Semua Bab Desahan yang Didengar Anakku: Bab 71 - Bab 80

117 Bab

Bab 71 Kehilangan Segalanya

"Meysa telah tiada, Bu Tari," jelas wali kelas Meysa."Apa!" Jantungku kembali berdegup lemah. Bersamaan dengan itu air mataku seketika luruh di pipi. Lututku bergetar lemah.Perlahan kusingkap selimut yang menutupi wajah seorang yang tertidur di hospital bed. Benar saja, wajah kaku Meysa tertidur di sana."Ya Allah. Meysa! Kenapa ini?" Dadaku bergetar lemah. Kepalaku pusing. Pandangan seketika menghilang. Gelap tak terlihat sedikit pun cahaya di depanku. Bak disambar petir, tubuh lemas dan terkulai tak berdaya.Dalam suasana gelap di depanku."Mama, aku maafkan aku ya. Mama jaga diri baik-baik." Suara Mesya terdengar berbisik di telingaku. Putriku! Mau kemana kamu, Nak?"Meysa! Mey!"Namun, kulihat Meysa terbawa hembusan angin. Putriku terbang ka atas langit, bersama bidadari yang mendampinginya."Mey! Jangan tinggalkan Mama!" Aku berteriak memanggil namanya. Air mataku mengalir deras tak tertahankan. "Meysa... Jangan tinggalkan Mama."Aku memanggilnya lirih. Namun putriku hanya
Baca selengkapnya

Bab 72 Bagai Disayat Sembilu

Rasanya aku tak percaya mendengar penjelasan wali kelas Meysa. Anakku tidak depresi. Meysa baik-baik saja. Aku tahu dan aku yakin itu."Tidak mungkin." Aku menggeleng-gelengkan kepala. Menepis kalimat penjelasan yang baru saja terdengar."Kami paham jika Bu Tari masih tak percaya, sebab kalau boleh jujur, kami pun sulit untuk percaya dengan semua ini." Salah satu guru menimpali."Tapi saya sangat tahu Mesya. Anak saya tidak mungkin melakukan hal itu," bantahku lagi. Aku menutup wajah sendu ini dengan sebelah telapak tangan. Nyatanya, air mataku kian menganak sungai di pipi.Tak berhenti sampai di situ, beberapa guru di sekolah Mesya pun turut memberikan penjelasan. Ketika aku menatap wajah mereka satu-persatu, semuanya nampak berduka. Tak ada wajah kepura-puraan yang mereka tampilkan saat ini.Lalu, aku harus percaya pada siapa? Sementara dalam hati sangat yakin kalau Meysa tak mungkin melakukan hal itu.***"Mey! Sarapan dulu, Sayang."Pagi ini aku sengaja bangun lebih awal. Aku ingi
Baca selengkapnya

Bab 74 Ada Yang Mendatangi Makam Anakku

Hari berganti hari. Semakin hari, semakin bertambah berat rasa di hati. Aku melalui semuanya sendirian sampai tahlilan ke 40 hari kepergian Meysa.Beberapa kali Bastian sempat mendatangi rumahku dengan dalih berbela sungkawa. Namun aku bersi kukuh menolak tak menerima kedatangan Bastian di rumahku. Aku memutuskan tak mau berhubungan lagi dengan Bu Yunita, termasuk Bastian. Apalagi mengenai Gina, kurasakan wanita itu bukan lagi sahabatku. Gina yang dulu telah lenyap, berganti dengan Gina yang tak lagi kukenal."Bu, makan dulu ya."Suara Mba Sari membangunkanku dari lamunan singkat. Suasana di luar ini tengah gerimis, langit pun nampak berawan sehingga menghalangi cahaya matahari. Aku yang tengah duduk sendirian di kursi yang berada di samping rumahku sampai lupa kalau waktu sudah beranjak siang."Ini jam berapa, Mba?" tanyaku seraya menoleh pada Mba Sari yang masih setia bersamaku."Ini sudah jam sepuluh siang, Bu. Bu Tari belum sarapan, saya sudah siapkan makanan di atas meja," kata M
Baca selengkapnya

Bab 74 Merasa Ada Yang Aneh

"Sedang apa kamu di sini?" tanyaku nanar padanya.Selama ini, Gina tak pernah datang untuk berduka cita atas kepergian Meysa. Meski pun aku tak pernah mengharapkan kedatangannya. Lalu, saat ini aku menemukan dirinya tengah menangis sendirian di atas pusara anakku.Seketika Gina sibuk mengusap pipinya. Wajahnya nampak tegang, juga salah tingkah."A-Aku, aku hanya sekedar ziarah saja," jawab Gina singkat. "Aku pamit," sambunya seraya melangkah pergi. Dengan cepat Gina meninggalkan pemakaman. Sejujurnya aku ingin menahannya, akan tetapi lidahku kelu untuk berbicara dengannya. Rasa sakit di hati terasa menyayat setiap kali ingat kejahatan Gina padaku.Tapi, untuk apa Gina meminta maaf pada Meysa? Aku mematung ketika terus saja mengingat ucapan Gina tadi. Sungguh kalimat Gina telah mengganggu pikiranku."Bu, kenapa diam saja?" Mba Sari menegurku."Oh iya, Mba. Maaf." Hingga akhirnya aku terbangun dari lamunan singkat.Segera kutekuk lutut di ada pusara Meysa. Aku mendo'akan putriku dengan
Baca selengkapnya

Bab 75 Ditolak

Sepulang dari sekolahan Mesya tadi sore, kepalaku terus saja memikirkan cerita pria paruh baya penjual es dawet tadi.Di bawah langit yang sudah gelap, aku berdiri di depan rumah sambil menatap ke atas. Kulihat beberapa bintang bersinar di langit sana."Mey, apa kamu ada di sana?" Aku berbisik sendirian. Andai bisa meminta, aku ingin sekali bertemu dengan Meysa, walau hanya dalam mimpi. "Mey, temui Mama walau dalam mimpi. Sampaikan apa yang ingin kamu sampaikan pada Mama. Tentang apa yang sebenarnya terjadi tanpa sepengetahuan Mama."Tak ada yang menjawab pertanyaanku saat ini. Sekeliling area nampak sunyi, sepi. Tak ada satu pun yang mendekat padaku.Hingga ketika aku membalikan tubuh, hendak masuk ke rumah. Tiba-tiba suara klakson terdengar berbunyi di depan rumahku. Aku menoleh. Kulihat sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah. Mobil yang nampak tak asing dalam pandangan.Seorang pria keluar dari dalam mobil itu, berjalan mendekat padaku. Aku pun menyambutnya malas. Memutar bol
Baca selengkapnya

Bab 76 Dia Datang Lagi

Aku harus kembali ke rumah dalam keadaan isi hati yang kian terluka parah. Betapa teganya Bu Yunita melakukann itu semua. Belum cukupkah aset perusahaan diambilnya dariku.Di samping rumah dekat kolam renang aku duduk sendirian sambil memeluk lututku. Sesekali mengusap pipi yang basah oleh bulir bening yang berhasil menetes di pipi.Ya Tuhan, dosa apakah yang telah aku lakukan, sehingga hidup terasa kian memilukan. Tapi aku kembali menyadarkan diri. Aku terus menguatkan diri. Semua ujian pasti akan terlewati asal ada usaha untuk melaluinya."Permisi, Bu."Hanya suara Mba Sari yang terdengar sopan di telingaku. Aku menoleh pada wanita yang selalu memakai jilbab berwarna abu-abu itu."Ada apa, Mba?""Di depan ada tamu, Bu," jawabnya. "Saya tidak ingin bertemu dengan siapa pun," balasku seraya mengembalikan pandangan."Tapi katanya tamu itu dari jauh, sengaja datang ke sini, Bu. Rasanya tak tega untuk mengusirnya," kata Mba Sari. Begitu kulihat wajahnya nampak serba salah."Memangnya si
Baca selengkapnya

Bab 77 Direndahkan

Santi masih mengiba. Tatapannya terlihat ikhlas. Apa dia benar-benar tulus?"Tapi, San. Saya sudah tak punya apa-apa. Untuk menghidupi diri sendiri pun saya tengah memutar otak," terangku."Saya menganggap Bu Tari bagaikan orang tua sendiri. Saya ingin berbakti pada Bu Tari. Saya ingin berbalas Budi," tekan Santi.Perbicangan aku dan Santi kala itu cukup lama. Aku memikirkan permintaan Santi dalam beberapa jam. Hingga akhirnya aku menganggukan kepala, menerima permintaannya.Santi menyeringai senang. Tatapannya semakin berbinar ketika aku mengiyakan permintaannya.Kami berpelukan melepas rasa bahagia. Ya Tuhan, terima kasih atas kehadiran Santi. Wanita itu memang pernah menghancurkan hidupku, tapi dia telah berubah dan ingin memperbaiki dirinya. Wanita yang pernah kubenci itu, kini malah menjadi orang terdekatku.Dibantu Santi dan Mba Sari, aku mulai sibuk di dapur tengah membuat aneka kue basah. Santi bersedia menjual kue basah yang aku buat. Dia rela berjualan keliling area sambil m
Baca selengkapnya

Bab 78 Dikejar Berondong

"Kamu tanya pada Bu Yunita. Beliau sangat tahu jawabannya," tantangku."Kenapa dengan mamaku, Tar?" Bastian nampak terkejut."Kamu tanya sendiri saja. Mungkin, dengan merebut perusahaan, Bu Yunita masih belum puas." Aku tengah menahan amarah di dalam dada."Oh jadi kalian malah reunian di sini!" sentak suara sopran milik Gina turut menimpali perbincanganku dengan Bastian.Serentak aku dan Bastian menoleh secara bersamaan. Masalah lagi. Aku yakin kedatangan Gina hanya akan membawa masalah seperti yang sudah-sudah."Pantas saja aku tunggu kamu dari tadi gak muncul-muncul, Bastian. Rupanya kamu digodain janda di sini," imbuh Gina terdengar menyindir."Cukup, Gin. Tak usah berbicara yang aneh-aneh," tegas Bastian pada istrinya."Loh memang benar 'kan. Janda lusuh ini memang yang selalu mengganggumu," tuduh Gina. Jari telunjuknya menggaris lurus ke wajahku."Selalu saja begitu." Aku memutar bola mata kesal. Bukan tak berani membela diri di hadapan Gina. Namun sudah bisa ditebak seperti yan
Baca selengkapnya

Bab 79 Pesanan Kue Dari Pria Gondrong

"Saya mau pesan kue basah, Mba. Untuk 500 anak yatim besok pagi. Apa bisa?"Aku terkejut mendengarnya. "Ini serius?" Aku memastikan lagi. Entah kenapa aku masih saja ragu."Serius, Mba. Waktunya besok pagi-pagi. Apakah bisa?" Suara wanita di dalam sambungan telepon kembali bertanya, mungkin untuk memastikan.Pandanganku terlebih dahulu terarah pada pria berambut gondrong di depanku. Pria itu masih mematung menunggu jawaban dariku."Bagaimana, Mba? Bisa gak ya?" Lagi-lagi suara wanita dari dalam telepon kembali bertanya. Seketika aku terbangun dari lamunan singkat."Bi-Bisa, Bu," jawabku pada akhirnya. Aku mengiyakan saja, sebab ini adalah kesempatan yang sangat berharga.Pria berondong itu menyerahkan kartu namanya padaku. Kartu nama berisikan alamat rumahnya. Aku pun bergegas pulang ke rumah. Jarum pada benda bundar yang menempel di dinding rumahku menunjukan pukul tiga sore. Aku harus gerak cepat membuat kue pesanan pertama yang jumlahnya cukup banyak.Sekitar hampir setengah jam w
Baca selengkapnya

Bab 80 Jadi Curiga

Apa maksud ucapan Gina barusan? Apa yang dimaksudnya telah melenyapkan nyawa anakku? Debaran jantung terasa kian mengencang saja. Aku bangkit dari tempat duduk, hendak menghampiri keduanya untuk meminta kejelasan. Tapi begitu kaki hendak melangkah, sebelah tanganku ditarik seseorang dari belakang."Mba, mau kemana?" Pria tadi menarik tanganku. Segera kulepaskan."Saya harus ke sana," jawabku resah. Sebab urusan dengan Gina serasa lebih penting dari yang lain."Tapi mama saya memanggil, Mba. Mba menghadap ke dalam sekarang untuk menerima pembayaran," kata pria berondong itu."Sebentar. Hanya sebentar saja." Aku bergegas melanjutkan langkah menuju ke balik dinding.Aku segera memastikan Gina dan wanita tak dikenal tadi di sana. Tapi, mereka sudah tak nampak. Kuedarkan pandangan, para tamu undangan memang sudah perlahan memenuhi kediaman mewah ini.Kemana perginya Gina dan temannya tadi. Aku tak lagi bisa melihatnya."Ada apa, Mba? Mama saya sudah menunggu. Beliau tak bisa menunggu terl
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
678910
...
12
DMCA.com Protection Status