"Mari kita duduk sebentar, tenangkan diri," ujarnya lembut, mengajak Bintara menuju sofa. Ia berjalan menuju dapur dan tak lama kemudian kembali dengan secangkir teh hangat, menyodorkannya kepada Bintara.
Bintara meraih cangkir itu dengan tangan gemetar, menyesap teh perlahan, membiarkan kehangatannya meresap. Aruna duduk di sampingnya, menatap suaminya dengan penuh kasih."Bintara, aku tahu semua ini berat bagimu. Tapi melawan ayahmu bukanlah jawabannya. Bukankah ini impianmu? Sewaktu seminar dulu kau berbagi cerita tentang betapa kau ingin membangun hotel dan melihat tawa semua orang dalam hotel itu."Bintara terdiam, pikirannya melayang ke masa lalu. Kilasan kenangan muncul di benaknya, mengingat momen-momen yang membentuk impiannya.Saat itu, Bintara masih belia, berusia sekitar sepuluh tahun. Ia berjalan memasuki lobi hotel yang megah bersama orang tuanya. Matanya yang berbinar menatap kagum interior mewah, lampu kristal berkilauan di atas keMalam itu, langit diselimuti awan gelap, membuat bulan dan bintang-bintang hanya samar terlihat. Angin malam berhembus lembut melalui jendela yang terbuka sedikit, membawa aroma hujan yang baru saja reda.Di dalam kamar yang hangat, Bintara dan Aruna duduk berdua di atas ranjang. Lampu meja memberikan cahaya lembut yang menciptakan bayangan tenang di dinding. Suasana terasa intim namun tegang, keduanya terdiam sejenak, membiarkan pikiran mereka melayang pada masalah yang menghantui mereka.Bintara menghela napas berat, matanya memandang lurus ke depan seolah sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. "Aruna," katanya akhirnya, suaranya penuh dengan kekhawatiran dan cinta. "Kita harus pindah lagi. Tempat ini gak aman untukmu dan Rohana. Aku gak mau kalian terluka karena ulah Serena."Aruna menoleh, menatap mata Bintara dengan lembut namun penuh tekad. "Gak, Bintara. Aku gak bisa terus-menerus berlari. Di mana pun kita berada, Serena pasti akan men
Keramaian di taman hiburan yang sebelumnya penuh dengan tawa dan kebahagiaan kini terasa seperti latar belakang yang tak berarti bagi Aruna. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar tanpa suara saat ia terus menatap boneka yang menggantikan putrinya di stroller. Tangannya gemetar, memegang erat pegangan stroller seolah berharap Rohana akan muncul kembali dengan sendirinya. Air mata mulai mengalir di pipinya, perasaan takut dan putus asa menghantamnya seperti gelombang tak berujung.Pikirannya dipenuhi bayangan mengerikan tentang apa yang bisa terjadi pada Rohana. Dia ingin berteriak, tapi suaranya tersangkut di tenggorokan, tertahan oleh rasa ngeri yang begitu mendalam.Bintara, di sisi lain, berusaha menenangkan dirinya meskipun hatinya diliputi kepanikan yang sama. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras saat dia mencoba mengatur napasnya.Matanya liar mencari-cari di sekitar, berharap menemukan petunjuk sekecil apapun. Dia mengeluarkan po
Malam itu, Bintara pergi ke rumah Sebastian. Jalanan gelap dan sepi, hanya diterangi lampu-lampu jalan yang redup. Bintara mengemudi dengan penuh tekad, mengingat setiap detik yang berlalu tanpa Rohana hanya membuat hatinya semakin gelisah. Sesampainya di rumah Sebastian, ia langsung mengetuk pintu dengan ketukan yang keras dan tergesa-gesa.Sebastian membuka pintu, wajahnya menampilkan keheranan yang bercampur dengan kekhawatiran. "Bintara? Ada apa ini?"Tanpa banyak bicara, Bintara langsung masuk ke dalam rumah Sebastian. "Rohana diculik," katanya dengan suara serak. "Dan aku yakin Serena ada di balik semua ini."Sebastian terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Aku sudah bilang, inilah yang akan terjadi kalau kau melawan Serena. Dia tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang dia inginkan."Bintara mengepalkan tangannya, menahan amarah yang membara di dadanya. "Aku tidak bisa membiarkan dia terus menyakiti Aruna dan anakku. Kita haru
Di lain hari, Suasana bandara Soekarno-Hatta Jakarta pada petang hari dipenuhi oleh hiruk-pikuk para penumpang yang datang dan pergi.Lampu-lampu neon berpendar, menciptakan refleksi yang mempesona di lantai marmer yang mengkilap. Aroma kopi dan masakan lokal menggoda penciuman, sementara suara pengumuman penerbangan terdengar bergema di seluruh terminal.Di tengah keramaian itu, muncul sosok wanita yang menarik perhatian setiap mata yang memandang. Sietta melangkah anggun keluar dari pintu kedatangan internasional.Penampilannya memancarkan keanggunan dan kesempurnaan yang tak terbantahkan. Ia mengenakan mantel trench coat Burberry berwarna krem yang dipadukan dengan sepatu hak tinggi Christian Louboutin berwarna hitam. Rambut hitamnya yang berkilau tergerai rapi, membingkai wajahnya yang dihiasi dengan kacamata hitam besar Chanel, memberikan aura misterius namun elegan.Di tangan kirinya, ia membawa tas Hermes Kelly berwarna cokelat tua, simbol
Langkah kaki Sietta terdengar tegas namun anggun, hak sepatunya memantulkan suara yang ritmis di sepanjang koridor menuju kamar utama. Tangannya yang ramping dengan kuku yang terawat sempurna meraih gagang pintu dan membukanya perlahan. Di dalam kamar, Dong Min berdiri memunggungi pintu, menghadap jendela besar yang menawarkan pemandangan gemerlap kota di malam hari. Di tangannya, segelas wine merah berkilauan di bawah cahaya lampu. Suara Dong Min terdengar samar-samar, berbicara mesra dengan seseorang di telepon, suaranya penuh dengan nada menggoda yang tidak biasa.Saat pintu terbuka, suara hak sepatu Sietta yang khas seakan menggema di seluruh ruangan, membuat Dong Min tersentak dan segera menoleh. “Sietta? Kau pulang?” katanya dengan nada terkejut, wajahnya seketika menegang.Sietta menatapnya dengan senyum tipis yang penuh arti. "Ya, aku pulang," jawabnya singkat, tatapannya menyelidik. Dia berjalan mendekat, gerakannya elegan dan terkontrol, menunju
Cahaya matahari pagi menembus tirai tebal penthouse Bintara, menerangi kamar tidur dengan sinar lembut. Bintara terbangun, merasakan kekosongan di sebelahnya. Ia bangkit dari tempat tidur, menggosok matanya yang masih berat karena kurang tidur. Dengan langkah cepat, Bintara menuju ruang tamu. Setiap sudut penthouse terlihat rapi dan teratur, tetapi suasana sepi menyelimuti ruangan, tak ada suara wadah kosmetik beradu yang biasa Bintara dengar. "Serena!" panggil Bintara setengah berteriak, suaranya menggema di seluruh ruangan. Tak ada jawaban. Bintara memasuki ruang makan, namun meja makan tampak tak tersentuh. Ia bergegas ke dapur, berharap menemukan Serena sedang membuat sarapan, tetapi dapur kosong dan sunyi. "Serena, di mana dia?" tanyanya pada diri sendiri, nada suaranya terheran-heran.Bintara memeriksa setiap ruangan, mulai dari ruang tamu yang luas, kamar tamu yang sepi, hingga ke balkon yang menawarkan pemandangan ko
Saat itu, ketika Serena juga di panggil ke ruangan Adi Jaya, sebuah rencana besar yang tak di ketahui Bintara mulai di bentuk.Serena duduk di kursi empuk di depan meja kerja Adi Jaya, suasana ruangan terasa berat dan penuh ketegangan.Adi Jaya, dengan wajah penuh pertimbangan, menatap Serena tajam, seolah menimbang setiap langkah yang akan diambil. Serena, meski tampak tenang, merasakan jantungnya berdetak kencang, menunggu instruksi dari pria yang kini berkuasa atas nasibnya."Serena," Adi Jaya memulai dengan suara rendah namun tegas, "Kita tidak bisa membiarkan keadaan ini terus berlarut. Nama baik keluarga dan bisnis kita sedang dipertaruhkan. Aruna dan anaknya adalah ancaman yang harus kita singkirkan."Serena mengangguk pelan, matanya tidak pernah lepas dari wajah Adi Jaya. "Aku mengerti, Ayah. Tapi bagaimana caranya? Aruna cukup cerdik, dan Bintara selalu melindunginya."Adi Jaya menyandarkan tubuhnya ke kursi, jemarinya menyatu me
Di siang hari yang terik dan cerah, Sebastian tiba di rumah Aruna. Mengenakan kaos hitam bertuliskan "Calvin Klein Jeans" dan celana putih, penampilannya sangat menawan dan kasual. Rambutnya yang tertata rapi dan senyum tipisnya memberikan kesan elegan dan percaya diri. Sebastian keluar dari mobilnya, sebuah Toyota Camry dengan tampilan yang cukup elegan dan sesuai untuk kalangan menengah. Cahaya matahari memantulkan kilauan halus dari permukaan mobil, menambah aura profesional dan berkelas pada dirinya.Dia melangkah keluar dengan penuh percaya diri, memandang ke arah rumah Aruna dengan tatapan tegas namun penuh perhatian. Tanpa membuang waktu, Sebastian berjalan menuju pintu rumah Aruna, siap untuk menenangkan hati wanita yang tengah dirundung kecemasan.Aruna dari dalam rumah mendengar suara mobil berhenti di depan rumah. Harapan langsung menyelimuti hatinya, mengira itu Bintara yang akhirnya kembali. Dengan cepat, dia bergegas menuju pintu,