Aruna duduk di ujung tempat tidur, tatapannya kosong menembus jendela yang menghadap ke taman. Matahari pagi menembus tirai tipis, memberikan cahaya lembut yang menghangatkan kamar, namun tidak bisa mengusir dingin yang bersarang di hatinya. Tangannya yang gemetar memegang ponsel, pesan terakhir dari Bintara masih terbuka, namun tak ada niat untuk membalasnya. Perasaannya campur aduk, antara luka dan harapan yang perlahan pudar. Dengan suara yang serak karena menahan tangis, Aruna menghubungi Bintara. Detak jantungnya terasa begitu keras di dadanya, seolah-olah memprotes keputusan yang akan ia sampaikan. Ketika panggilan tersambung, suaranya bergetar, namun ia berusaha untuk tegar. "Bintara, aku minta... untuk beberapa waktu ini, jangan datang menemuiku," kata Aruna pelan, namun tegas. "Meski bulan-bulan ini adalah prediksi lahirnya bayi kita, aku butuh waktu. Aku butuh... ruang." Di ujung sana, Bintara terdiam sejenak, merasakan setiap kata
Esok paginya, Serena mengetuk pintu rumah Aruna dengan senyum yang sudah dipersiapkan. Di tangannya, ia membawa bingkisan buah-buahan segar yang diikat dengan pita cantik, seolah-olah kunjungan ini murni karena perhatian dan kasih sayang. Aruna membukakan pintu, wajahnya masih tampak lelah dan sedikit pucat. Serena melangkah masuk dengan anggun, mengalirkan aura kepedulian yang terlihat tulus di permukaan. "Gimana kabarmu, Aruna? Aku bawakan sedikit buah-buahan segar untuk kamu," kata Serena sambil menyerahkan bingkisan itu. Aruna tersenyum tipis, mengangguk pelan. "Terima kasih, Serena. Aku baik-baik aja, cuma butuh istirahat." Serena duduk di sofa, melirik sekeliling rumah yang tampak sepi. "Aku harap bayimu juga baik-baik aja," katanya, mencoba menambahkan kehangatan pada ucapannya. Aruna hanya mengangguk, tidak ingin memperpanjang percakapan. Namun, Serena belum selesai dengan permainannya. Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel, denga
Ketika Aruna berada di puncak proses melahirkan, suara dokter terdengar di ruangan yang penuh dengan kegelisahan dan harapan. "Permisi, anda suaminya? Mari masuk!" panggil dokter dengan nada tegas namun tenang. Sebastian yang berada di ruang tunggu segera terkejut, namun tidak mengelak. Dia dengan cepat merespon panggilan itu, memasuki ruang persalinan dengan langkah tergesa. Dokter yang memanggilnya mengira bahwa Sebastian adalah suami dari Aruna, seseorang yang seharusnya berada di sisinya pada momen krusial ini. Masuk ke ruang bersalin, Sebastian menemukan Aruna dalam keadaan berjuang keras, keringat mengalir di wajahnya, dan ekspresi kesakitan yang tampak jelas. Mata Aruna yang setengah terbuka menangkap kehadiran Sebastian. Meski dalam keadaan setengah sadar karena rasa sakit yang luar biasa, ada sedikit kebingungan di matanya, namun ia tidak punya tenaga untuk bertanya lebih jauh.Sebastian mendekat, dan tanpa diminta, ia menggenggam tangan Aruna d
Di kantor, Bintara berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Hari itu begitu banyak hal yang harus diurus, tapi satu hal yang mengganggunya adalah keberadaan Sebastian. Ia mendekati meja sekretaris barunya, Laila, dan bertanya dengan nada yang penuh ketegangan, "Di mana Sebastian? Aku butuh dia sekarang."Laila menatap Bintara dengan raut wajah penuh simpati. "Maaf, Pak. Sebastian tadi izin. Katanya ada keperluan mendesak. Dia bilang akan segera kembali."Bintara mengerutkan alisnya, merasa ada yang tidak beres. Sebastian jarang sekali meninggalkan kantor tanpa memberi tahu sebelumnya. Namun, ia menyingkirkan pikiran itu dan memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya. Ia tidak tahu bahwa di saat yang sama, Aruna sedang berjuang melahirkan anak mereka di rumah sakit.Di dalam hatinya, Bintara merasa ada sesuatu yang hilang, tapi ia tidak bisa mengidentifikasi apa itu. Setiap panggilan telepon, setiap rapat, semuanya terasa hampa. Ia merasa jauh dari rumah, jauh
Di rumah sakit, Aruna hanya ditemani oleh Serena dan Sebastian. Suasana kamar itu dipenuhi dengan cahaya lembut dari jendela, menciptakan momen yang sejenak tampak damai. Di dalam pelukan Aruna, bayinya yang baru lahir tampak begitu lucu dan menggemaskan, menarik perhatian setiap orang yang melihatnya. Serena, yang biasanya penuh dengan niat buruk, terpaksa tersenyum tulus saat melihat wajah bayi itu. Keindahan dan kepolosan bayi tersebut seolah memancar, membuatnya sejenak melupakan rencana jahat yang telah direncanakannya. Sebastian, yang berdiri di dekat tempat tidur, menatap bayi itu dengan campuran emosi. Melihat Aruna yang berjuang keras melahirkan dan kini menimang bayi mereka, ia merasakan getaran perasaan yang dalam, membuat niat buruknya tampak surut sesaat. Meskipun hatinya dipenuhi cinta yang tak terungkapkan, ia masih terperangkap dalam rencana gelap yang telah disepakati.Di tengah keajaiban momen itu, semuanya sejenak melupakan intrik dan
Aruna merasakan dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Pandangannya tertuju pada foto pernikahan Serena dan Bintara, mata mereka yang bahagia di dalam bingkai mewah itu seolah menatapnya dengan tatapan mengejek. Hatinya hancur berkeping-keping, rasa sakit yang tak terkatakan mengiris setiap sudut jiwanya. Selama ini, wanita yang ia anggap teman dekat, tempatnya berbagi cerita dan keluh kesah, ternyata adalah istri pertama Bintara.Ia menelan kekecewaan dan kesedihan yang begitu dalam, tetapi berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. Pikirannya berputar cepat mencari cara untuk merespons, namun rasa sakit itu begitu menghimpit hingga ia merasa sulit bernapas.Serena, yang memperhatikan perubahan ekspresi Aruna, mendekat dengan senyum penuh kepalsuan. "Aruna, kamu kelihatan pucat. Apa kamu baik-baik aja?" tanyanya dengan nada yang terdengar begitu tulus, tetapi di mata Aruna, itu adalah puncak dari kepura-puraan yang mengerikan.Aruna menegakkan tubuhnya den
Tidur pun tak nyenyak bagi Aruna. Pikiran dan perasaan bergemuruh tanpa henti, mematahkan setiap upaya untuk mendapatkan sedikit ketenangan. Dini hari menjelang, saat semua masih terlelap dalam kedamaian malam, Aruna bangkit dari tempat tidurnya dengan hati-hati agar tak membuat suara.Dengan langkah yang ringan dan hati-hati, ia meraih tas perlengkapan bayi yang telah ia persiapkan diam-diam. Bayinya terlelap dalam buaian, tak menyadari kegelisahan ibunya. Aruna menatap wajah kecil yang polos itu, menguatkan tekadnya. Ia tak bisa membiarkan anaknya tumbuh dalam bayang-bayang kebohongan dan intrik.Aruna telah memesan taksi sebelumnya, memastikan semuanya siap untuk pelariannya. Ia menggendong bayinya dengan hati-hati, berjalan perlahan menuju pintu depan. Setiap langkah kaki membuatnya menahan napas, takut membangunkan siapa pun. Dalam hatinya, hanya ada satu keinginan kuat: pergi sejauh mungkin, mencari tempat di mana ia dan bayinya bisa memulai hidup b
Pintu ruang kerja Bintara terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Lee Dong Min yang berdiri di sana dengan senyum simpul di wajahnya. Dengan langkah yang penuh percaya diri, Dong Min memasuki ruangan, membawa aura keangkuhan yang membuat suasana semakin tegang. Bintara menatapnya tajam, berusaha menahan amarah yang bergolak di dalam dadanya."Kau datang juga akhirnya," kata Bintara dengan nada dingin, matanya tak lepas dari wajah Dong Min. "Sepertinya kau menikmati permainan ini."Dong Min duduk di kursi yang ada di depan meja Bintara, menyilangkan kaki dengan santai. "Ah, Bintara, kau terlalu serius," katanya sambil tersenyum smirk. "Mengapa kau selalu berpikir bahwa semua ini adalah rencana jahatku?"Bintara mengepalkan tangan, merasakan amarah yang semakin memuncak. "Jangan pura-pura bodoh, Dong Min. Aku tahu ini semua ulahmu. Kau yang memalsukan data tamu sultan dan membuat kekacauan ini."Dong Min tertawa kecil, suaranya penuh dengan ejekan. "