Pagi itu, suasana di warung sayur Aruna sangat ramai. Sinar matahari menyusup di antara dedaunan pohon yang rimbun, menciptakan bayangan yang bergerak pelan di tanah. Udara pagi yang sejuk membawa semilir angin yang menggugurkan beberapa helai daun kering. Aroma segar sayuran yang baru saja dipanen menyebar di udara, menyatu dengan wangi tanah yang masih basah oleh embun.
Ibu-ibu mulai berdatangan, membawa tas belanjaan anyaman mereka. Mereka berceloteh riang, saling menyapa dan berbincang tentang hal-hal sehari-hari. Beberapa anak kecil berlarian di sekitar, tertawa dan bermain dengan riang. Suara ayam berkokok dan burung berkicau melengkapi kehangatan pagi itu, menambah kesan harmonis pada suasana desa yang damai.Aruna, dengan senyum ramahnya, melayani para pelanggan yang datang. Tangannya cekatan memilih dan menimbang sayuran, sambil sesekali menjawab pertanyaan atau sekadar ikut tertawa mendengar lelucon yang dilemparkan oleh ibu-ibu yang berbelanja. Warung saSebagian ibu-ibu diam-diam mengeluarkan ponsel mereka dan mulai merekam momen itu. Kamera-kamera tersembunyi di balik tangan mereka yang tampak seolah memegang dompet atau tas belanja, tetapi sebenarnya merekam setiap detik drama yang tengah berlangsung.Aruna menyadari bahwa semakin banyak mata yang mengawasinya, semakin banyak bukti yang terkumpul. Dia merasakan desakan untuk segera menghentikan situasi ini, tetapi setiap kata yang ingin keluar dari mulutnya terasa tertahan oleh rasa takut dan cemas.Serena, melihat bahwa aksinya telah berhasil menarik perhatian, melanjutkan dengan lebih dramatis. “Aku berharap, Aruna, kita bisa menemukan jalan untuk memperbaiki semua ini. Demi Rohana, demi masa depannya.”Tetesan air mata Serena terus mengalir, mengundang simpati dari para ibu-ibu yang menyaksikan. Mereka berbisik-bisik lebih keras, beberapa di antaranya terlihat menyeka air mata, terharu oleh pemandangan tersebut.“Ini sangat menyedihkan,” bis
Sebastian, meski jantungnya berdetak cepat, mengakui kerja samanya dengan Serena kepada Bintara. "Aku bekerja sama dengan Serena dulu," katanya pelan, namun tegas. "Untuk sama-sama menjauhkanmu dari Aruna."Bintara tersulut emosi mendengar pengakuan itu. Dengan cepat, dia mencengkeram kerah baju Sebastian, wajahnya merah padam. "Kau apa?!" suaranya hampir serak oleh kemarahan.Namun, tatapan Sebastian tetap tajam, seolah tak gentar sedikit pun. "Aku sudah bilang, jika kau lengah, aku yang akan menggantikan posisimu di samping Aruna," ujarnya dingin. "Tapi untuk saat ini, kita harus bekerja sama lepas dari cengkeraman Serena!"Bintara perlahan melepaskan cengkeramannya, meski tangannya masih bergetar oleh amarah. "Kau tak tahu betapa sakitnya ini," gumamnya, sambil menggebrak meja dengan keras, meluapkan kekesalannya.Sebastian hanya menatapnya dengan emosi yang tertahan, mencoba menenangkan diri. "Aku tahu, Bintara. Tapi kita harus berpikir jernih
Dalam tangkapan kamera ponsel, terlihat jelas Dong Min yang mendekatkan wajahnya ke arah Serena. Mata mereka bertatapan tajam, dan senyum tipis Dong Min tampak ambigu di bawah cahaya temaram sky bar. Dong Min berbisik lembut, namun penuh hasrat, "Serena, kau tahu aku bisa memberikan lebih dari sekadar dukungan bisnis." Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Serena, napasnya menghangatkan kulitnya. "Kau pantas mendapatkan lebih."Serena menjaga wajahnya tetap tenang, namun matanya menyiratkan ketegangan yang tertahan. Ia menahan napas sejenak, mencoba agar ia terlihat terkendali. Sementara itu, tangan Dong Min secara halus masih bermain di area milik Serena di bawah sana.Dalam cahaya remang-remang, bayangan mereka seolah menari di dinding, menciptakan kesan bahwa percakapan ini jauh lebih intim dan penuh rahasia. Bagi siapapun yang melihatnya, momen ini akan tampak ambigu, sarat dengan godaan yang tidak terbantahkan.Dong Min melanjutkan, suaranya ny
“Kak, kau memanggilku?” Suara khas lelaki yang ia kenal membuyarkan lamunannya. Sietta menoleh dan melihat Jinu berdiri di ambang pintu. Wajah adik iparnya yang tampan memancarkan ketenangan, namun ada kilatan ketegangan yang tidak bisa ia sembunyikan.“Ya, Jinu. Sepertinya Kakak akan pulang ke Indonesia besok, apa kau mau ikut?” tanya Sietta, suaranya lembut namun penuh makna.Jinu menghela napas panjang, menggeleng pelan. “Kak, aku gak bisa. Masih terlalu banyak luka yang belum sembuh. Kejadian beberapa waktu lalu masih segar di ingatanku. Aku masih trauma dengan cara Sebastian mengusirku dari hotel itu.” Jinu menunduk, mengingat kembali momen pahit itu.Sietta menatap Jinu dengan rasa simpati. “Aku ngerti, Jinu. Tapi kita harus kuat. Kita gak bisa membiarkan mereka terus menginjak kita.”Jinu mengangkat wajahnya, matanya penuh dengan tekad yang membara. “Kak, aku berjanji. Aku akan kembali ke Indonesia, tapi gak sekarang. Aku akan menunggu saat
Berita viral itu akhirnya sampai ke telinga Adi Jaya, owner dari Hotel dan perusahaan-perusahaan lainnya di bawah naungan "King Group Jaya." Adi Jaya, yang juga ayah dari Bintara, merasa terkejut dan marah dengan situasi yang melibatkan anaknya.Hari itu, Adi Jaya memutuskan untuk mengunjungi mansion miliknya untuk memastikan situasi terkendali. Dia mengendarai sebuah mobil Rolls-Royce Phantom berwarna hitam mengkilap, kendaraan yang menggambarkan status dan kekayaannya dengan sempurna. Mobil mewah itu meluncur dengan elegan di jalanan kota, menarik perhatian setiap mata yang memandang.Ketika Adi Jaya tiba di mansion, pelayan-pelayan sudah bersiap menyambutnya. Pintu mobil dibuka dengan hati-hati oleh salah satu pelayan, dan Adi Jaya keluar dengan sikap anggun yang sudah menjadi ciri khasnya.Dia mengenakan setelan jas Armani berwarna navy blue yang rapi, dengan kemeja putih dari brand Burberry dan dasi sutra Hermes yang elegan. Sepatu kulit hitam berkila
Hari itu adalah hari yang kelam bagi Bintara. Hatinya terasa sakit dan sesak. Dengan tegas, ia berkata, “Ayah, selama ini aku selalu menuruti keinginan Ayah, termasuk menikahi Serena yang tak pernah aku cintai! Kini biarkan aku memilih jalan hidupku sendiri!” Adi Jaya membalas, suaranya penuh dengan keteguhan. “Ini semua demi kebaikanmu, Bintara!” “Tidak! Ini semua demi bisnis Ayah!” Bintara membalas dengan suara yang bergetar, penuh dengan emosi yang tertahan. Dia hendak pergi, namun Adi Jaya menambahkan, “Jika kau pergi dengan wanita itu, semua asetmu akan ku cabut!” Bintara berhenti sejenak, mengepalkan tangan dengan kuat. Amarah dan kesedihan bercampur menjadi satu, namun ia tidak berbalik memohon pada ayahnya. Dengan tekad yang membara, dia pun meninggalkan ruangan dengan getir. Suara langkah kakinya yang berat menggema di lorong, menandakan keputusan besar yang telah diambilnya. Bintara melangkah keluar dari ruangan
"Mari kita duduk sebentar, tenangkan diri," ujarnya lembut, mengajak Bintara menuju sofa. Ia berjalan menuju dapur dan tak lama kemudian kembali dengan secangkir teh hangat, menyodorkannya kepada Bintara.Bintara meraih cangkir itu dengan tangan gemetar, menyesap teh perlahan, membiarkan kehangatannya meresap. Aruna duduk di sampingnya, menatap suaminya dengan penuh kasih."Bintara, aku tahu semua ini berat bagimu. Tapi melawan ayahmu bukanlah jawabannya. Bukankah ini impianmu? Sewaktu seminar dulu kau berbagi cerita tentang betapa kau ingin membangun hotel dan melihat tawa semua orang dalam hotel itu."Bintara terdiam, pikirannya melayang ke masa lalu. Kilasan kenangan muncul di benaknya, mengingat momen-momen yang membentuk impiannya.Saat itu, Bintara masih belia, berusia sekitar sepuluh tahun. Ia berjalan memasuki lobi hotel yang megah bersama orang tuanya. Matanya yang berbinar menatap kagum interior mewah, lampu kristal berkilauan di atas ke
Malam itu, langit diselimuti awan gelap, membuat bulan dan bintang-bintang hanya samar terlihat. Angin malam berhembus lembut melalui jendela yang terbuka sedikit, membawa aroma hujan yang baru saja reda.Di dalam kamar yang hangat, Bintara dan Aruna duduk berdua di atas ranjang. Lampu meja memberikan cahaya lembut yang menciptakan bayangan tenang di dinding. Suasana terasa intim namun tegang, keduanya terdiam sejenak, membiarkan pikiran mereka melayang pada masalah yang menghantui mereka.Bintara menghela napas berat, matanya memandang lurus ke depan seolah sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. "Aruna," katanya akhirnya, suaranya penuh dengan kekhawatiran dan cinta. "Kita harus pindah lagi. Tempat ini gak aman untukmu dan Rohana. Aku gak mau kalian terluka karena ulah Serena."Aruna menoleh, menatap mata Bintara dengan lembut namun penuh tekad. "Gak, Bintara. Aku gak bisa terus-menerus berlari. Di mana pun kita berada, Serena pasti akan men