Cahaya matahari pagi menembus tirai tebal penthouse Bintara, menerangi kamar tidur dengan sinar lembut. Bintara terbangun, merasakan kekosongan di sebelahnya. Ia bangkit dari tempat tidur, menggosok matanya yang masih berat karena kurang tidur.
Dengan langkah cepat, Bintara menuju ruang tamu. Setiap sudut penthouse terlihat rapi dan teratur, tetapi suasana sepi menyelimuti ruangan, tak ada suara wadah kosmetik beradu yang biasa Bintara dengar."Serena!" panggil Bintara setengah berteriak, suaranya menggema di seluruh ruangan.Tak ada jawaban.Bintara memasuki ruang makan, namun meja makan tampak tak tersentuh. Ia bergegas ke dapur, berharap menemukan Serena sedang membuat sarapan, tetapi dapur kosong dan sunyi."Serena, di mana dia?" tanyanya pada diri sendiri, nada suaranya terheran-heran.Bintara memeriksa setiap ruangan, mulai dari ruang tamu yang luas, kamar tamu yang sepi, hingga ke balkon yang menawarkan pemandangan koSaat itu, ketika Serena juga di panggil ke ruangan Adi Jaya, sebuah rencana besar yang tak di ketahui Bintara mulai di bentuk.Serena duduk di kursi empuk di depan meja kerja Adi Jaya, suasana ruangan terasa berat dan penuh ketegangan.Adi Jaya, dengan wajah penuh pertimbangan, menatap Serena tajam, seolah menimbang setiap langkah yang akan diambil. Serena, meski tampak tenang, merasakan jantungnya berdetak kencang, menunggu instruksi dari pria yang kini berkuasa atas nasibnya."Serena," Adi Jaya memulai dengan suara rendah namun tegas, "Kita tidak bisa membiarkan keadaan ini terus berlarut. Nama baik keluarga dan bisnis kita sedang dipertaruhkan. Aruna dan anaknya adalah ancaman yang harus kita singkirkan."Serena mengangguk pelan, matanya tidak pernah lepas dari wajah Adi Jaya. "Aku mengerti, Ayah. Tapi bagaimana caranya? Aruna cukup cerdik, dan Bintara selalu melindunginya."Adi Jaya menyandarkan tubuhnya ke kursi, jemarinya menyatu me
Di siang hari yang terik dan cerah, Sebastian tiba di rumah Aruna. Mengenakan kaos hitam bertuliskan "Calvin Klein Jeans" dan celana putih, penampilannya sangat menawan dan kasual. Rambutnya yang tertata rapi dan senyum tipisnya memberikan kesan elegan dan percaya diri. Sebastian keluar dari mobilnya, sebuah Toyota Camry dengan tampilan yang cukup elegan dan sesuai untuk kalangan menengah. Cahaya matahari memantulkan kilauan halus dari permukaan mobil, menambah aura profesional dan berkelas pada dirinya.Dia melangkah keluar dengan penuh percaya diri, memandang ke arah rumah Aruna dengan tatapan tegas namun penuh perhatian. Tanpa membuang waktu, Sebastian berjalan menuju pintu rumah Aruna, siap untuk menenangkan hati wanita yang tengah dirundung kecemasan.Aruna dari dalam rumah mendengar suara mobil berhenti di depan rumah. Harapan langsung menyelimuti hatinya, mengira itu Bintara yang akhirnya kembali. Dengan cepat, dia bergegas menuju pintu,
Aruna membuka matanya perlahan, cahaya matahari yang masuk melalui jendela membuatnya mengerjapkan mata. Perlahan, pandangannya mulai fokus, dan dia menyadari dirinya berada di sebuah kamar rawat inap. Aroma antiseptik yang khas segera menyadarkannya akan tempat ini. Langit-langit putih dengan lampu fluorescent, tirai biru yang mengelilingi tempat tidurnya, dan suara mesin monitor yang berdetak pelan, semuanya mengonfirmasi bahwa dia berada di rumah sakit. Aruna merasa tubuhnya lemas, namun kesadaran penuh mulai kembali.Di sudut ruangan, Hasan berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, tatapannya tidak pernah lepas dari Aruna. Ketika melihatnya membuka mata, ekspresi lega dan senyum hangat terukir di wajahnya. Dia segera mendekat, memeriksa kondisinya dengan cekatan, namun lembut.Aruna mencoba bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Hasan menempatkan tangannya di bahu Aruna, menahannya dengan lembut tapi tegas. "Jangan terlalu memaksakan diri, Aruna,"
Lasmi tertegun mendengar ucapan Brahma, ia meletakkan tangannya di bahu suaminya.Jangan terlalu gegabah, Yah. Beban anak kita sudah cukup banyak karena masalah Rohana. Biarkan dia yang memutuskan sendiri jalan hidupnya. Kita sebagai orang tua hanya bisa mendampinginya.”Lasmi berusaha menenangkan pikiran suaminya. Ia tahu, suaminya tak rela bahwa anak semata wayangnya terpuruk dalam lingkaran hitam yang menyeretnya dalam kegelapan.**Di ruangan dokter yang terletak di ujung koridor rumah sakit, suasana terasa tenang namun penuh kekhawatiran. Ruangan itu berukuran sedang, dindingnya berwarna putih bersih dengan beberapa sertifikat dan penghargaan yang tergantung rapi. Sebuah meja kayu besar berdiri di tengah ruangan, dihiasi dengan tumpukan berkas medis dan sebuah komputer. Di belakang meja, ada rak buku yang penuh dengan literatur kedokteran dan beberapa tanaman hijau yang menambah kesan hidup.Dr. Hasan duduk di kursinya, tam
Bintara berdiri tegang di ruang tamu rumah itu, menatap Serena dan Adi Jaya dengan mata yang penuh amarah dan determinasi. Ruangan tersebut dipenuhi oleh kesunyian yang menegangkan, hanya sesekali terganggu oleh denting jam di dinding. “Serena, Ayah, aku di sini untuk membawa Rohana kembali ke ibunya,sudah terlalu lama kalian menahan Rohana di sini.” ucap Bintara dengan suara yang tegas. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti palu yang menghantam baja.Serena duduk di sofa, kakinya disilangkan dengan anggun, namun sorot matanya dingin. Dia mengangkat alis dan berkata dengan nada sarkastik, “Benarkah? Dan kau pikir kami akan membiarkan itu terjadi begitu saja?”Bintara menggertakkan giginya, tangannya mengepal di sisinya. “Rohana membutuhkan ibunya. Ini bukan masalah yang bisa diperdebatkan.”Adi Jaya, yang berdiri di samping Serena, menghela napas panjang. “Bintara, kau terlalu keras kepala. Serena bisa memberikan kehidupan yang
Bintara merasakan desakan dalam dadanya, menyadari kenyataan pahit yang harus dihadapinya. Dengan suara yang berat dan mata yang penuh penyesalan, dia berkata, “Aku harus menjauh untuk sementara waktu dari Aruna dan Rohana demi keselamatan mereka.”Aruna menatap Bintara dengan mata yang berkaca-kaca, rasa takut dan kecewa tercermin dalam pandangannya. “Kenapa, Bintara? Kenapa kamu harus pergi lagi?”Bintara menghela napas panjang, memandang Aruna dengan kesedihan mendalam. “Serena ... dia wanita yang berbahaya. Aku sedang berusaha melepaskan diri darinya, tapi ini tidak mudah. Aku perlu waktu untuk mengumpulkan bukti dan melawannya.”Lasmi menatap Bintara dengan kerutan di dahi. “Apa maksudmu, Bintara? Apakah Serena benar-benar seberbahaya itu?”Bintara mengangguk, matanya penuh tekad. “Ya, Bu. Dia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku tidak ingin Aruna dan Rohana terjebak dalam permainan berbahayanya. Aku memohon ag
Bintara membuka amplop yang Serena lemparkan di meja. Jemarinya yang gemetar mengeluarkan beberapa foto, dan pandangannya langsung terpaku pada gambar-gambar itu. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia mengambil satu foto dan memegangnya erat, menatap wajah yang sudah lama tak ia lihat. Sosok seorang wanita dengan senyum lembut, matanya penuh kasih sayang. Wanita itu berdiri di depan sebuah rumah tua, mengenakan daster sederhana yang sudah lusuh oleh waktu. Bintara jatuh terduduk di sofa, tubuhnya lunglai. Matanya mulai memanas dan pandangannya kabur oleh air mata yang mulai mengalir tanpa henti.Foto-foto itu jatuh berserakan di lantai, namun tangannya masih menggenggam satu foto dengan erat, seolah-olah dengan memegangnya ia bisa kembali merasakan kehadiran wanita yang telah lama hilang dari hidupnya. Air matanya jatuh membasahi foto itu, wajah wanita yang terlihat buram oleh tetesan yang terus mengalir. Bintara menundukkan kepala, dadanya s
Bintara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Tangannya gemetar saat mengancingkan kemejanya, kancing demi kancing, seolah setiap gerakan mengingatkannya pada kesalahan yang baru saja diperbuat. Kemejanya kusut, tanda-tanda pertempuran hasrat yang baru saja terjadi. Serena duduk di sofa, tubuhnya hanya tertutupi oleh sisa-sisa gaun yang telah dirobek Bintara. Kulitnya yang halus terpapar oleh cahaya remang-remang lampu, memberikan kesan yang memabukkan.Dia menatap Bintara dengan mata yang berbinar, senyum puas terlukis di bibirnya yang merah. Seperti predator yang baru saja memenangkan buruannya, Serena menikmati setiap detik kebisuan yang menyelimuti mereka.Larut malam di penthouse terasa hening, hanya diiringi oleh suara napas mereka yang masih terengah. Aroma wine dan keringat bercampur menjadi satu, menambah ketegangan yang sudah terasa begitu kental.Bintara merapikan rambutnya, menunduk u