Bintara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Tangannya gemetar saat mengancingkan kemejanya, kancing demi kancing, seolah setiap gerakan mengingatkannya pada kesalahan yang baru saja diperbuat.
Kemejanya kusut, tanda-tanda pertempuran hasrat yang baru saja terjadi. Serena duduk di sofa, tubuhnya hanya tertutupi oleh sisa-sisa gaun yang telah dirobek Bintara. Kulitnya yang halus terpapar oleh cahaya remang-remang lampu, memberikan kesan yang memabukkan.Dia menatap Bintara dengan mata yang berbinar, senyum puas terlukis di bibirnya yang merah. Seperti predator yang baru saja memenangkan buruannya, Serena menikmati setiap detik kebisuan yang menyelimuti mereka.Larut malam di penthouse terasa hening, hanya diiringi oleh suara napas mereka yang masih terengah. Aroma wine dan keringat bercampur menjadi satu, menambah ketegangan yang sudah terasa begitu kental.Bintara merapikan rambutnya, menunduk u“Itu urusanku,” jawab Bintara dengan suara serak, mencoba menahan emosi yang menggelora di dalam dirinya. Dia bangkit, berniat meninggalkan kamar dengan langkah cepat, tetapi Serena melangkah cepat dan menahannya dengan sentuhan lembut di lengannya.“Bintara,” bisiknya penuh arti, matanya yang tajam menatap dalam-dalam ke mata Bintara. “Ingat janjimu. Kau harus memperlakukan aku layaknya seorang istri.”Bintara terdiam, menelan ludah dengan susah payah. Tekanan dari Serena terasa begitu nyata dan mengikat. Kamar yang semula terasa luas dan dingin kini seakan menciut, mencengkeramnya dalam dilema yang tak berujung.Serena mendekat, jarak di antara mereka begitu dekat hingga Bintara bisa merasakan hembusan napasnya.Serena melingkarkan lengannya ke leher Bintara, menariknya lebih dekat. "Kau harus tidur di sini malam ini," ucapnya dengan nada yang penuh kepastian dan tuntutan. Bintara merasakan berat janji yang pernah ia ucapkan, kini menyesakkan da
Di sebuah coffee shop yang elegan di dalam hotel milik Bintara, aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan keharuman bunga segar memenuhi udara.Lampu-lampu kristal menggantung dari langit-langit, memberikan cahaya lembut yang menambah suasana intim di tempat tersebut.Bintara duduk di sebuah meja dekat jendela besar, menatap keluar melihat pemandangan kota yang sibuk di bawah sana. Pintu coffee shop terbuka, dan Sietta masuk dengan anggun.Penampilannya yang berkelas dengan balutan gaun desainer menambah pesona kehadirannya. Dia melangkah mendekati meja Bintara dengan langkah percaya diri."Bintara," sapa Sietta dengan senyum tipis. "Senang akhirnya bisa bertemu denganmu."Bintara berdiri dan menjabat tangannya. "Sietta, aku tidak menyangka kamu sudah kembali dari New York.”Sietta duduk dengan elegan dan melambaikan tangan kepada pelayan untuk memesan kopi. "Aku pulang untuk mengadakan launching busana dari merk yang aku des
Waktu terus bergulir, dan kondisi Aruna perlahan-lahan membaik. Setelah menjalani perawatan dan terapi di rumah sakit, kini ia kembali ke rumah. Meski luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh, ia mulai menemukan kekuatan untuk bangkit demi putrinya, Rohana.Di rumah sederhana itu, suasana pagi begitu hangat. Brahma dan Lasmi, orang tua Aruna, kini mengisi hari-hari mereka dengan membantu di warung sayur kecil yang terletak di depan rumah. Brahma, dengan tangan-tangan terampilnya, menata sayuran segar di atas meja kayu, sementara Lasmi melayani pelanggan dengan senyuman ramah yang senantiasa menyapa.Aruna, yang kini duduk di teras rumah, menatap kedua orang tuanya dengan penuh rasa syukur. Kehadiran mereka adalah penopang dalam kehidupannya yang sempat terasa hampa. Ia melihat ayahnya tertawa kecil ketika seorang pelanggan memuji sayuran mereka, sementara ibunya dengan sabar menjelaskan harga-harga barang dagangan.Meski beban di hatinya masih terasa berat,
Aruna terdiam, pandangannya tertuju pada keranjang sayur yang jatuh, sayur-mayur berserakan di tanah. Seakan dunia sejenak berhenti berputar, hanya suara detak jantungnya yang terasa menggema di telinga.Pengakuan Sebastian yang tiba-tiba membuat hatinya bergetar. Mata Aruna yang lembut menatap Sebastian, masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Sebastian menarik napas panjang, mencoba meredakan debaran di dadanya. Ia menatap Aruna dengan penuh ketulusan, berusaha menunjukkan bahwa perasaannya sungguh-sungguh.“Aruna, aku tahu situasimu sekarang. Kamu masih istri Bintara, dan aku gak bermaksud membuat semuanya menjadi rumit. Aku cuma mau kamu tahu perasaanku. Kamu sangat berarti bagi aku, dan aku mau kamu tahu itu.”Mata Aruna mulai berkaca-kaca. Ia merasa perasaannya bercampur jadi satu antara terharu dan bingung. “Sebastian, aku …” kata-katanya terputus, sulit baginya untuk mengungkapkan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
Di malam yang sama, Bintara duduk sendirian di dalam kamar apartemennya. Kamar itu adalah tempat ia melepaskan penat dari hiruk-pikuk pekerjaan dan kehidupan rumah tangganya yang penuh konflik dengan Serena. Apartemen ini menjadi saksi bisu kenangan saat ia bersama Aruna.Bintara berdiri di dekat jendela besar yang menghadap kota, lampu-lampu berkelip di kejauhan, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti malam. Angin malam yang sejuk masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, menyegarkan udara di dalam ruangan. Ia menatap langit yang bertabur bintang, pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke malam pertama kali Aruna menjemputnya pulang ke apartemen ini.Bintara mengenang kembali saat-saat pertama kali ia menyentuh Aruna di kamar ini. Malam itu begitu magis, dalam pengaruh obat perangsang yang diam-diam Dong Min berikan ke dalam gelas alkoholnya untuk menjebaknya malam itu, malah terpaksa melampiaskannya pada Aruna."Aruna, maafkan aku," bisik
Malam itu, Serena berada di penthousenya, mondar-mandir dengan gelisah. Berulang kali ia mengirimi Bintara pesan, namun tak ada satu pun yang mendapatkan balasan:[Kau di mana, Bintara? Kenapa tak pulang ke penthouse?]Kekesalan semakin memuncak di dadanya. Dengan penuh amarah, ia memutuskan untuk menelepon seseorang. Suara Serena bergetar penuh ketegangan ketika ia berbicara."Rocky! Kau masih membuntuti Bintara?"Rocky, dengan gaya berandal jalanan yang santai, menjawab tanpa beban, seolah-olah dia tidak peduli dengan ketegangan yang dirasakan Serena. "Aku bukan anak kecil yang terus ditanya oleh ibunya yang bawel, Serena. Ya, aku masih membuntuti Bintara. Dia pulang ke apartemen pribadinya, sendirian."Serena menggertakkan giginya. "Jangan sampai Bintara melihatmu! Dia pikir kau masih jadi tahanan! Kau adalah tawanan rahasiaku!"Setelah menutup telepon dengan Rocky, Serena mencoba menenangkan dirinya meski rasa kesalnya masih
Grand ballroom hotel Bintara berubah menjadi tempat yang penuh glamor dan kesibukan, persiapan pergelaran fashion show sedang berlangsung. Lampu-lampu sorot telah dipasang dengan cermat, menciptakan bayangan-bayangan artistik yang memperindah ruangan.Panggung runway sudah berdiri kokoh di tengah ruangan, dilengkapi dengan karpet merah yang memanjang hingga ke ujung, siap menyambut para model yang akan berjalan di atasnya.Tim dekorasi sibuk menata hiasan bunga dan pernak-pernik elegan di sepanjang pinggir panggung, sementara teknisi pencahayaan mengatur posisi lampu agar setiap sudut panggung terlihat sempurna.Di belakang panggung, para perancang busana dan penata rias bekerja tanpa henti, memastikan setiap detail busana dan penampilan model siap untuk dipamerkan.Sietta, dengan tatapan penuh semangat dan kepercayaan diri, berdiri di tengah hiruk-pikuk persiapan. Ia memberikan instruksi kepada timnya, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
Serena menatap cermin di toilet wanita, wajahnya tegang. Ketika Dong Min masuk dengan langkah cepat, Serena membeku. "Kau tidak seharusnya di sini," bisik Serena dengan nada penuh kegelisahan. Dong Min tidak memedulikannya."Ayo keluar," ujarnya singkat, menarik tangan Serena dengan tegas. Serena, meski ragu, akhirnya mengikuti Dong Min keluar dari toilet.Ketika Dong Min dan Serena muncul dari pintu toilet, pelayan yang ditugaskan oleh Sietta dengan cepat mengambil posisi. Dalam sekejap, kamera ponselnya menangkap momen Dong Min menggandeng Serena keluar. Langkah mereka cepat, penuh urgensi, menuju sudut ruangan yang sepi.Di sudut ruangan itu, Dong Min akhirnya berhenti dan berbalik menghadap Serena. "Kenapa kau begitu tegang?" tanyanya dengan nada lembut yang seolah menggoda, tetapi tatapan Serena masih waspada.Semua gerakan mereka tak luput dari pandangan pelayan yang terus mengamati dari kejauhan. Kamera ponselnya merekam setiap de