Pagi itu, matahari baru saja terbit, menciptakan cahaya keemasan yang lembut menyinari desa kecil tempat Aruna tinggal. Udara pagi yang sejuk dan segar berbaur dengan aroma dedaunan basah setelah hujan semalam, menciptakan suasana yang asri dan tenang. Di depan rumah sewaannya, Aruna telah membuka warung sayurnya, menata berbagai sayuran segar dengan teliti.
Tak lama kemudian, ibu-ibu dari lingkungan sekitar mulai berdatangan. Mereka tampak ceria dan ramah, namun di balik senyum mereka, rasa ingin tahu dan keinginan untuk menggali informasi terlihat jelas."Selamat pagi, Aruna," sapa seorang ibu dengan senyum lebar. "Sayur-sayurnya segar sekali, ya."Aruna membalas dengan senyum hangat. "Iya, Bu. Baru datang dari pasar pagi ini."Ibu-ibu itu mulai memilih sayuran, namun tak butuh waktu lama sebelum basa-basi mereka berubah menjadi pertanyaan yang lebih pribadi."Ngomong-ngomong, Aruna," seorang ibu lain menyelipkan pertanyaan sambil berpuSambil menggendong Rohana yang perlahan tertidur, Aruna merasakan getaran di sakunya. Dia mengeluarkan ponselnya dan melihat ada pesan dari Hasan. "Aruna, bagaimana kabarmu setelah ibu-ibu gosip itu mengganggumu? Jangan terlalu diambil hati. Di sini, memang ibu-ibu doyan bergosip. Mereka hanya iri melihat perhatian yang kamu dapatkan," tulis Hasan.Aruna membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Dia merasa sedikit lega karena ada yang memperhatikannya dan mengerti situasinya. Namun, rasa cemas dan lelah tetap menyelimuti hatinya. Dia membalas pesan Hasan dengan jemari yang gemetar."Terima kasih, Hasan. Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah. Rohana juga mulai pulih berkat bantuanmu. Terima kasih banyak."Hasan membalas pesan dengan cepat. "Sama-sama, Aruna. Aku akan selalu ada untuk membantumu. Jangan ragu untuk menghubungiku jika kamu butuh sesuatu."Aruna tersenyum tipis, merasakan kehangatan dari perhatian Hasan. Namun, di dala
Malam itu, Rohana tiba-tiba demam. Aruna merasakan tubuh bayinya yang panas dan gelisah, membuat hatinya cemas. Tanpa berpikir panjang, dia segera menelpon Hasan untuk memeriksa Rohana. Hasan, yang selalu siap membantu, segera menuju rumah Aruna.Ketika Hasan tiba, dia segera memeriksa Rohana dengan teliti. "Demamnya tinggi, tapi jangan khawatir, kita bisa mengatasinya," kata Hasan menenangkan. Mereka lalu duduk di teras rumah, di bawah cahaya redup lampu malam, sementara Hasan memberikan instruksi kepada Aruna tentang cara menurunkan demam Rohana.Waktu berlalu, dan Aruna merasa sedikit lega dengan kehadiran Hasan. Dia menyandarkan dirinya pada sandaran kursi, memeluk Rohana yang mulai tenang di pangkuannya. Hasan duduk di sebelahnya, mengawasi kondisi Rohana dengan seksama.“Terima kasih, Hasan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpamu,” kata Aruna dengan suara bergetar.Hasan menatapnya dengan hangat, "Aku selalu ada untukmu, A
Lalu Bintara berlutut di hadapan Aruna, air matanya menggenang, penuh dengan penyesalan dan harapan yang samar. Ia mendongak, menatap Aruna dengan mata yang berkaca-kaca. Hanya satu kata yang terucap, begitu lirih, bercampur dengan suara tangis yang ia tahan, "Maaf."Aruna terdiam, air matanya masih mengalir, tetapi kini ia terpaku melihat Bintara dalam kondisi seperti itu. Hati Aruna terasa berkecamuk. Selama ini ia menahan segala rasa sakit dan ketidakpastian, tetapi melihat Bintara yang terlihat begitu rapuh dan penuh penyesalan, hatinya mulai luluh. Namun, rasa sakit dan keraguan masih menghantui pikirannya."Maaf?" Aruna mengulangi kata itu, suaranya bergetar. "Maaf untuk apa, Bintara? Maaf karena telah membuatku jatuh cinta padamu? Maaf karena harus menjalani hidup yang penuh dengan rasa takut dan cemas? Atau maaf karena tidak pernah benar-benar memilih aku?"Bintara menggeleng, air matanya jatuh satu per satu. "Maaf untuk semuanya, Aruna. Maaf karen
Pagi itu matahari muncul dari balik bukit dengan kehangatan yang lembut, menerangi kota kecil dengan sinar yang hangat dan menyegarkan. Burung-burung berkicau riang, mengiringi awan-awan tipis yang bergerak perlahan di langit biru. Udara pagi yang segar membawa aroma tanah yang masih basah setelah embun malam, menciptakan suasana yang tenang dan damai.Di warung sayur Aruna, suasana pagi terasa hidup. Ibu-ibu dari lingkungan sekitar mulai berdatangan, membawa tas belanja dan saling bertukar kabar sambil memilih sayur-sayuran segar yang dipajang rapi. Tawa kecil dan obrolan ringan mengisi udara, menambah hangat suasana pagi.Di teras rumah, Bintara terlihat sedang menggendong Rohana dengan penuh kasih sayang. Matahari pagi yang hangat memantul di wajahnya, menambah kilau di mata penuh cinta saat ia melihat bayinya. Rohana, dengan mata yang besar dan cerah, memandang sekeliling dengan rasa ingin tahu yang polos.Beberapa ibu-ibu yang sedang belanja di warung
Serena mengirim pesan teks pada Bintara dengan nada yang sengaja dibuat seolah ia tidak mengetahui apa-apa. "Pagi, sayang. Kamu di mana? Aku bangun dan gak ada kamu di rumah."Pesan itu dikirim dengan cepat, dan Serena menunggu balasan dari Bintara dengan sabar. Ia tahu betul bagaimana memainkan perannya kali ini. Tidak butuh waktu lama bagi Bintara untuk membalas pesannya. "Pagi, Serena. Maaf, ada urusan pekerjaan di luar kota. Aku harus pergi lebih awal."Membaca pesan itu, Serena tersenyum getir. Di satu sisi, ia marah dan merasa dikhianati, namun di sisi lain, hal ini justru memperkuat tekadnya untuk menjalankan rencananya. Ia mengetik balasan dengan tenang, menyembunyikan kemarahan dan kepedihannya di balik kata-kata manis. "Baiklah, hati-hati di jalan. Aku akan menunggumu pulang."Serena mematikan ponselnya dan meletakkannya di atas meja dengan perasaan campur aduk. Ia menatap keluar jendela, ke arah jalan yang sepi, dan tersenyum sinis.Ras
Pagi itu, suasana di warung sayur Aruna sangat ramai. Sinar matahari menyusup di antara dedaunan pohon yang rimbun, menciptakan bayangan yang bergerak pelan di tanah. Udara pagi yang sejuk membawa semilir angin yang menggugurkan beberapa helai daun kering. Aroma segar sayuran yang baru saja dipanen menyebar di udara, menyatu dengan wangi tanah yang masih basah oleh embun.Ibu-ibu mulai berdatangan, membawa tas belanjaan anyaman mereka. Mereka berceloteh riang, saling menyapa dan berbincang tentang hal-hal sehari-hari. Beberapa anak kecil berlarian di sekitar, tertawa dan bermain dengan riang. Suara ayam berkokok dan burung berkicau melengkapi kehangatan pagi itu, menambah kesan harmonis pada suasana desa yang damai.Aruna, dengan senyum ramahnya, melayani para pelanggan yang datang. Tangannya cekatan memilih dan menimbang sayuran, sambil sesekali menjawab pertanyaan atau sekadar ikut tertawa mendengar lelucon yang dilemparkan oleh ibu-ibu yang berbelanja. Warung sa
Sebagian ibu-ibu diam-diam mengeluarkan ponsel mereka dan mulai merekam momen itu. Kamera-kamera tersembunyi di balik tangan mereka yang tampak seolah memegang dompet atau tas belanja, tetapi sebenarnya merekam setiap detik drama yang tengah berlangsung.Aruna menyadari bahwa semakin banyak mata yang mengawasinya, semakin banyak bukti yang terkumpul. Dia merasakan desakan untuk segera menghentikan situasi ini, tetapi setiap kata yang ingin keluar dari mulutnya terasa tertahan oleh rasa takut dan cemas.Serena, melihat bahwa aksinya telah berhasil menarik perhatian, melanjutkan dengan lebih dramatis. “Aku berharap, Aruna, kita bisa menemukan jalan untuk memperbaiki semua ini. Demi Rohana, demi masa depannya.”Tetesan air mata Serena terus mengalir, mengundang simpati dari para ibu-ibu yang menyaksikan. Mereka berbisik-bisik lebih keras, beberapa di antaranya terlihat menyeka air mata, terharu oleh pemandangan tersebut.“Ini sangat menyedihkan,” bis
Sebastian, meski jantungnya berdetak cepat, mengakui kerja samanya dengan Serena kepada Bintara. "Aku bekerja sama dengan Serena dulu," katanya pelan, namun tegas. "Untuk sama-sama menjauhkanmu dari Aruna."Bintara tersulut emosi mendengar pengakuan itu. Dengan cepat, dia mencengkeram kerah baju Sebastian, wajahnya merah padam. "Kau apa?!" suaranya hampir serak oleh kemarahan.Namun, tatapan Sebastian tetap tajam, seolah tak gentar sedikit pun. "Aku sudah bilang, jika kau lengah, aku yang akan menggantikan posisimu di samping Aruna," ujarnya dingin. "Tapi untuk saat ini, kita harus bekerja sama lepas dari cengkeraman Serena!"Bintara perlahan melepaskan cengkeramannya, meski tangannya masih bergetar oleh amarah. "Kau tak tahu betapa sakitnya ini," gumamnya, sambil menggebrak meja dengan keras, meluapkan kekesalannya.Sebastian hanya menatapnya dengan emosi yang tertahan, mencoba menenangkan diri. "Aku tahu, Bintara. Tapi kita harus berpikir jernih