Karena hari sudah larut, Bintara pulang ke penthouse-nya. Ketika hendak masuk kamar, langkahnya terhenti oleh suara Serena yang sedang berbicara di telepon. Nama Sebastian terdengar jelas dari bibir Serena, membuat Bintara penasaran. Ia mendekatkan telinganya ke pintu dan mendengar Serena marah pada Sebastian.
"Sebastian, kamu mencoba berkhianat dari kesepakatan kita! Jangan lupa, tujuan kita sama! Katakan di mana Aruna sekarang?" kata Serena dengan suara tajam. Bintara merasakan darahnya mendidih. Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu dengan keras, meneriaki nama Serena. "Serena! Apa yang kau lakukan?" Serena terkejut, tetapi dengan cepat memulihkan diri. "Apa maksudmu, Bintara? Mengapa kau meneriaki aku?" "Ternyata, di belakangku, kau dan Sebastian merencanakan hal buruk terhadap Aruna!" Suara Bintara bergetar dengan kemarahan yang membara. Namun, Serena tidak menunjukkan rasa takut. Ia malah berbalik marSaat Aruna kembali dari dalam rumah dengan Rohana dalam gendongannya, ia kembali dalam rutinitasnya membungkus sayuran yang hendak di beli oleh Hasan, namun Hasan memperhatikan bayi kecil itu yang terus menangis. Tawa dan senyum Hasan seketika memudar saat matanya menangkap warna kulit Rohana yang menguning, tanda khas jaundice (penyakit kuning). Kekhawatiran tergambar jelas di wajah Hasan yang biasanya tenang dan ceria. "Aruna, kau harus segera membawa Rohana ke klinik," kata Hasan dengan nada tegas namun lembut, berusaha menenangkan Aruna yang mulai panik. "Kulitnya yang menguning itu bukan tanda baik. Dia mungkin butuh penanganan segera." Aruna tampak bingung dan cemas, matanya berkaca-kaca saat menatap Hasan. "Apakah itu sangat serius, Hasan? Apa yang terjadi padanya? Bukannya ini biasa pada bayi baru lahir?" Hasan mendekati Aruna dan menyentuh lengan wanita itu dengan lembut, berusaha memberikan dukungan. "Aku seorang dokter, dan dari
Di kantornya menjelang siang, Bintara dengan terkejutnya membaca pesan dari Aruna. Matanya terbelalak dan jantungnya berdegup kencang. Pesan itu adalah cahaya di tengah kegelapan—Aruna, wanita yang selama ini dia cari, menghubunginya walaupun dengan nomor baru. Tapi kebahagiaan itu segera bercampur dengan kegelisahan. Berita dari Aruna membuatnya terkejut dan cemas. Dengan tangan gemetar, Bintara segera menekan nomor Aruna dan memanggilnya. Suara berdering di telinganya, dan setiap detik terasa seperti seabad. Akhirnya, suara Aruna yang lembut namun terdengar putus asa menjawab panggilannya. "Aruna, Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan anak kita?" tanyanya dengan suara bergetar, campuran antara kerinduan dan kekhawatiran menguasai dirinya. "Bintara, Rohana butuh transfusi darah segera. Dia sakit parah dan hanya kau yang bisa membantunya. Tolong, datanglah secepatnya ke rumah sakit," jawab Aruna dengan suara terisak. Rasa rindu dan kekhawati
Serena duduk di ruang kerjanya yang mewah, jemarinya menari di atas layar ponsel. Wajahnya tenang, tapi tatapannya penuh perhitungan. Ia tahu bahwa Bintara tidak akan mudah dihentikan hanya dengan ancaman kata-kata. Dia butuh tindakan yang lebih tegas. Mengangkat telepon, Serena menghubungi orang kepercayaannya, seorang pria dengan jaringan yang luas dan kemampuan melacak yang tak tertandingi."Philip," ucap Serena dengan nada tegas. "Aku butuh kau menahan Bintara. Dia sedang dalam perjalanan untuk menemui Aruna dan bayinya."Philip, seorang pria berwajah keras dan penuh wibawa, mendengarkan dengan serius di ujung telepon. "Dimana dia sekarang?" tanyanya singkat.Serena tersenyum tipis. "Aku sudah menyadap ponselnya. Lokasinya bisa kau lacak dengan mudah. Gunakan semua anak buahmu, jangan biarkan dia sampai ke tujuan."Philip mengangguk meskipun Serena tidak bisa melihatnya. "Akan kuurus," jawabnya sebelum menutup telepon. Serena menatap
Setelah mendapatkan donor darah dari Sebastian, kondisi bayi Aruna, Rohana, berangsur-angsur membaik. Warna kulit kekuningan Rohana mulai memudar, dan Aruna bisa merasakan harapan kembali menyala dalam hatinya. Namun, rasa kecewa terhadap Bintara yang tak kunjung datang masih menghantui pikirannya. Sebastian semakin terlibat dalam kehidupan Aruna dan bayinya. Hampir di Setiap weekend, dia datang membawa makanan dan kebutuhan bayi. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di ruang tamu sederhana Aruna, berbicara tentang berbagai hal sambil menggendong Rohana. Suatu sore, setelah memastikan Rohana tertidur lelap di buaian, Sebastian duduk di sebelah Aruna di sofa yang kecil namun nyaman. Mereka menikmati keheningan sesaat, hanya terdengar suara napas lembut Rohana. "Sebastian, terima kasih banyak," Aruna akhirnya berkata, suaranya penuh keikhlasan. "Aku gak tahu apa yang akan terjadi tanpa bantuanmu. Kamu sudah seperti... seperti penyelamat bagi kami."
Pagi itu, matahari baru saja terbit, menciptakan cahaya keemasan yang lembut menyinari desa kecil tempat Aruna tinggal. Udara pagi yang sejuk dan segar berbaur dengan aroma dedaunan basah setelah hujan semalam, menciptakan suasana yang asri dan tenang. Di depan rumah sewaannya, Aruna telah membuka warung sayurnya, menata berbagai sayuran segar dengan teliti.Tak lama kemudian, ibu-ibu dari lingkungan sekitar mulai berdatangan. Mereka tampak ceria dan ramah, namun di balik senyum mereka, rasa ingin tahu dan keinginan untuk menggali informasi terlihat jelas."Selamat pagi, Aruna," sapa seorang ibu dengan senyum lebar. "Sayur-sayurnya segar sekali, ya."Aruna membalas dengan senyum hangat. "Iya, Bu. Baru datang dari pasar pagi ini."Ibu-ibu itu mulai memilih sayuran, namun tak butuh waktu lama sebelum basa-basi mereka berubah menjadi pertanyaan yang lebih pribadi."Ngomong-ngomong, Aruna," seorang ibu lain menyelipkan pertanyaan sambil berpu
Sambil menggendong Rohana yang perlahan tertidur, Aruna merasakan getaran di sakunya. Dia mengeluarkan ponselnya dan melihat ada pesan dari Hasan. "Aruna, bagaimana kabarmu setelah ibu-ibu gosip itu mengganggumu? Jangan terlalu diambil hati. Di sini, memang ibu-ibu doyan bergosip. Mereka hanya iri melihat perhatian yang kamu dapatkan," tulis Hasan.Aruna membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Dia merasa sedikit lega karena ada yang memperhatikannya dan mengerti situasinya. Namun, rasa cemas dan lelah tetap menyelimuti hatinya. Dia membalas pesan Hasan dengan jemari yang gemetar."Terima kasih, Hasan. Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah. Rohana juga mulai pulih berkat bantuanmu. Terima kasih banyak."Hasan membalas pesan dengan cepat. "Sama-sama, Aruna. Aku akan selalu ada untuk membantumu. Jangan ragu untuk menghubungiku jika kamu butuh sesuatu."Aruna tersenyum tipis, merasakan kehangatan dari perhatian Hasan. Namun, di dala
Malam itu, Rohana tiba-tiba demam. Aruna merasakan tubuh bayinya yang panas dan gelisah, membuat hatinya cemas. Tanpa berpikir panjang, dia segera menelpon Hasan untuk memeriksa Rohana. Hasan, yang selalu siap membantu, segera menuju rumah Aruna.Ketika Hasan tiba, dia segera memeriksa Rohana dengan teliti. "Demamnya tinggi, tapi jangan khawatir, kita bisa mengatasinya," kata Hasan menenangkan. Mereka lalu duduk di teras rumah, di bawah cahaya redup lampu malam, sementara Hasan memberikan instruksi kepada Aruna tentang cara menurunkan demam Rohana.Waktu berlalu, dan Aruna merasa sedikit lega dengan kehadiran Hasan. Dia menyandarkan dirinya pada sandaran kursi, memeluk Rohana yang mulai tenang di pangkuannya. Hasan duduk di sebelahnya, mengawasi kondisi Rohana dengan seksama.“Terima kasih, Hasan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpamu,” kata Aruna dengan suara bergetar.Hasan menatapnya dengan hangat, "Aku selalu ada untukmu, A
Lalu Bintara berlutut di hadapan Aruna, air matanya menggenang, penuh dengan penyesalan dan harapan yang samar. Ia mendongak, menatap Aruna dengan mata yang berkaca-kaca. Hanya satu kata yang terucap, begitu lirih, bercampur dengan suara tangis yang ia tahan, "Maaf."Aruna terdiam, air matanya masih mengalir, tetapi kini ia terpaku melihat Bintara dalam kondisi seperti itu. Hati Aruna terasa berkecamuk. Selama ini ia menahan segala rasa sakit dan ketidakpastian, tetapi melihat Bintara yang terlihat begitu rapuh dan penuh penyesalan, hatinya mulai luluh. Namun, rasa sakit dan keraguan masih menghantui pikirannya."Maaf?" Aruna mengulangi kata itu, suaranya bergetar. "Maaf untuk apa, Bintara? Maaf karena telah membuatku jatuh cinta padamu? Maaf karena harus menjalani hidup yang penuh dengan rasa takut dan cemas? Atau maaf karena tidak pernah benar-benar memilih aku?"Bintara menggeleng, air matanya jatuh satu per satu. "Maaf untuk semuanya, Aruna. Maaf karen