All Chapters of Membungkam Mulut Tetangga Julid: Chapter 21 - Chapter 30

58 Chapters

Teguran

Beberapa saat sebelumnya …Azam sudah siap berangkat kerja. Kali ini ia akan membawa anaknya serta, sebab Dewi akan berangkat agak siang.Melihat rantai sepeda yang tergantung di dekat pintu kamar, pria itu menghela napas panjang.Sudah beberapa kali ia menegur sang istri untuk tidak mengunci pintu pagar dalam kondisi terbuka saat mereka ke luar rumah. Namun, peringatannya tidak diindahkan.Dilihatnya wanita yang sepuluh tahun ini menjadi teman hidupnya, tengah tersenyum-senyum sendiri sambil menatap lurus pada ponsel di tangan.“Ma,” panggil Azam yang jengah melihat kelakuan istrinya.“Hmmm … .”Dewi menjawab tanpa menoleh. Kini bahkan terkikik entah sebab apa. Wanita itu menoleh setelah beberapa saat suaminya masih berdiri tegak.“Apa, Pa? Belum mau berangkat?“Rantainya aku bawa aja, ya,” pinta Azam, seraya mengambil benda tersebut. Kedua mata Dewi melotot seketika. Gegas ia berdiri dan menyambar ben
last updateLast Updated : 2024-06-05
Read more

Bu Rini Bertindak

POV DewiHampir tengah hari, aku memutuskan untuk istirahat. Duh, mana panas banget lagi hari ini. Segelas teh manis dingin cocok, nih buat ngilangin haus.Tringg ...Triiingg …Tiba-tiba saja ponsel yang ada di tasku berbunyi nyaring. Aku harap itu dari pelanggan yang meminta supply susu yogurt yang ku jual beberapa bulan terakhir ini.Aku sungguh terkejut melihat nama yang ada di layar. Bu Rini pemilik kontrakan. Tumben nelpon."Assalamu'alaikum Bu Rini?" ucapku setelah kupencet tombol hijau dan sambungan telepon terhubung."Wa'alaikumsalam ... Hallo Bu Dewi, maaf kalau mengganggu waktunya. Bu Dewi nanti malam ada di rumah tidak? Saya mau berkunjung." Waduh, ada apa sampai Bu Rini mau berkunjung segala? Malam-malam lagi."Oh iya, ada kok. Ada perlu apa ya, Bu?" tanyaku penasaran. "Nanti malam saja saya jelaskan, ya, Bu Dewi. Assalamu'alaikum." Bu Rini menutup sambungan telepon setelah kujaw
last updateLast Updated : 2024-06-05
Read more

Diabaikan

“Nggak pulang, Zam?”Azam menoleh. Dito, teman nongkrongnya kali ini, sudah bersiap meninggalkan lokasi yang menjadi markas tunggu.“Entar dulu. Masih nunggu orderan satu lagi gue,” jawab Azam.Pria itu melirik ponsel yang berkedip-kedip. Gegas meraihnya, lalu tersenyum lebar.“Panjang umur!” serunya dengan suara riang, lantas menunjukkan layar ponsel yang masih menyala pada temannya.“Jalan dulu, gue!”Pamit Azam sambil menepuk pundak Dito.Dito melihat jam di pergelangan tangannya, sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Pria berjaket kulit warna hitam itu menggelengkan kepala melihat temannya yang masih mengambil orderan di jam selarut ini.“Hati-hati, Zam!” seru Dito ketika suara motor besar Azam bersiap melaju di jalan beraspal.Azam hanya menjawab dengan acungan jempol, lalu segera bergabung dengan para pengendara kendaraan bermotor di jalanan yang ramai.“Kayak udah capek, mata juga udah
last updateLast Updated : 2024-06-06
Read more

Hati yang Sempit

“Teh … Teh. Emang semalam Bu Rini ke sini, ya?” Bu Yati menyapa Nia yang sedang duduk santai di teras sambil mengawasi anak-anaknya. Yang ditanya sedikit terkejut. “Masa, sih? Aku nggak tau. Kan semalam ke rumah nenek,” jawab Nia apa adanya. “Sampai jam sebelas baru sampai sini aku, Mbak,” jelas Nia lagi. “Ih … iya, tau. Dia ke rumah situ, tu!” Bu Yati menunjuk rumah Dewi dengan bibirnya. Nia tertawa melihat ekspresi lucu Bu Yati. “Dia negur kali. Lagian itu pintu masih dibuka juga sama si itu,” cetus Bu Yati lagi. “Lagian kenapa nggak disuruh oh dah aja sih, tuh orang?” gerutu Bu Yati dengan wajah kesal. “Kalau gue nih, jadi yang punya, udah gue usir dari dulu dia, Teh.” “Au ah, Bude. Ngantuk aku,” sahut Nia, lalu menutup mulutnya yang tengah menguap lebar. Bu Yati menggelengkan kepala melihat N
last updateLast Updated : 2024-06-07
Read more

Sudah semestinya

“Tinggal seminggu lagi, loh, Pa. Jadi gimana ini kita?”Lagi-lagi Dewi mencecar Azam soal kontrakan. Sudah tiga minggu berlalu. Namun, mereka belum menemukan calon tempat tinggal yang baru.“Ya nggak gimana-gimana. Kemarin udah Papa kasih lihat, Mama nggak mau.”Azam berkata dengan santai. Kulit kuaci memenuhi lantai di sekitar lelaki berkaos merah menyala itu duduk.Dewi mendengkus kesal. Benar memang, Azam telah membawanya ke sebuah rumah tiga petak, yang lebih kurang seperti rumah yang saat ini mereka tempati.Rumah dengan satu kamar tidur, satu kamar mandi, satu ruang tamu, serta dapur. Posisi rumah juga ada di pinggir jalan kampung. Hanya saja, rumah tersebut nyaris tidak memiliki halaman. Jika pindah ke sana, maka mereka tidak memiliki lahan parkir di luar rumah, sebab halaman yang tersisa kurang dari setengah meter, dan langsung bertemu pagar yang menjadi pembatas halaman dengan jalan.“Bisa yang lebih bagusan la
last updateLast Updated : 2024-06-07
Read more

Peran Suami

Waktu terus beranjak. Matahari telah bergeser ke arah barat. Suara anak-anak yang bermain di lapangan sudah ramai terdengar.“Ma, masakin telur, dong?!” pinta Sultan, mengejutkan sang ibu yang tengah menonton Drakor.“Masak sendiri sana! Udah gede juga,” sahut Dewi yang enggan beranjak dari tempatnya. “Nggak bisa, Ma! Buruan, dong. Perutku lapar ini!” Lagi-lagi bocah itu merengek setengah memerintah.“Makan yang lain dulu kenapa, sih?” gerutu Dewi sambil turun dari tempat tidur.“Maunya telur!” seru Sultan yang tidak mau ditawar inginnya.Dewi berdecak kesal, lalu melangkah keluar dengan terpaksa, hendak menuju warung di ujung gang. Di pos ronda sudah banyak para ibu dan balita. Wajah Dewi yang kesal oleh anaknya, kini dimanis-maniskan di depan para tetangga. Ya, meski ia merasa canggung, sebab beberapa waktu lamanya ia tidak berinteraksi dengan tetangga kiri kanan seperti sekarang.“Ada itu, tuh,” celetuk Bu
last updateLast Updated : 2024-06-08
Read more

Penasaran

"Mas, coba lihat deh. Kok di luar kayak rame ya, Mas?" ucap dan tanya Dina pada sang suami. Jam menunjuk angka sepuluh malam. Biasanya rumah Dewi sudah sepi. Namun, tidak demikian kali ini."Masa, sih? Coba aku lihat." Deny kemudian beranjak dari duduknya."Oh, iya. Itu si Sultan masih main di jalan, tuh. Pintunya juga masih terbuka. Pintu pagar juga," ucap Deny setelah melihat ke luar rumah.Terdengar suara orang berlari-lari setelahnya. Dina melihat ke luar melalui jendela. Ia menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. "Anak itu sudah malam kenapa belum tidur, ya." Dina bergumam sendiri. "Matanya saja sudah separo begitu." Pandangan Dina mengikuti pergerakan Sultan yang melompat-lompat di luar rumah, pun ke luar masuk melewati pagar. Saat malam memang jalan di depan kontrakan sepi."Mas juga nggak tau, Sayang. Lebih baik istirahat saja, yuk. Sudah malam ini."Deny berusaha membujuk istrinya yang terli
last updateLast Updated : 2024-06-08
Read more

Sudah Aman Sekarang

Pagi hari, saat Dina ke luar rumah, rumah Dewi sudah sepi. Dina menemukan kantong hitam besar di depan kamar Dewi, berisi barang-barang yang ditinggalkan. Sampah plastik juga berserakan di sepanjang teras dan halaman rumah Dewi.Dina merasa lega karena dengan perginya Dewi, maka pintu pagar tak akan terbuka lagi di saat siang. Di sisi lain, ia merasa sedih karena Dewi ternyata meninggalkan kontrakan diam-diam di saat malam, di saat semua orang terlelap tidur. “Ngapain, Mbak?”Bu Yati bertanya sambil menghampiri Dina yang berdiri mematung memandangi halaman rumah Dewi. Belum sempat Dina menjawab, Bu Yati sudah berseru kaget.“Astaghfirullah … . Banyak amat sampahnya!” seru Bu Yati saat melihat kantong plastik hitam di depan pintu.“Kok sepi? Pada ke mana mereka?” tanya Bu Yati kemudian.Dina mengedikkan bahu, lalu menjawab, “Nggak tau, Bude.”"Emang Tante nggak dipamiti?" Bu Yati bertanya dengan penuh rasa heran. Ibunya
last updateLast Updated : 2024-06-10
Read more

Tetangga Baru

"Teh, ini nanti mereka mulai tinggal di sini, ya. Mereka cowok semua. Kerja di situ memperbaiki masjid."Hari kelima sejak kepergian Dewi, si tukang bubur mendatangi Dina setelah mengantar beberapa orang yang akan menempati rumah di sebelahnya.Dina sedikit terkejut mengetahui tetangga barunya adalah beberapa orang pria dewasa."Tadinya mereka tinggal di situ dekat Bude jamu, tapi kebanyakan,” beritahu Gema lagi. “Kamar mandi di sana juga cuma satu. Jadi tak saranin aja pindah ke sini," ucapnya menambahkan."Iya, Om," Dina menjawab singkat. "Nggak lama kok, paling dua bulan. Saya udah bilang supaya jangan berisik karena ada anak kecil di sini. Saya juga bilang kalau yang di sini orang baik, jangan diapa-apain,” ucap Gema panjang pendek."Iya, Om. Makasih, ya,” Dina menjawab dengan mengulas senyum.Gema mengangguk, lantas pamit setelah merasa cukup memberikan informasi kepada Dina.***Malam hariny
last updateLast Updated : 2024-06-11
Read more

Wajah Tanpa Dosa

Di tempat lain, Dewi masih disibukkan dengan barang-barang setelah pindah kontrakan.“Bisa sebulan baru kelar ini,” keluhnya, sambil memindahkan pakaian ke dalam lemari .“Huh! Mana capek banget nggak ada yang bantuin.”Dewi memilih merebahkan badan, alih-alih menyelesaikan pekerjaan yang ada di depan mata.Selama beberapa hari terakhir, ia yang kelelahan sebab kepindahan mendadak serta menyita jam istirahat, hanya menarik pakaian yang akan dipakai dari dalam koper.Demikian pula dengan anak dan suaminya. “Masukin dulu pakaian ke lemari, Ma. Masa tiap mau salin mesti buka koper,” tegur Azam di hari kedua mereka pindah.Dewi justru mendelik tak suka ditegur demikian.“Papa habisan. Ngajak pindah kok tiba-tiba. Nggak pakai persiapan dulu, pemanasan dulu gitu. Ini, main pergi aja. Malam itu juga lagi,” gerutu Dewi membuat Azam melengak tak suka.“Kenapa jadi nyalahin Papa? Orang kamu juga minta pindah mal
last updateLast Updated : 2024-06-12
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status