Home / Pernikahan / MENANTU PILIHAN IBU / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of MENANTU PILIHAN IBU: Chapter 1 - Chapter 10

67 Chapters

1. SURAT PERJANJIAN

Hatiku terasa sakit teriris ketika mengetahui bahwa Ibu dengan mudahnya menyetujui pinangan yang diajukan oleh Pak Romo, saudagar terkaya di kampung ini. Aku terkejut saat sebuah surat perjanjian sudah disetujui oleh kedua belah pihak keluarga tanpa menanyakan persetujuanku lebih dulu. Hati ini bagai ditusuk pisau bertubi-tubi ketika Ibu menyodorkan surat itu saat aku baru pulang kuliah. Semenjak Mama meninggal dan Papa menikah lagi dengan wanita yang kupanggil Ibu, semua kehangatan di rumah ini berubah. Di rumah ini hanya Ibu yang punya kendali, semuanya atas persetujuan dari Ibu. Papa tidak dapat menentang ataupun berpendapat. Semenjak Papa sakit-sakitan dan tidak bekerja lagi karena penyakit yang sudah lama dideritanya, kini yang menjadi tulang punggung keluarga adalah Ibu. Wanita itu bahkan mengatur urusan pribadiku dan adikku, Reina dan Rian. Kami bersekolah di mana, pergi ke mana dan ada urusan apa, semuanya harus diketahui oleh Ibu. Hari itu bagai tersambar petir saat menget
Read more

2. KALIMAT TERAKHIR

Suara mengaji di Masjid membuatku terbangun, ternyata sudah menjelang magrib, sementara diriku belum mandi. Nyatanya tubuh ini sangat lelah terutama pikiranku sampai ketiduran. Aku mendengus pelan, ingin rasanya menjerit mengeluarkan semua beban yang menumpuk dikepala. Saat seperti ini Mama adalah orang yang paling mengerti, belaian serta kata-kata nasihatnya saat ini pasti sangat menenangkan hati. Tanpa sadar mata ini memerah dan berlinang merindukan pelukan dan sentuhan tangan Mama. Lama merenung, aku sadar waktu terus bergulir dan langsung beranjak dari tempat tidur segera menuju ke kamar mandi. Suara decitan pintu terdengar begitu jelas, seseorang perlahan masuk tanpa mengucapkan salam. Aku masih berdoa, mukenah putih yang mulai lusuh itu masih bertengger di tubuh. Banyak jahitan serta tempelan yang menghiasi mukenah itu, mungkin bisa dikatakan bahwa mukenah inilah pengobat rinduku pada Mama. Karena merupakan pemberian terakhir darinya. Tahun lalu ibu memberikan mukena bekasnya
Read more

3. PERTENGKARAN HEBAT

Aku berdiri tidak jauh dari kamar Papa sambil menunggu Ibu datang. Perasaan ini tidak bisa tergambarkan lagi, emosi, amarah, semua jadi satu. Ingin segera aku melampiaskan semuanya kepada Ibu yang bisa-bisanya tanpa berdiskusi langsung membuat keputusan tanpa persetujuanku. “Apa yang mau kamu katakan, Rum?” Ibu langsung bertanya begitu dia sampai di hadapanku. Dari pertanyaannya saja tidak sedikit pun punya rasa bersalah telah mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan diriku. “Ibu masih bertanya? Ibu sebenarnya tahu atau pura-pura tidak tahu!” cecarku dengan nada tinggi. Aku kesal dan ingin berteriak saja di hadapan wanita ini.Sudah cukup lama menyimpan segala bentuk kekesalan yang ingin kuhempaskan kepada Ibu. Tapi aku masih berpikir, semua ini demi Papa. Walau bagaimanapun, ibu telah bersusah payah mengurus Papaku. “Apa sebenarnya maksudmu, Rum? Ibu tidak paham. Kau langsung saja mau bicara apa?” tukasnya sambil melipat tangan. Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan pen
Read more

4. SOSOK YANG DIHARAP

Riyan datang sambil berlari, napasnya ngos-ngosan. Di belakangnya ada Dokter Kardi, seorang dokter yang ditugaskan di puskesmas pembantu untuk desa ini datang menyusul. “Yan, kau dari mana,” cecarku. “Aku memanggil Dokter Kardi, Kak Rum. Aku khawatir Papa....” Suaranya tercekat, Riyan tampak mengambil napas dalam, anak laki-laki yang baru menginjak usia remaja itu sudah bertindak cepat begitu melihat keadaan Papa yang tidak stabil. Dokter Kardi langsung melakukan pemeriksaan pada Papa, sebelumnya tubuh Papa mereka angkat terlebih dahulu ke atas tempat tidur. Tampak dokter Kardi sedang mendeteksi denyut nadi dan jantung Papa. “Denyut nadinya lemah sekali. Sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit yang berada di kota. Agar dilakukan pemeriksaan lebih lanjut,” ujar Dokter Kardi. “Dilakukan secepatnya saja, Dok. Agar Papa bisa segera pulih,”ujarku cepat. Semetara Ibu menatapku dengan tatapan ragu. “Tapi, saya mohon maaf. Mobil puskesmas saat ini tidak dapat digunakan karena sudah du
Read more

5. PERDEBATAN

Aku, Riyan dan Reyna duduk di kursi paling belakang, sementara Ibu di kursi tengah dengan Papa di baringkan di tempat duduk. Dokter Kardi duduk di depan sesekali menoleh ke belakang untuk mengetahui kondisi Papa. Suasana hatiku sedang tidak bagus diakibatkan perdebatan yang terjadi dengan Ibu.Aku merogoh saku celana untuk mengambil ponsel dan ingin menghubungi Bang Kemal yang sedang berada dalam masalah dengan mobilnya. Karena merasa tidak enak sebab dirinya sedang dalam kesulitan karena diriku, tetapi aku malah pergi tanpa memberitahukan kepadanya.“Halo, Bang Kemal, bagaimana dengan mobilmu?”“Sudah, Rum. Aku telepon Husin untuk mengantarkan ban serap yang ada dirumah. Jika harus menunggu untuk ke bengkel akan makan waktu lama,” ucapnya dengan terputus-putus, sesekali Bang Kemal mendesah mengambil napas panjang, mungkin Bang Kemal sedang menyelesaikan pergantian ban mobilnya.“Alhamdlillah syukurlah kalau begitu, Bang. Rumi sangat khawatir.” Terdengar suara tawa pelan dari seberang
Read more

BAB 6 . KEMATIAN PAPA

“Kini aku tersadar, bahwa kematian seseorang begitu menyesakkan dada. Apalagi jika diri ini tidak sempat meminta maaf untuk yang terakhir kalinya” Aku kembali dengan perasaan gundah. Karena sampai detik ini belum memutuskan apapun. Mengingat bahwa Ibu sudah mengatakan tentang perjodohan itu kepada semua orang. Kuberjalan menuju ruangan Papa dengan perasaan berkecamuk, apa lagi pria bernama Romo itu sedari tadi tidak pergi meninggalkan ruangan Papa. Rasanya kaki ini sudah tidak sanggup berjalan, dari kejauhan terlihat ruang tunggu di depan kamar Papa hanya tinggal Riyan. Ibu, Dokter Kardi, dan Pak Romo tidak ada di tempat. Aku mempercepat langkah, hati ini tidak tenang, firasatku mengatakan jika terjadi sesuatu dengan Papa. "Riyan, ke mana Ibu?" tanyaku dengan napas terengah-engah begitu sampai di tempat Riyan duduk. Riyan menatapku tajam. Matanya merah berlinang, tidak pernah dirinya menatapku dengan tatapan seserius itu. Riyan bangkit dari duduknya lalu memegang kedua tang
Read more

7. Permintaan seorang Ibu

BAB 7 PERMINTAAN SEORANG IBU “Aku hanya sedikit berusaha keras, agar yang terbaik bisa menjadi pilihan untuk memulai sesuatu yang baru” Aku berjalan mengantarkan nampan berisi teh dan juga sepiring gorengan yang dibawa oleh Pak Romo. Kuhidangkan dua cangkir teh dengan aroma melati serta sepiring gorengan, dan menawarkan kepada tamu tersebut untuk segera meminum minumannya sebelum dingin. “Silakan diminum, Pak,” ucapku seramah mungkin tanpa melihat ke arah Pak Romo. Saat aku beranjak dan akan pergi, Ibu menahanku. “Rum, duduklah sebentar. Temani Ibu mengobrol dengan Pak Romo,” ujar Ibu tiba-tiba. Aku terperangah, bibir ini tiba-tiba terkunci tidak bisa menolak. Sebenarnya diri ini ingin mengelak, tapi tatapan Ibu seperti menyuruhku untuk diam dan mengikuti arahannya. “Rum, bukan apa-apa. Tidak baik meninggalkan Ibu sendirian mengobrol dengan seorang pria. Temanilah Rum, sebentar saja,” pinta Ibu sekali lagi.
Read more

8 . RUMAH PAK ROMO

BAB 8 RUMAH PAK ROMO Arah takdir selalu tidak bisa diprediksi. Sekuat apapun aku berharap pada sesuatu yang kuinginkan, tetapi justru hal itu bukanlah yang terbaik bagi diriku. Allah selalu punya rencana terbaik bagi hambanya. Ponsel berdering, ternyata alarm jam lima pagi telah berdentang membangunkanku dari malam panjang ini. Kubergegas ke kamar mandi dan melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim untuk melakukan salat subuh. Tidak lupa setelah itu aku mengaji serta mengirimkan doa untuk almarhum Papa. Seperti biasa rutinitas di pagi hari menyempatkan diri membaca buku, setelah itu melihat jadwal hari ini tidak begitu sibuk, hanya menemui Bang Kemal di perpustakaan dekat kampus untuk bimbingan sebentar mengenai skripsi. Aku belum pernah menceritakan tentang Bang Kemal kepada siapapun dan jujur juga tidak tahu harus bercerita kepada siapa, sebab aku tidak memiliki sahabat dekat. Keseharian kuhab
Read more

9 . PEMBATALAN JANJI

”Bagaimana kita menyikapi soal kehidupan. Padahal banyak cara untuk menyelesaikannya. Walaupun harus jatuh di lubang yang sama, tetapi roda kehidupan terus berputar, yang bersabarlah segera bangkit dan terus berjuang dan memetik hasil dari kerja keras tersebut” Jarum jam terus berdentang menunjukkan bahwa aku sudah lebih dari lima belas menit duduk terpaku dan terdiam di hadapan Pak Romo. Tanpa memaksa untuk berbicara, pria itu lebih kepada mencoba memberi ruang untuk menata perasaanku sendiri sebelum mengungkapkan apa yang ingin kusampaikan padanya. Sesekali mengembuskan napas, terlihat sekali jika diri ini sangat gugup. Padahal Pak Romo begitu santai menghadapiku saat ini. Aku berdehem mencoba untuk mencairkan suasana, tetapi justru tubuhku panas membara, seperti kobaran api yang siap membakar setiap masalah yang kuhadapi saat ini. “Begini, Pak. Maksud dan tujuan saya datang kesini ingin memohon kepada anda untuk membatalkan isi dari
Read more

10 . SEBUAH PERMINTAAN

“Ada hal yang paling kubenci dari diriku sendiri. Saat orang memohon kepadaku untuk kebaikan orang lain, tetapi aku tidak bisa menolaknya”Hening sesaat sebab permintaan Pak Romo begitu mengejutkanku.“Apa maksdunya, Pak? Saya masih kurang paham.” Aku memandang Pak Romo dengan heran, sebab di surat perjanjian itu mengatakan bahwa aku harus menikah dengannya. Tapi sekarang kenapa malah jadi menikah dengan anaknya.“Tenanglah, Rum. Jangan terlalu terkejut, kau harus mendengarkannya secara detail agar tidak merasa heran.” Aku mengerutkan dahi, mencoba mencerna maksud dari perkataan Pak Romo.“Kamu sudah menolak dan aku menyetujui pembatalan tentang kau menikah denganku dengan konsekuensi kau harus menikah dengan Zaki. Jika kau menyetujuinya, kuliahmu akan aku biayai beserta adik-adikmu hingga kuliah. Dan kau akan kuberi usaha dan pergi tinggal dikota bersama Zaki, aku ingin kau megurusnya, tapi tidak mungkin jika kau harus mengurusnya ditengah kesibukanmu
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status