Aku harus kembali ke rumah dalam keadaan isi hati yang kian terluka parah. Betapa teganya Bu Yunita melakukann itu semua. Belum cukupkah aset perusahaan diambilnya dariku.Di samping rumah dekat kolam renang aku duduk sendirian sambil memeluk lututku. Sesekali mengusap pipi yang basah oleh bulir bening yang berhasil menetes di pipi.Ya Tuhan, dosa apakah yang telah aku lakukan, sehingga hidup terasa kian memilukan. Tapi aku kembali menyadarkan diri. Aku terus menguatkan diri. Semua ujian pasti akan terlewati asal ada usaha untuk melaluinya."Permisi, Bu."Hanya suara Mba Sari yang terdengar sopan di telingaku. Aku menoleh pada wanita yang selalu memakai jilbab berwarna abu-abu itu."Ada apa, Mba?""Di depan ada tamu, Bu," jawabnya. "Saya tidak ingin bertemu dengan siapa pun," balasku seraya mengembalikan pandangan."Tapi katanya tamu itu dari jauh, sengaja datang ke sini, Bu. Rasanya tak tega untuk mengusirnya," kata Mba Sari. Begitu kulihat wajahnya nampak serba salah."Memangnya si
Santi masih mengiba. Tatapannya terlihat ikhlas. Apa dia benar-benar tulus?"Tapi, San. Saya sudah tak punya apa-apa. Untuk menghidupi diri sendiri pun saya tengah memutar otak," terangku."Saya menganggap Bu Tari bagaikan orang tua sendiri. Saya ingin berbakti pada Bu Tari. Saya ingin berbalas Budi," tekan Santi.Perbicangan aku dan Santi kala itu cukup lama. Aku memikirkan permintaan Santi dalam beberapa jam. Hingga akhirnya aku menganggukan kepala, menerima permintaannya.Santi menyeringai senang. Tatapannya semakin berbinar ketika aku mengiyakan permintaannya.Kami berpelukan melepas rasa bahagia. Ya Tuhan, terima kasih atas kehadiran Santi. Wanita itu memang pernah menghancurkan hidupku, tapi dia telah berubah dan ingin memperbaiki dirinya. Wanita yang pernah kubenci itu, kini malah menjadi orang terdekatku.Dibantu Santi dan Mba Sari, aku mulai sibuk di dapur tengah membuat aneka kue basah. Santi bersedia menjual kue basah yang aku buat. Dia rela berjualan keliling area sambil m
"Kamu tanya pada Bu Yunita. Beliau sangat tahu jawabannya," tantangku."Kenapa dengan mamaku, Tar?" Bastian nampak terkejut."Kamu tanya sendiri saja. Mungkin, dengan merebut perusahaan, Bu Yunita masih belum puas." Aku tengah menahan amarah di dalam dada."Oh jadi kalian malah reunian di sini!" sentak suara sopran milik Gina turut menimpali perbincanganku dengan Bastian.Serentak aku dan Bastian menoleh secara bersamaan. Masalah lagi. Aku yakin kedatangan Gina hanya akan membawa masalah seperti yang sudah-sudah."Pantas saja aku tunggu kamu dari tadi gak muncul-muncul, Bastian. Rupanya kamu digodain janda di sini," imbuh Gina terdengar menyindir."Cukup, Gin. Tak usah berbicara yang aneh-aneh," tegas Bastian pada istrinya."Loh memang benar 'kan. Janda lusuh ini memang yang selalu mengganggumu," tuduh Gina. Jari telunjuknya menggaris lurus ke wajahku."Selalu saja begitu." Aku memutar bola mata kesal. Bukan tak berani membela diri di hadapan Gina. Namun sudah bisa ditebak seperti yan
"Saya mau pesan kue basah, Mba. Untuk 500 anak yatim besok pagi. Apa bisa?"Aku terkejut mendengarnya. "Ini serius?" Aku memastikan lagi. Entah kenapa aku masih saja ragu."Serius, Mba. Waktunya besok pagi-pagi. Apakah bisa?" Suara wanita di dalam sambungan telepon kembali bertanya, mungkin untuk memastikan.Pandanganku terlebih dahulu terarah pada pria berambut gondrong di depanku. Pria itu masih mematung menunggu jawaban dariku."Bagaimana, Mba? Bisa gak ya?" Lagi-lagi suara wanita dari dalam telepon kembali bertanya. Seketika aku terbangun dari lamunan singkat."Bi-Bisa, Bu," jawabku pada akhirnya. Aku mengiyakan saja, sebab ini adalah kesempatan yang sangat berharga.Pria berondong itu menyerahkan kartu namanya padaku. Kartu nama berisikan alamat rumahnya. Aku pun bergegas pulang ke rumah. Jarum pada benda bundar yang menempel di dinding rumahku menunjukan pukul tiga sore. Aku harus gerak cepat membuat kue pesanan pertama yang jumlahnya cukup banyak.Sekitar hampir setengah jam w
Apa maksud ucapan Gina barusan? Apa yang dimaksudnya telah melenyapkan nyawa anakku? Debaran jantung terasa kian mengencang saja. Aku bangkit dari tempat duduk, hendak menghampiri keduanya untuk meminta kejelasan. Tapi begitu kaki hendak melangkah, sebelah tanganku ditarik seseorang dari belakang."Mba, mau kemana?" Pria tadi menarik tanganku. Segera kulepaskan."Saya harus ke sana," jawabku resah. Sebab urusan dengan Gina serasa lebih penting dari yang lain."Tapi mama saya memanggil, Mba. Mba menghadap ke dalam sekarang untuk menerima pembayaran," kata pria berondong itu."Sebentar. Hanya sebentar saja." Aku bergegas melanjutkan langkah menuju ke balik dinding.Aku segera memastikan Gina dan wanita tak dikenal tadi di sana. Tapi, mereka sudah tak nampak. Kuedarkan pandangan, para tamu undangan memang sudah perlahan memenuhi kediaman mewah ini.Kemana perginya Gina dan temannya tadi. Aku tak lagi bisa melihatnya."Ada apa, Mba? Mama saya sudah menunggu. Beliau tak bisa menunggu terl
"Ada sesuatu yang telah mengganjal di hati. Saya seperti mendapat penerangan tentang penyebab kepergian Meysa. Meysa sepertinya telah dibunuh seseorang," jelasku. Bersamaan dengan itu, air mata kembali luruh di pipi."Apa! Siapa yang melakukan itu pada Meysa, Bu?"Mba Sari dan Santi nampak di terkejut. Mereka langsung bertanya padaku."Saya belum bisa memastikan. Saya masih harus mengumpulkan bukti," jawabku lesu."Bisakah saya membantu, Bu?" Santi mengajukan diri."Sepertinya ini terlalu sulit," kataku ragu."Saya akan berusaha, Bu. Katakan saja apa yang harus saya lakukan," balas Santi lagi.Aku memikirkan itu. Belum bisa memutuskan apa yang harus Santi lakukan kalau membantuku nanti. Sementara aku pun masih kesulitan mendapatkan bukti-bukti yang jelas.Perbincangan siang itu tak dilanjut. Aktivitas kami lalui sebagaimana biasanya. Sibuk di dapur merupakan rutinitas yang kini sudah biasa aku lakukan."Bu, sepertinya saya mendengar suara ponsel ibu berdering di kamar," lapor Mba Sari
"Tidak mau!" Wanita paruh baya itu membalas dengan tegas kepadaku."Ini sudah malam, Bu. Saya antar pulang ya. Saya hanya khawatir dengan kesehatan Ibu," rayuku lagi.Aku memohon dengan sangat pada Bu Yunita agar mau diantar pulang. Cukup lama Bu Yunita berpikir sambil sesekali melirik sinis kepadaku. Namun akhirnya usahaku tidak sia-sia. Setengah jam merayu Bu Yunita, kini aku berhasil meluluhkan hatinya. Bu Yunita akhirnya bersedia diantar pulang olehku.Ibunya Bastian kini telah duduk di kursi sebelahku di dalam mobil. Aku pun segera melajukan kembali kendaraan roda empatku menuju kediaman Bu Yunita."Mama! Kenapa? Apa yang Lestari lakukan pada Mama." Gina menyambut dengan tuduhan ketika aku telah samai dan memapah Bu Yunita ke depan rumahnya.Dengan cepat, Gina meraih tangan Bu Yunita. Dia menepis tanganku secara tidak sopan."Ma, apa yang telah terjadi? Mengapa Mama terlihat kesakitan?" Tampak perhatian ketika Gina memborong pertanyaan pada Bu Yunita."Jangan tanya sekarang, Mam
"Ada apa ini? Mengapa ada polisi di rumahku?"Aku segera keluar dari mobil, menghampiri mereka yang sudah berjajar di rumahku."Bu!" Mba Sari dan Santi langsung menghampiri setelah melihat kedatanganku."Ada apa ini?" tanyaku segera, pada dua wanita di depanku."Polisi itu mencari Bu Tari," lapor Santi nampak gugup.Seketika kedua bola mataku membulat. "Untuk apa?"Belum sempat Santi dan Mba Sari menjawab pertanyaanku, di waktu yang bersamaan petugas berseragam coklat itu mendekat padaku."Apakah Anda yang bernama Lestari?" Salah satu petugas kepolisian bertanya padaku."Iya," jawabku mengiyakan."Saudara Lestari, Anda ikut bersama kami ke kantor polisi." Dengan tegasnya petugas kepolisian berbicara padaku. Sebelah tanganku bahkan diraih dan digenggam oleh salah satu polisi wanita yang turut hadir di sana."Ada apa ini? Apa salah saya?" Aku menelan saliva resah. Aneh sekali tiba-tiba polisi ingin membawaku ke kantornya. Apa salahku? "Saudara Gina telah melaporkan Anda dengan tuduhan
"Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S
"Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini
"Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji
Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria