Aruna merasakan dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Pandangannya tertuju pada foto pernikahan Serena dan Bintara, mata mereka yang bahagia di dalam bingkai mewah itu seolah menatapnya dengan tatapan mengejek. Hatinya hancur berkeping-keping, rasa sakit yang tak terkatakan mengiris setiap sudut jiwanya. Selama ini, wanita yang ia anggap teman dekat, tempatnya berbagi cerita dan keluh kesah, ternyata adalah istri pertama Bintara.
Ia menelan kekecewaan dan kesedihan yang begitu dalam, tetapi berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. Pikirannya berputar cepat mencari cara untuk merespons, namun rasa sakit itu begitu menghimpit hingga ia merasa sulit bernapas.Serena, yang memperhatikan perubahan ekspresi Aruna, mendekat dengan senyum penuh kepalsuan. "Aruna, kamu kelihatan pucat. Apa kamu baik-baik aja?" tanyanya dengan nada yang terdengar begitu tulus, tetapi di mata Aruna, itu adalah puncak dari kepura-puraan yang mengerikan.Aruna menegakkan tubuhnya denTidur pun tak nyenyak bagi Aruna. Pikiran dan perasaan bergemuruh tanpa henti, mematahkan setiap upaya untuk mendapatkan sedikit ketenangan. Dini hari menjelang, saat semua masih terlelap dalam kedamaian malam, Aruna bangkit dari tempat tidurnya dengan hati-hati agar tak membuat suara.Dengan langkah yang ringan dan hati-hati, ia meraih tas perlengkapan bayi yang telah ia persiapkan diam-diam. Bayinya terlelap dalam buaian, tak menyadari kegelisahan ibunya. Aruna menatap wajah kecil yang polos itu, menguatkan tekadnya. Ia tak bisa membiarkan anaknya tumbuh dalam bayang-bayang kebohongan dan intrik.Aruna telah memesan taksi sebelumnya, memastikan semuanya siap untuk pelariannya. Ia menggendong bayinya dengan hati-hati, berjalan perlahan menuju pintu depan. Setiap langkah kaki membuatnya menahan napas, takut membangunkan siapa pun. Dalam hatinya, hanya ada satu keinginan kuat: pergi sejauh mungkin, mencari tempat di mana ia dan bayinya bisa memulai hidup b
Pintu ruang kerja Bintara terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Lee Dong Min yang berdiri di sana dengan senyum simpul di wajahnya. Dengan langkah yang penuh percaya diri, Dong Min memasuki ruangan, membawa aura keangkuhan yang membuat suasana semakin tegang. Bintara menatapnya tajam, berusaha menahan amarah yang bergolak di dalam dadanya."Kau datang juga akhirnya," kata Bintara dengan nada dingin, matanya tak lepas dari wajah Dong Min. "Sepertinya kau menikmati permainan ini."Dong Min duduk di kursi yang ada di depan meja Bintara, menyilangkan kaki dengan santai. "Ah, Bintara, kau terlalu serius," katanya sambil tersenyum smirk. "Mengapa kau selalu berpikir bahwa semua ini adalah rencana jahatku?"Bintara mengepalkan tangan, merasakan amarah yang semakin memuncak. "Jangan pura-pura bodoh, Dong Min. Aku tahu ini semua ulahmu. Kau yang memalsukan data tamu sultan dan membuat kekacauan ini."Dong Min tertawa kecil, suaranya penuh dengan ejekan. "
Serena duduk di kursi dekat jendela, menatap Bintara dengan ekspresi tenang namun tegas. “Masalah sultan Arab itu bisa sangat merusak reputasi hotel kita,” katanya dengan suara datar namun penuh arti. “Kondisi hotel akan memburuk jika kita tidak segera menangani ini.”Bintara mengangguk, merasa beban di pundaknya semakin berat. “Aku tahu, Serena. Tapi kita butuh solusi cepat. Kita harus bertindak sekarang.”Serena menggeleng pelan, matanya tajam menatap Bintara. “Kita tidak bisa bertindak gegabah, Bintara. Ini masalah besar yang melibatkan banyak pihak. Aku tidak bisa membantu begitu saja.”Bintara mendesah, rasa frustrasi jelas terpancar di wajahnya. “Jadi, apa yang kau sarankan? Apa kita hanya diam saja dan membiarkan semuanya hancur?”Serena tersenyum tipis, namun tatapannya tetap dingin. “Kita harus merundingkan ini dengan seluruh pemegang saham. Setiap keputusan harus melalui persetujuan mereka.”Bintara mengerutkan kening, tangannya
Aruna duduk di teras rumah orang tuanya yang sederhana, jauh di kampung halaman yang tenang. Angin lembut membelai wajahnya, seolah mencoba menghapus jejak-jejak air mata yang pernah tumpah. Di pangkuannya, bayinya tertidur dengan damai, tanpa tahu betapa rumitnya dunia orang dewasa di sekitarnya.Ibu Aruna datang dengan senyum hangat, membawa segelas teh hangat untuknya. "Gimana kabar Bintara, Nak? Kenapa dia gak ikut pulang?" tanya ibunya dengan nada penuh perhatian.Aruna menelan ludah, berusaha menahan gelombang emosi yang hampir meledak. "Bintara lagu sangat sibuk, Bu. Hotelnya baru aja menerima tamu penting, jadi dia gak bisa meninggalkan pekerjaannya. Aku pulang ke sini supaya bayiku bisa mendapatkan perawatan lebih baik," jawab Aruna, berusaha terdengar meyakinkan.Ayahnya yang duduk di kursi sebelah hanya mengangguk-angguk, memahami betapa sulitnya menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga. "Semoga aja semuanya lancar, ya, Nak. Ayah dan I
Esok paginya, di kantor, suasana terasa tegang dan penuh kecemasan. Bintara, dengan wajah yang letih dan penuh kekhawatiran, memanggil Sebastian ke ruang kerjanya. Langkah Sebastian terdengar berat saat ia mendekati pintu, mencoba mengendalikan gejolak emosi di dalam dirinya. Ketika pintu tertutup di belakangnya, Bintara langsung memulai pembicaraan tanpa basa-basi."Sebastian, aku butuh bantuanmu," kata Bintara dengan nada serius. "Aruna menghilang. Aku udah coba menghubunginya berkali-kali, tapi gak ada jawaban. Kamu satu-satunya orang yang tahu tentang pernikahan rahasiaku dengan Aruna. Kamu harus membantuku menemukannya."Sebastian merasakan hatinya berdetak lebih kencang. Dia tahu betapa pentingnya Aruna bagi Bintara, namun ia juga memahami bahwa menyelamatkan Aruna dari situasi ini adalah prioritasnya. "Tentu saja, Bintara," jawabnya dengan nada penuh empati, meskipun di dalam hatinya dia merasa bimbang.Bintara menatap Sebastian dengan tatapan penuh
Serena mendekati Bintara dengan tatapan penuh gairah. Tangannya yang halus mendorong Bintara ke kursi yang nyaman, tanpa merasa terbebani Serena melepas cd-nya dan duduk di pangkuan Bintara. “Eugh!” rahang Bintara menegang, mendongak ketika sesuatu yang tegang itu menerobos ke dalam kelembaban di dalam sana.Serena meraih leher Bintara, menariknya semakin dekat hingga napas mereka nyaris bersatu. Tanpa ragu, Serena mencumbui Bintara di kantor, suasana di sekitar mereka seakan memudar, hanya ada mereka berdua dalam momen yang begitu intens.Namun, di balik cumbuan Serena yang memabukkan, hati Bintara tetap teringat pada Aruna. Sosok Aruna yang lemah lembut dan penuh kasih sayang terus menghantui pikirannya. Meski tubuhnya merespons rangsangan dari Serena, batinnya bergejolak, memanggil nama Aruna dengan penuh kerinduan dan rasa bersalah.Bintara mencoba menutup matanya, berusaha melupakan sejenak semua masalah yang membebani pikirannya. Tapi, baya
Di siang hari yang tak terlalu panas, semilir angin berhembus membelai ranting-ranting pohon hingga bergesekan satu sama lain, membuat suasana yang asri tampak meneduhkan hati.Sang bayi pun tertidur lelap setelah Aruna memberikan ASI-nya. Sambil tersenyum ia menidurkannya di ranjang bayi yang Sebastian belikan. Aruna tersenyum meninggalkan kamar, dan ke dapur membantu ibu menyiapkan cemilan untuk sekeluarga sambil bersantai sebelum makan siang.Ayah, Ibu dan Aruna berkumpul di ruang TV, menonton acara siang favorit mereka ditemani teh manis dan biskuit gurih kesukaan Ayah.Di tengah suasana hangat itu, ponsel Aruna bergetar, menandakan panggilan masuk datang, tertera nama Sebastian di layar membuat Aruna menyunggingkan senyuman sebelum menjawabnya.“Halo Sebastian?”“Halo Aruna, aku lagi di perjalanan mau ke rumahmu, tadi aku jalan-jalan sekitar kampung dan beli banyak makanan, kita makan sama-sama, ya!” Suara Sebastian begitu riangnya.
Sore itu, langit mulai menggelap dan hujan turun deras seolah ikut menangis akan keadaan Aruna. Para dokter dan perawat telah bergegas menangani Brahma yang sudah tak sadarkan diri. Aruna, Sebastian, dan Lasmi hanya bisa menunggu di luar dengan hati yang berdebar-debar, berharap Brahma akan baik-baik saja.Waktu berlalu begitu lambat. Setiap detik terasa seperti selamanya. Aruna terus menggenggam tangan ibunya, mencoba memberikan kekuatan, meskipun dirinya sendiri merasa sangat rapuh. Sebastian berdiri di samping mereka, memberikan dukungan moril yang tak terucapkan.Setelah beberapa jam yang mencekam, seorang dokter keluar dari ruang medis dengan wajah yang tenang namun serius. "Pak Brahma mengalami serangan jantung yang cukup parah, tapi kami berhasil menstabilkan kondisinya, beruntung ia cepat dibawa kemari," katanya. "Dia perlu banyak istirahat dan harus menjalani perawatan intensif."Aruna menghela napas lega, air mata bahagia bercampur rasa syukur me