Waktu terus bergulir, dan kondisi Aruna perlahan-lahan membaik. Setelah menjalani perawatan dan terapi di rumah sakit, kini ia kembali ke rumah. Meski luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh, ia mulai menemukan kekuatan untuk bangkit demi putrinya, Rohana.
Di rumah sederhana itu, suasana pagi begitu hangat. Brahma dan Lasmi, orang tua Aruna, kini mengisi hari-hari mereka dengan membantu di warung sayur kecil yang terletak di depan rumah. Brahma, dengan tangan-tangan terampilnya, menata sayuran segar di atas meja kayu, sementara Lasmi melayani pelanggan dengan senyuman ramah yang senantiasa menyapa.Aruna, yang kini duduk di teras rumah, menatap kedua orang tuanya dengan penuh rasa syukur. Kehadiran mereka adalah penopang dalam kehidupannya yang sempat terasa hampa. Ia melihat ayahnya tertawa kecil ketika seorang pelanggan memuji sayuran mereka, sementara ibunya dengan sabar menjelaskan harga-harga barang dagangan.Meski beban di hatinya masih terasa berat,Aruna terdiam, pandangannya tertuju pada keranjang sayur yang jatuh, sayur-mayur berserakan di tanah. Seakan dunia sejenak berhenti berputar, hanya suara detak jantungnya yang terasa menggema di telinga.Pengakuan Sebastian yang tiba-tiba membuat hatinya bergetar. Mata Aruna yang lembut menatap Sebastian, masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Sebastian menarik napas panjang, mencoba meredakan debaran di dadanya. Ia menatap Aruna dengan penuh ketulusan, berusaha menunjukkan bahwa perasaannya sungguh-sungguh.“Aruna, aku tahu situasimu sekarang. Kamu masih istri Bintara, dan aku gak bermaksud membuat semuanya menjadi rumit. Aku cuma mau kamu tahu perasaanku. Kamu sangat berarti bagi aku, dan aku mau kamu tahu itu.”Mata Aruna mulai berkaca-kaca. Ia merasa perasaannya bercampur jadi satu antara terharu dan bingung. “Sebastian, aku …” kata-katanya terputus, sulit baginya untuk mengungkapkan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
Di malam yang sama, Bintara duduk sendirian di dalam kamar apartemennya. Kamar itu adalah tempat ia melepaskan penat dari hiruk-pikuk pekerjaan dan kehidupan rumah tangganya yang penuh konflik dengan Serena. Apartemen ini menjadi saksi bisu kenangan saat ia bersama Aruna.Bintara berdiri di dekat jendela besar yang menghadap kota, lampu-lampu berkelip di kejauhan, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti malam. Angin malam yang sejuk masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, menyegarkan udara di dalam ruangan. Ia menatap langit yang bertabur bintang, pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke malam pertama kali Aruna menjemputnya pulang ke apartemen ini.Bintara mengenang kembali saat-saat pertama kali ia menyentuh Aruna di kamar ini. Malam itu begitu magis, dalam pengaruh obat perangsang yang diam-diam Dong Min berikan ke dalam gelas alkoholnya untuk menjebaknya malam itu, malah terpaksa melampiaskannya pada Aruna."Aruna, maafkan aku," bisik
Malam itu, Serena berada di penthousenya, mondar-mandir dengan gelisah. Berulang kali ia mengirimi Bintara pesan, namun tak ada satu pun yang mendapatkan balasan:[Kau di mana, Bintara? Kenapa tak pulang ke penthouse?]Kekesalan semakin memuncak di dadanya. Dengan penuh amarah, ia memutuskan untuk menelepon seseorang. Suara Serena bergetar penuh ketegangan ketika ia berbicara."Rocky! Kau masih membuntuti Bintara?"Rocky, dengan gaya berandal jalanan yang santai, menjawab tanpa beban, seolah-olah dia tidak peduli dengan ketegangan yang dirasakan Serena. "Aku bukan anak kecil yang terus ditanya oleh ibunya yang bawel, Serena. Ya, aku masih membuntuti Bintara. Dia pulang ke apartemen pribadinya, sendirian."Serena menggertakkan giginya. "Jangan sampai Bintara melihatmu! Dia pikir kau masih jadi tahanan! Kau adalah tawanan rahasiaku!"Setelah menutup telepon dengan Rocky, Serena mencoba menenangkan dirinya meski rasa kesalnya masih
Grand ballroom hotel Bintara berubah menjadi tempat yang penuh glamor dan kesibukan, persiapan pergelaran fashion show sedang berlangsung. Lampu-lampu sorot telah dipasang dengan cermat, menciptakan bayangan-bayangan artistik yang memperindah ruangan.Panggung runway sudah berdiri kokoh di tengah ruangan, dilengkapi dengan karpet merah yang memanjang hingga ke ujung, siap menyambut para model yang akan berjalan di atasnya.Tim dekorasi sibuk menata hiasan bunga dan pernak-pernik elegan di sepanjang pinggir panggung, sementara teknisi pencahayaan mengatur posisi lampu agar setiap sudut panggung terlihat sempurna.Di belakang panggung, para perancang busana dan penata rias bekerja tanpa henti, memastikan setiap detail busana dan penampilan model siap untuk dipamerkan.Sietta, dengan tatapan penuh semangat dan kepercayaan diri, berdiri di tengah hiruk-pikuk persiapan. Ia memberikan instruksi kepada timnya, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
Serena menatap cermin di toilet wanita, wajahnya tegang. Ketika Dong Min masuk dengan langkah cepat, Serena membeku. "Kau tidak seharusnya di sini," bisik Serena dengan nada penuh kegelisahan. Dong Min tidak memedulikannya."Ayo keluar," ujarnya singkat, menarik tangan Serena dengan tegas. Serena, meski ragu, akhirnya mengikuti Dong Min keluar dari toilet.Ketika Dong Min dan Serena muncul dari pintu toilet, pelayan yang ditugaskan oleh Sietta dengan cepat mengambil posisi. Dalam sekejap, kamera ponselnya menangkap momen Dong Min menggandeng Serena keluar. Langkah mereka cepat, penuh urgensi, menuju sudut ruangan yang sepi.Di sudut ruangan itu, Dong Min akhirnya berhenti dan berbalik menghadap Serena. "Kenapa kau begitu tegang?" tanyanya dengan nada lembut yang seolah menggoda, tetapi tatapan Serena masih waspada.Semua gerakan mereka tak luput dari pandangan pelayan yang terus mengamati dari kejauhan. Kamera ponselnya merekam setiap de
Bintara menyimpan file-file penting tentang bukti kesalahan Serena di sebuah USB, yang dia selipkan dengan hati-hati di dalam brankas kecil di apartemen pribadinya. Setiap kali dia membuka brankas itu, hatinya berdebar kencang, mengingat betapa pentingnya bukti-bukti tersebut untuk masa depannya dan kebebasan yang dia dambakan.Malam itu, setelah fashion show selesai, Bintara duduk di meja kerjanya, menatap USB tersebut dengan tatapan penuh tekad. Dia tahu bahwa langkah selanjutnya sangat penting. Di dalam USB itu, tersimpan rekaman percakapan, email-email yang mencurigakan, serta foto-foto yang menunjukkan kedekatan Serena dengan Dong Min. Bukti-bukti itu akan menjadi senjatanya untuk membebaskan dirinya dari pernikahan yang penuh kebohongan.Bintara mengingat kembali percakapan dengan Sietta. Dia merasakan solidaritas yang tak terduga dari wanita itu, yang juga terjebak dalam pernikahan tanpa cinta. Bersama-sama, mereka akan merencanakan langkah demi langkah, mem
Aruna duduk di bangku kayu di halaman belakang rumahnya, memandang jauh ke langit malam yang berhiaskan bintang. Pengakuan cinta Sebastian terus terngiang di pikirannya. Meskipun hatinya tergerak oleh ketulusan Sebastian, ia tahu bahwa cintanya tetap milik Bintara.Di bawah cahaya bulan yang lembut, Aruna menggenggam ponselnya erat-erat. Selalu menunggu kabar dari Bintara. Namun Kata-kata Sebastian terus bergema di kepalanya. "Aku cinta sama kamu." Ia menghela napas dalam-dalam, menyadari bahwa perasaannya terhadap Bintara masih kuat meskipun hubungan mereka sedang berada di titik terendah. Aruna merasa canggung setiap kali bertemu dengan Sebastian setelah pengakuan itu. Namun, ia tetap berusaha menjaga hubungan profesional dan pertemanan mereka.Setiap kali bertemu Sebastian di warung sayurnya, Aruna merasakan ada jarak yang tak kasat mata di antara mereka. Ia berusaha untuk tetap bersikap biasa, namun kadang hatinya terasa berat."Seb
Malam itu, langit cerah tanpa awan, bulan purnama memancarkan cahayanya yang lembut, menembus jendela kamar Aruna dan menciptakan bayangan-bayangan indah di dinding.Aruna berbaring di tempat tidurnya, berselimut hangat, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang berkelebat di benaknya. Namun, satu kenangan terus muncul, kenangan saat ia pertama kali bertemu dengan Bintara.Aruna memejamkan mata, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu. Kilas balik itu begitu jelas, seolah-olah baru terjadi kemarin. Ia ingat hari pertamanya bekerja di perusahaan besar itu, perasaan gugup dan antusias yang bercampur aduk. Ketika ia memasuki ruangan yang megah itu, hatinya berdebar kencang. Ia tak tahu apa yang diharapkan, namun ia tak pernah membayangkan sosok yang akan ditemuinya. Aruna mengingat kembali bagaimana sosok Bintara saat pertama kali melihatnyaDi balik meja besar dengan tumpukan berkas dan laptop canggih, duduklah Bintara. Pandangan pertamanya padanya