Di tengah malam itu, Serena duduk di ruang kerjanya dalam penthouse yang megah namun sunyi. Lampu redup menerangi meja kayu besar di depannya. Tangannya dengan rapi menyusun dokumen, namun pikirannya jauh melayang, menunggu balasan pesan dari Sebastian. Ketika ponselnya bergetar, ia segera mengambilnya.
Pesan dari Sebastian muncul di layar, mengandung ketegasan dan amarah yang terpendam.[Kau tidak berhak mengaturku lagi, kesepakatan kita sudah berakhir ketika Bintara dan Aruna berpisah. Apa lagi maumu?]Serena membaca pesan itu berulang kali, alisnya sedikit terangkat, lalu sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Dia bangkit dari kursinya, berjalan ke jendela besar yang menghadap pemandangan kota yang berkilauan di bawahnya. Di balik pandangan tenangnya, hatinya berkecamuk."Sebastian," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan kepada dirinya sendiri, "kau belum mengerti permainan ini. Kau berpikir bisa lepas begitu saja?"Serena menyKeesokan paginya, Bintara dan Serena berangkat ke kantor polisi dengan perasaan yang campur aduk. Begitu tiba, mereka langsung diarahkan ke ruang interogasi di mana Rocky sudah duduk, tangannya terikat di atas meja, menunggu dengan wajah tenang yang anehnya mengintimidasi. Rocky tampak sama sekali tidak terganggu oleh situasi yang dihadapinya. Sebaliknya, ia tampak menikmati perhatian yang tertuju padanya, tersenyum tipis seolah tahu sesuatu yang orang lain tidak tahu. Serena dan Bintara mengambil tempat di belakang kaca satu arah, menyaksikan dengan cemas.Interogator mulai menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang serius dan tajam. "Rocky, kamu tahu bahwa kamu bisa dijatuhi hukuman berat atas rencana pembunuhan yang disengaja, terutama jika Sultan itu mati. Apa yang membuatmu melakukan ini?"Rocky menatap lurus ke arah kaca satu arah, seolah bisa melihat langsung ke mata Serena dan Bintara. Dengan senyum meremehkan, ia menjawab, "Aku hanya me
Saat Sebastian kembali ke kota dan mulai bekerja lagi di hotel, suasana terasa tegang. Setiap kali Bintara melihat Sebastian, ada pertanyaan yang tak terucapkan di matanya, sebuah kecemasan yang menggantung di udara seperti kabut tebal.Di kantor, Bintara berusaha memfokuskan diri pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus berputar-putar mencari jawaban tentang keberadaan Aruna. Dia sering terdiam, memandangi layar komputernya tanpa benar-benar melihat apa yang ada di sana. Suatu pagi, saat keduanya sedang memeriksa laporan keuangan, Bintara tak tahan lagi. "Sebastian," panggilnya dengan suara yang terdengar lebih tegang dari biasanya. "Apa kamu bener-bener gak tahu tentang gimana kabar Aruna?"Sebastian terdiam sejenak, mengatur napasnya sebelum menjawab. "Sory, Bin aku belum mendengar apa pun dari dia. aku juga udah cari ke tempat yang mungkin dia kunjungi, tapi gak ada."Bintara mengangguk, tapi matanya tetap memandang Sebastian dengan tajam,
Karena hari sudah larut, Bintara pulang ke penthouse-nya. Ketika hendak masuk kamar, langkahnya terhenti oleh suara Serena yang sedang berbicara di telepon. Nama Sebastian terdengar jelas dari bibir Serena, membuat Bintara penasaran. Ia mendekatkan telinganya ke pintu dan mendengar Serena marah pada Sebastian. "Sebastian, kamu mencoba berkhianat dari kesepakatan kita! Jangan lupa, tujuan kita sama! Katakan di mana Aruna sekarang?" kata Serena dengan suara tajam. Bintara merasakan darahnya mendidih. Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu dengan keras, meneriaki nama Serena. "Serena! Apa yang kau lakukan?" Serena terkejut, tetapi dengan cepat memulihkan diri. "Apa maksudmu, Bintara? Mengapa kau meneriaki aku?" "Ternyata, di belakangku, kau dan Sebastian merencanakan hal buruk terhadap Aruna!" Suara Bintara bergetar dengan kemarahan yang membara. Namun, Serena tidak menunjukkan rasa takut. Ia malah berbalik mar
Saat Aruna kembali dari dalam rumah dengan Rohana dalam gendongannya, ia kembali dalam rutinitasnya membungkus sayuran yang hendak di beli oleh Hasan, namun Hasan memperhatikan bayi kecil itu yang terus menangis. Tawa dan senyum Hasan seketika memudar saat matanya menangkap warna kulit Rohana yang menguning, tanda khas jaundice (penyakit kuning). Kekhawatiran tergambar jelas di wajah Hasan yang biasanya tenang dan ceria. "Aruna, kau harus segera membawa Rohana ke klinik," kata Hasan dengan nada tegas namun lembut, berusaha menenangkan Aruna yang mulai panik. "Kulitnya yang menguning itu bukan tanda baik. Dia mungkin butuh penanganan segera." Aruna tampak bingung dan cemas, matanya berkaca-kaca saat menatap Hasan. "Apakah itu sangat serius, Hasan? Apa yang terjadi padanya? Bukannya ini biasa pada bayi baru lahir?" Hasan mendekati Aruna dan menyentuh lengan wanita itu dengan lembut, berusaha memberikan dukungan. "Aku seorang dokter, dan dari
Di kantornya menjelang siang, Bintara dengan terkejutnya membaca pesan dari Aruna. Matanya terbelalak dan jantungnya berdegup kencang. Pesan itu adalah cahaya di tengah kegelapan—Aruna, wanita yang selama ini dia cari, menghubunginya walaupun dengan nomor baru. Tapi kebahagiaan itu segera bercampur dengan kegelisahan. Berita dari Aruna membuatnya terkejut dan cemas. Dengan tangan gemetar, Bintara segera menekan nomor Aruna dan memanggilnya. Suara berdering di telinganya, dan setiap detik terasa seperti seabad. Akhirnya, suara Aruna yang lembut namun terdengar putus asa menjawab panggilannya. "Aruna, Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan anak kita?" tanyanya dengan suara bergetar, campuran antara kerinduan dan kekhawatiran menguasai dirinya. "Bintara, Rohana butuh transfusi darah segera. Dia sakit parah dan hanya kau yang bisa membantunya. Tolong, datanglah secepatnya ke rumah sakit," jawab Aruna dengan suara terisak. Rasa rindu dan kekhawati
Serena duduk di ruang kerjanya yang mewah, jemarinya menari di atas layar ponsel. Wajahnya tenang, tapi tatapannya penuh perhitungan. Ia tahu bahwa Bintara tidak akan mudah dihentikan hanya dengan ancaman kata-kata. Dia butuh tindakan yang lebih tegas. Mengangkat telepon, Serena menghubungi orang kepercayaannya, seorang pria dengan jaringan yang luas dan kemampuan melacak yang tak tertandingi."Philip," ucap Serena dengan nada tegas. "Aku butuh kau menahan Bintara. Dia sedang dalam perjalanan untuk menemui Aruna dan bayinya."Philip, seorang pria berwajah keras dan penuh wibawa, mendengarkan dengan serius di ujung telepon. "Dimana dia sekarang?" tanyanya singkat.Serena tersenyum tipis. "Aku sudah menyadap ponselnya. Lokasinya bisa kau lacak dengan mudah. Gunakan semua anak buahmu, jangan biarkan dia sampai ke tujuan."Philip mengangguk meskipun Serena tidak bisa melihatnya. "Akan kuurus," jawabnya sebelum menutup telepon. Serena menatap
Setelah mendapatkan donor darah dari Sebastian, kondisi bayi Aruna, Rohana, berangsur-angsur membaik. Warna kulit kekuningan Rohana mulai memudar, dan Aruna bisa merasakan harapan kembali menyala dalam hatinya. Namun, rasa kecewa terhadap Bintara yang tak kunjung datang masih menghantui pikirannya. Sebastian semakin terlibat dalam kehidupan Aruna dan bayinya. Hampir di Setiap weekend, dia datang membawa makanan dan kebutuhan bayi. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di ruang tamu sederhana Aruna, berbicara tentang berbagai hal sambil menggendong Rohana. Suatu sore, setelah memastikan Rohana tertidur lelap di buaian, Sebastian duduk di sebelah Aruna di sofa yang kecil namun nyaman. Mereka menikmati keheningan sesaat, hanya terdengar suara napas lembut Rohana. "Sebastian, terima kasih banyak," Aruna akhirnya berkata, suaranya penuh keikhlasan. "Aku gak tahu apa yang akan terjadi tanpa bantuanmu. Kamu sudah seperti... seperti penyelamat bagi kami."
Pagi itu, matahari baru saja terbit, menciptakan cahaya keemasan yang lembut menyinari desa kecil tempat Aruna tinggal. Udara pagi yang sejuk dan segar berbaur dengan aroma dedaunan basah setelah hujan semalam, menciptakan suasana yang asri dan tenang. Di depan rumah sewaannya, Aruna telah membuka warung sayurnya, menata berbagai sayuran segar dengan teliti.Tak lama kemudian, ibu-ibu dari lingkungan sekitar mulai berdatangan. Mereka tampak ceria dan ramah, namun di balik senyum mereka, rasa ingin tahu dan keinginan untuk menggali informasi terlihat jelas."Selamat pagi, Aruna," sapa seorang ibu dengan senyum lebar. "Sayur-sayurnya segar sekali, ya."Aruna membalas dengan senyum hangat. "Iya, Bu. Baru datang dari pasar pagi ini."Ibu-ibu itu mulai memilih sayuran, namun tak butuh waktu lama sebelum basa-basi mereka berubah menjadi pertanyaan yang lebih pribadi."Ngomong-ngomong, Aruna," seorang ibu lain menyelipkan pertanyaan sambil berpu