Serena duduk di kursi dekat jendela, menatap Bintara dengan ekspresi tenang namun tegas. “Masalah sultan Arab itu bisa sangat merusak reputasi hotel kita,” katanya dengan suara datar namun penuh arti. “Kondisi hotel akan memburuk jika kita tidak segera menangani ini.”
Bintara mengangguk, merasa beban di pundaknya semakin berat. “Aku tahu, Serena. Tapi kita butuh solusi cepat. Kita harus bertindak sekarang.”Serena menggeleng pelan, matanya tajam menatap Bintara. “Kita tidak bisa bertindak gegabah, Bintara. Ini masalah besar yang melibatkan banyak pihak. Aku tidak bisa membantu begitu saja.”Bintara mendesah, rasa frustrasi jelas terpancar di wajahnya. “Jadi, apa yang kau sarankan? Apa kita hanya diam saja dan membiarkan semuanya hancur?”Serena tersenyum tipis, namun tatapannya tetap dingin. “Kita harus merundingkan ini dengan seluruh pemegang saham. Setiap keputusan harus melalui persetujuan mereka.”Bintara mengerutkan kening, tangannyaAruna duduk di teras rumah orang tuanya yang sederhana, jauh di kampung halaman yang tenang. Angin lembut membelai wajahnya, seolah mencoba menghapus jejak-jejak air mata yang pernah tumpah. Di pangkuannya, bayinya tertidur dengan damai, tanpa tahu betapa rumitnya dunia orang dewasa di sekitarnya.Ibu Aruna datang dengan senyum hangat, membawa segelas teh hangat untuknya. "Gimana kabar Bintara, Nak? Kenapa dia gak ikut pulang?" tanya ibunya dengan nada penuh perhatian.Aruna menelan ludah, berusaha menahan gelombang emosi yang hampir meledak. "Bintara lagu sangat sibuk, Bu. Hotelnya baru aja menerima tamu penting, jadi dia gak bisa meninggalkan pekerjaannya. Aku pulang ke sini supaya bayiku bisa mendapatkan perawatan lebih baik," jawab Aruna, berusaha terdengar meyakinkan.Ayahnya yang duduk di kursi sebelah hanya mengangguk-angguk, memahami betapa sulitnya menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga. "Semoga aja semuanya lancar, ya, Nak. Ayah dan I
Esok paginya, di kantor, suasana terasa tegang dan penuh kecemasan. Bintara, dengan wajah yang letih dan penuh kekhawatiran, memanggil Sebastian ke ruang kerjanya. Langkah Sebastian terdengar berat saat ia mendekati pintu, mencoba mengendalikan gejolak emosi di dalam dirinya. Ketika pintu tertutup di belakangnya, Bintara langsung memulai pembicaraan tanpa basa-basi."Sebastian, aku butuh bantuanmu," kata Bintara dengan nada serius. "Aruna menghilang. Aku udah coba menghubunginya berkali-kali, tapi gak ada jawaban. Kamu satu-satunya orang yang tahu tentang pernikahan rahasiaku dengan Aruna. Kamu harus membantuku menemukannya."Sebastian merasakan hatinya berdetak lebih kencang. Dia tahu betapa pentingnya Aruna bagi Bintara, namun ia juga memahami bahwa menyelamatkan Aruna dari situasi ini adalah prioritasnya. "Tentu saja, Bintara," jawabnya dengan nada penuh empati, meskipun di dalam hatinya dia merasa bimbang.Bintara menatap Sebastian dengan tatapan penuh
Serena mendekati Bintara dengan tatapan penuh gairah. Tangannya yang halus mendorong Bintara ke kursi yang nyaman, tanpa merasa terbebani Serena melepas cd-nya dan duduk di pangkuan Bintara. “Eugh!” rahang Bintara menegang, mendongak ketika sesuatu yang tegang itu menerobos ke dalam kelembaban di dalam sana.Serena meraih leher Bintara, menariknya semakin dekat hingga napas mereka nyaris bersatu. Tanpa ragu, Serena mencumbui Bintara di kantor, suasana di sekitar mereka seakan memudar, hanya ada mereka berdua dalam momen yang begitu intens.Namun, di balik cumbuan Serena yang memabukkan, hati Bintara tetap teringat pada Aruna. Sosok Aruna yang lemah lembut dan penuh kasih sayang terus menghantui pikirannya. Meski tubuhnya merespons rangsangan dari Serena, batinnya bergejolak, memanggil nama Aruna dengan penuh kerinduan dan rasa bersalah.Bintara mencoba menutup matanya, berusaha melupakan sejenak semua masalah yang membebani pikirannya. Tapi, baya
Di siang hari yang tak terlalu panas, semilir angin berhembus membelai ranting-ranting pohon hingga bergesekan satu sama lain, membuat suasana yang asri tampak meneduhkan hati.Sang bayi pun tertidur lelap setelah Aruna memberikan ASI-nya. Sambil tersenyum ia menidurkannya di ranjang bayi yang Sebastian belikan. Aruna tersenyum meninggalkan kamar, dan ke dapur membantu ibu menyiapkan cemilan untuk sekeluarga sambil bersantai sebelum makan siang.Ayah, Ibu dan Aruna berkumpul di ruang TV, menonton acara siang favorit mereka ditemani teh manis dan biskuit gurih kesukaan Ayah.Di tengah suasana hangat itu, ponsel Aruna bergetar, menandakan panggilan masuk datang, tertera nama Sebastian di layar membuat Aruna menyunggingkan senyuman sebelum menjawabnya.“Halo Sebastian?”“Halo Aruna, aku lagi di perjalanan mau ke rumahmu, tadi aku jalan-jalan sekitar kampung dan beli banyak makanan, kita makan sama-sama, ya!” Suara Sebastian begitu riangnya.
Sore itu, langit mulai menggelap dan hujan turun deras seolah ikut menangis akan keadaan Aruna. Para dokter dan perawat telah bergegas menangani Brahma yang sudah tak sadarkan diri. Aruna, Sebastian, dan Lasmi hanya bisa menunggu di luar dengan hati yang berdebar-debar, berharap Brahma akan baik-baik saja.Waktu berlalu begitu lambat. Setiap detik terasa seperti selamanya. Aruna terus menggenggam tangan ibunya, mencoba memberikan kekuatan, meskipun dirinya sendiri merasa sangat rapuh. Sebastian berdiri di samping mereka, memberikan dukungan moril yang tak terucapkan.Setelah beberapa jam yang mencekam, seorang dokter keluar dari ruang medis dengan wajah yang tenang namun serius. "Pak Brahma mengalami serangan jantung yang cukup parah, tapi kami berhasil menstabilkan kondisinya, beruntung ia cepat dibawa kemari," katanya. "Dia perlu banyak istirahat dan harus menjalani perawatan intensif."Aruna menghela napas lega, air mata bahagia bercampur rasa syukur me
Di tengah malam itu, Serena duduk di ruang kerjanya dalam penthouse yang megah namun sunyi. Lampu redup menerangi meja kayu besar di depannya. Tangannya dengan rapi menyusun dokumen, namun pikirannya jauh melayang, menunggu balasan pesan dari Sebastian. Ketika ponselnya bergetar, ia segera mengambilnya.Pesan dari Sebastian muncul di layar, mengandung ketegasan dan amarah yang terpendam.[Kau tidak berhak mengaturku lagi, kesepakatan kita sudah berakhir ketika Bintara dan Aruna berpisah. Apa lagi maumu?]Serena membaca pesan itu berulang kali, alisnya sedikit terangkat, lalu sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Dia bangkit dari kursinya, berjalan ke jendela besar yang menghadap pemandangan kota yang berkilauan di bawahnya. Di balik pandangan tenangnya, hatinya berkecamuk."Sebastian," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan kepada dirinya sendiri, "kau belum mengerti permainan ini. Kau berpikir bisa lepas begitu saja?"Serena meny
Keesokan paginya, Bintara dan Serena berangkat ke kantor polisi dengan perasaan yang campur aduk. Begitu tiba, mereka langsung diarahkan ke ruang interogasi di mana Rocky sudah duduk, tangannya terikat di atas meja, menunggu dengan wajah tenang yang anehnya mengintimidasi. Rocky tampak sama sekali tidak terganggu oleh situasi yang dihadapinya. Sebaliknya, ia tampak menikmati perhatian yang tertuju padanya, tersenyum tipis seolah tahu sesuatu yang orang lain tidak tahu. Serena dan Bintara mengambil tempat di belakang kaca satu arah, menyaksikan dengan cemas.Interogator mulai menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang serius dan tajam. "Rocky, kamu tahu bahwa kamu bisa dijatuhi hukuman berat atas rencana pembunuhan yang disengaja, terutama jika Sultan itu mati. Apa yang membuatmu melakukan ini?"Rocky menatap lurus ke arah kaca satu arah, seolah bisa melihat langsung ke mata Serena dan Bintara. Dengan senyum meremehkan, ia menjawab, "Aku hanya me
Saat Sebastian kembali ke kota dan mulai bekerja lagi di hotel, suasana terasa tegang. Setiap kali Bintara melihat Sebastian, ada pertanyaan yang tak terucapkan di matanya, sebuah kecemasan yang menggantung di udara seperti kabut tebal.Di kantor, Bintara berusaha memfokuskan diri pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus berputar-putar mencari jawaban tentang keberadaan Aruna. Dia sering terdiam, memandangi layar komputernya tanpa benar-benar melihat apa yang ada di sana. Suatu pagi, saat keduanya sedang memeriksa laporan keuangan, Bintara tak tahan lagi. "Sebastian," panggilnya dengan suara yang terdengar lebih tegang dari biasanya. "Apa kamu bener-bener gak tahu tentang gimana kabar Aruna?"Sebastian terdiam sejenak, mengatur napasnya sebelum menjawab. "Sory, Bin aku belum mendengar apa pun dari dia. aku juga udah cari ke tempat yang mungkin dia kunjungi, tapi gak ada."Bintara mengangguk, tapi matanya tetap memandang Sebastian dengan tajam,