Aruna duduk di ujung tempat tidur, tatapannya kosong menembus jendela yang menghadap ke taman. Matahari pagi menembus tirai tipis, memberikan cahaya lembut yang menghangatkan kamar, namun tidak bisa mengusir dingin yang bersarang di hatinya. Tangannya yang gemetar memegang ponsel, pesan terakhir dari Bintara masih terbuka, namun tak ada niat untuk membalasnya. Perasaannya campur aduk, antara luka dan harapan yang perlahan pudar. Dengan suara yang serak karena menahan tangis, Aruna menghubungi Bintara. Detak jantungnya terasa begitu keras di dadanya, seolah-olah memprotes keputusan yang akan ia sampaikan. Ketika panggilan tersambung, suaranya bergetar, namun ia berusaha untuk tegar. "Bintara, aku minta... untuk beberapa waktu ini, jangan datang menemuiku," kata Aruna pelan, namun tegas. "Meski bulan-bulan ini adalah prediksi lahirnya bayi kita, aku butuh waktu. Aku butuh... ruang." Di ujung sana, Bintara terdiam sejenak, merasakan setiap kata
Read more