Home / Pernikahan / MENANTU PILIHAN IBU / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of MENANTU PILIHAN IBU: Chapter 41 - Chapter 50

67 Chapters

41. HATI YANG MELUNAK

BAB 41 HATI YANG MELUNAK Terkadang kita butuh bertemu banyak karakter untuk memahami setiap hati dari diri mereka. salah satunya hatinya yang kian lama kian melunak. Seperti biasa, pagi ini kupersiapkan dirinya sebaik mungkin, Kak Zaki belum tahu kalau Pak Romo pulang. Aku ingin memperlihatkan kepada Pak Romo jika selama kepergiannya Kak Zaki mengalami banyak perubahan baik dalam sikap dan perilakunya apalagi dengan terapinya, dia mengalami banyak kemajuan. “Kak, Rumi bantu pasangkan celananya ya?” Aku menawarkan bantuan kepada Kak Zaki, dirinya tersenyum kemudian sedikit sungkan memberikan celana jenis denim itu kepadaku, Aku menarik celana itu perlahan tanpa peduli penolakannya. Sikapku sudah seperti biasa kepadanya, tidak takut ataupun canggung, Raut wajahnya pun melunak, seiring dengan permintaan maaf yang dilontarkannya tadi. Aku merasa dirinya sudah menjadi priba
Read more

42. SATU LANGKAH

BAB 42SATU LANGKAHAku bersyukur karena proses yang kujalani makin lama menunjukkan hasil. Terkadang kita butuh babak belur dahulu baru merasa nikmat dari usaha yang telah diperjuangkan.              Pukul 8 tepat aku sudah bersiap, semua dokumen yang harus kubawa sudah tersusun rapi di dalam tas. Kemudian aku menatap Kak Zaki yang juga sudah selesai, perlahan dirinya mulai terbiasa dengan memakai sendiri pakaiannya. Buktinya pagi ini dia mempersiapkan diri sendiri tanpa bantuanku.              “Kak, udah selesai? Ayo berangkat,” ucapku saat Kak Zaki melihat pantulan dirinya di depan cermin. Kuikuti dan berdiri di sebelahnya. Tampak Kak Zaki tengah mengelus pipi dan dagunya. “Kenapa?” tanyaku yang heran melihatnya serius menatap cermin.               “Risih,” ujarnya.              “Yaudah nanti singgah ke salon aja, Kak.”             “Nggak mau, nanti pulang dari kampusmu, bantu aku mencukurnya.” Bukan seperti ajakan, melainkan sebuha perintah
Read more

43. RASA SAKIT

BAB 43RASA SAKIT“Yang Pasti perasaan ini semakin berkembang tanpa kusadari dan tak bisa kucegah.”              POV ZAKI             Sebenarnya aku merasa bersalah pada Rumi atas kejadian kemarin, mengunci pintu, mengurung diri di kamar adalah jalan satu-satunya  untuk bisa berdamai dengan diri, agar lisan ini tidak lagi melukai hatinya. Namun, membiarkan Rumi tidur di luar adalah kesalahan juga.              Aku berusaha untuk bisa menjadi lebih baik  dan bersikap lembut kepada Rumi. Apalagi melihat kedekatannya dengan Kemal waktu itu membuatku tidak suka. Entah apa yang merasuki diri ini, tetapi aku merasa tidak suka saja jika Rumi mengalihkan pandangannya kepada orang lain selain diriku.              Hari ini pun begitu, aku ikut ke kampus karena ingin berada di dekatnya, selebihnya karena aku ingin suasana baru, sekalian mengusir rasa suntuk walaupun ada Papa di rumah, tetapi tetap saja kami tidak banyak bicara, mungkin karena sudah terbiasa den
Read more

44. PERDEBATAN

 BAB 44PERDEBATAN Ini bukan debat kusir, hanya sebuah perngakuan dari orang yang memedam rasa tapi tidak mengakuinya.             POV KEMAL.             Aku merasa kalau Zaki tidak menyukai kehadiranku di antara mereka. Padahal aku senang melihatnya mau berbaur kembali setelah beberapa tahun mengurung diri di rumah menyalahi takdir. Namun, aku begitu senang bisa bertemu Rumi di kampus. saat dia menghubungiku tadi malam untuk permisi tidak mengajar hari ini, aku pun inisiatif meliburkan sekolah karena tujuanku selain mengurus wisuda memang ingin bertemu Rumi.              Entah mengapa bertemu Rumi seperti mengisi daya pada diriku, melihatnya saja membuatku semangat. Aku tahu ini tidak boleh kulakukan, tetapi rasa kagumku pada sosoknya masih membekas dan tidak bisa hilang.              Aku hanya berharap kebaikan selalu menyelimuti kehidupan Rumi serta kebahagian berlimpah untuknya. Belum pernah kutemui wanita sebaik dan setegar dia di manapun.
Read more

45. PERDEBATAN 2

45PERDEBATAN 2Bersikap dingin bukan berarti tidak peduli. Betapa aku peduli padanya, tetapi egoku lebih besar dari perasaanku untuk mengakuinya.              Aku melirik jam tangan, sudah lebih dari 30 menit mereka pergi, tetapi hingga saat ini belum juga kembali. Aku penasaran apa sebenarnya yang sedang mereka bicarakan. Dari gerak tubuh Kak Zaki saja, aku tahu jika dirinya kurang nyaman dengan  kehadiran Bang Kemal. Semoga apa yang kubayangkan dan takutkan tidak terjadi.              Hidangan di meja makan sudah tersedia, perutku juga mulai keroncongan, ingin sekali melahap lauk ini tanpa menunggu mereka, tetapi keduanya tak kunjung datang jua. Saat aku memutuskan untuk melahap hidangan tersebut, keduanya muncul, tapi.... apa yang kulihat wajah Bang Kemal tampak biasa saja, tersenyum kearahku seperti biasa, tetapi wajah Kak Zaki justru yang jadi pertanyaan, semakin kusut dan akh, aku sendiri takut melihatnya.              “Lama ya, Rum. Maaf ya, kami keasi
Read more

46. TAMU SPESIAL

46TAMU SPESIAL             Aku sudah berkutat di dapur sejak pukul 3 pagi, sejak tadi malam aku tak bisa tidur memikirkan perasaanku yang tidak enak pada Kak Zaki. Alhasil aku hanya berbaring sambil menatap langit-langit dan berpikir. Namun, keegoisan pada diriku tetap menang, rasa gengsi yang besar membuatku ‘ogah’ untuk minta maaf duluan kepada pria sombong itu.              Alhasil aku bersih-bersih sejak pukul 3 pagi setelah menunaikan shalat malam aku lanjut bersih-bersih untuk menghilangkan suntuk. Dari dulu aku selalu seperti ini, jika ada perasaan yang mengganjal kepada seseorang, aku jadi tidak bisa tidur dan malah memilih bersih-bersih untuk mengalihkan perhatian. Setidaknya aku melakukan hal-hal yang positif ketimbang ke arah yang negatif.                  Tanpa terasa sudah pukul 7 pagi saja, aku memutuskan untuk tidak masak, bukan karena malas, tetapi rasa kesalku masih ada untuk Kak Zaki. Biarkan saja kami tidak usah makan, urus diri masing-masing 
Read more

47. TERIMA KASIH, KAK ZAKI

TERIMA KASIH, KAK ZAKI“Nasihat itu benar, bahwa surga seorang istri terletak pada ridho suaminya” Riyyan tampak menarik napas panjang, dirinya sesekali tersenyum melihatku dan Reina yang tengah melepas rindu. Setelah selesai sarapan akhirnya kami bisa berleha sejenak dan aku bisa menjahili kedua adikku itu. Betapa rindunya aku pada si bungsu. Yang dulunya sangat suka dipeluk sekarang malah ogah-ogahan untuk kupeluk. “Ih, Kak Rumi, risih tau. Reina kan sudah besar, nggak mau dipeluk kayak gitu, macam anak kecil aja.” Reina berpindah duduk merapat ke dekat Kak Zaki, akupun mengikutinya sambil tersenyum jahil. Sementara Riyan masih melihat tingkahku yang konyol kepada Reina. “Apa kubilang, nggak hanya aku, toh. Kak Rumi juga doyan peluk-peluk kamu. Siapa suruh gedenya kecepatan.” Tambah Riyan mengundang gelak tawa kami.“Ibuuu.” Reina mengadu pada Ibu yang masih berada di dapur mengupas buah. Ibu hanya menyahut tanpa berpaling melihat apa yang terjadi.
Read more

48. PERMINTAAN ANEH

PERMINTAAN ANEH             Kupastikan untuk tidak menatapnya dan pergi melangkah begitu saja tanpa mempedulikan Kak Zaki. Cepat aku melangkah ke kamar, berusaha untuk menghindar darinya. Rencananya sudah kupikirkan dengan matang, rebahan di tempat tidur dan pura-pura tidur agar dia tidak mengajakku bicara. Beruntungnya hari ini, agak siang jadwal pergi terapi. Menunggu hingga saat itu Kak Zaki pasti lupa dengan apa yang terjadi tadi.             Aku senyum-senyum sendiri sembari berjalan menuju kamar. Memuji betapa pintar diriku dengan merencanakan hal ini agar rasa canggung itu tidak ketahuan. Dengan semangat aku mempercepat langkah agar akal bulus ini tidak ketahuan oleh Kak Zaki.             Namun, belum ada setengah jam aku sampai di kamar, Kak Zaki masuk dan  ikut rebahan di sebelahku. Aku baru menyadari betapa bodoh ide gila ini. Kenapa aku harus tidur di ranjangnya? Padahalkan seharusnya aku tidur sofa atau di lantai, tempat biasanya aku tidur.           
Read more

49. MENGABULKAN IMPIAN IBU

MENGABULKAN IMPIAN IBU              Aku membawa nampan berisi alat cukur tersebut ke kamar, sayupku dengar Kak Zaki tengah mengobrol. Tapi sama siapa? Apa dia sedang menelepon?              “...Untuk adiknya Rumi, Riyan. kau bisa bantu kan?” “Oh oke kalau begitu akan kukirim nomornya padamu. Hmmm, Mal. Mengenai kemarin maafkan sikapku, perasaanku memang sensitif kemarin... Apa? Tiara? Hmmm, masih. Aku masih terus memikirkannya.”             Suara telepon itu terputus, nyaliku ciut seketika. Entah mengapa hatiku jadi sakit sekali mendengar kalimat terakhir Kak Zaki. Perasaan yang tadi muncul begitu indah tiba-tiba saja jatuh terempaskan seketika bertebaran menjadi butiran debu.              Ya, seharusnya dari awal aku sudah sadar diri. Diriku bukanlah siapa-siapa untuk Kak Zaki.Beraninya aku memiliki perasaan ini untuknya. Perasaan yang semakin lama di pupuk semakin berkembang subur di dasar hatiku. Aku sendiri sering memungkiri perasaan ini, tetapi rasa yang sek
Read more

50. TERAPI LAGI

TERAPI LAGISetelah kupikir-pikir sebaiknya aku membahas soal akhir dari pernikahan ini dengan Kak Zaki. Lagipula dia pun masih memikirkan Tiara dan sudah pasti masih menyukainya. Aku memberikan betadine pada luka goresan di area bibir dan juga pipi Kak Zaki. Sambil melihat waktu yang pas untuk membicarakannya. Masih dengan posisi yang sama, tubuhku condong ke wajahnya.“Kak... ada yang mau Rumi bicarakan?”  “Apa, bicaralah, tumben mau ngomong pakai permisi.”“Nggg... soalnya penting.”“Tentang apa?” Tiba-tiba Kak Zaki menyela lenganku yang mengoles obat di wajahnya.  Dari wajahnya tanpak dia penasaran dengan apa yang akan kubicarakan. “Tentang kita, Kak?” “Kita?” Aku mengangguk. Kemudian kembali duduk di depannya, Kak Zaki mengubah posisi duduknya dan lebih condong mengarah ke arahku.Aku berpikir kembali. Jika kukatakan sekarang apakah akan mempengaruhi psikologisnya? Nanti dia tidak mau pergi terapi pula karena apa yang akan kubicaraka
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status