapun juga, diri ini akan menikah dengan pria lain. Pria yang baru saja ditemui tiga kali sebelum pernikahan digelar. Gue bahkan belum mengenal Desta dengan baik.Hati diselimuti kekalutan ketika membayangkan rumah tangga seperti apa yang akan dilalui dengan Desta. Jika pria yang akan menikahi gu
BRANDONBesok Iin akan menikah dengan pria pilihan Om Yunus. Pada akhirnya sahabatku hanya bisa pasrah menerima perjodohan itu. Jangan ditanyakan lagi bagaimana hati ini sekarang. Hancur. Ya, kuakui selama dua bulan belakangan perasaanku tidak baik-baik saja.Aku, Mama dan Gadis datang ke Bukittinggi menghadiri pernikahan Iin. Kebetulan Gadis sedang berlibur ke Jakarta, karena sedang menempuh S2 di negeri Kanguru. Dia memaksa ikut menyaksikan pernikahan sahabatku itu. Kami baru saja sampai tadi pagi, setelah mengambil penerbangan pertama dari Jakarta.Saat sedang istirahat di kamar hotel, terdengar pintu diketuk. Itu mungkin Gadis atau Mama. Aku langsung beranjak membukakan pintu. Ternyata Gadis yang datang. Tanpa basa-basi dia menyelonong duduk di pinggir tempat tidur. Netra hitam kecilnya kini menatapku lama, tanpa mengucapkan sepatah katapun.“Gimana kabar lo sekarang?” tanya Gadis.“Baik kayak yang lo lihat,” jawabku apa adanya.“Maksud gue hati lo, Ngeng.” Dia mengerling ke dadak
ARINIPagi ini rasanya berat untuk bangun. Pertama kali dalam hidup, gue pengin tidur saja seperti putri tidur yang nggak bangun dalam jangka waktu yang lama. Beberapa jam lagi waktunya bertemu dengan lelaki yang dijodohkan oleh Papa.Mama bilang kemarin, jika gue setuju dengan perjodohan ini maka pernikahan akan dilaksanakan dua bulan lagi. Berarti hanya dua bulan waktu yang tersisa untuk bertemu dengan Bran, karena setelah itu gue akan menetap di Bukittinggi.Pertemuan direncanakan di rumah, bukan di luar. Desta, nama pria itu, akan datang bersama kedua orang tuanya melihat gue. Semenjak tadi malam hanya doa yang dipanjatkan, agar mereka membatalkan perjodohan setelah melihat diri ini.“Ari?” Terdengar suara Uda David memanggil.“Ya, Da?” Gue langsung bangkit dari tempat tidur, lantas membukakan pintu.Uda masuk kamar dan duduk di pinggir tempat tidur. Dia menatap gue lekat tanpa berkata apa-apa. Kayaknya sih tahu kalau adiknya ini sedang galau.“Kamu nggak pa-pa?” tanya Uda setelah
BRANDONMata ini susah diajak tidur sejak tadi malam. Baru terpejam, beberapa saat kemudian kembali terbuka. Arini mau dijodohkan oleh Om Yunus? Tidak bisa! Dia masih terlalu muda untuk menikah. Usianya juga baru akan menginjak dua puluh empat tahun, dua bulan lagi.Hati menjadi resah membayangkan tidak bisa lagi bersama dengan Iin nanti. Siapa yang akan menguatkanku, jika kami jarang berjumpa? Belum tentu calon suaminya akan mengizinkan kami bersahabat seperti sekarang, ‘kan?“Trus lo mau, In?” Percakapan dengan Iin tadi malam kembali terngiang.Dia menggeleng lesu. “Nggak mau, Bran. Gue masih mau berkarir dulu. Belum setahun kerja juga, ‘kan?”“Ya udah, tinggal ngomong aja sama Om Yunus. Nggak susah, In.”Kepalanya tertunduk dalam dengan mata terpejam. “Lo kayak nggak tahu Papa aja.”Aku mendesah mendengar tanggapan Iin, karena tahu bagaimana kerasnya Om Yunus. Hampir sembilan tahun mengenalnya, sehingga tahu persis jika beliau mengatakan A maka harus dituruti.Sejak tadi malam, aku