Di malam yang sama, Bintara duduk sendirian di dalam kamar apartemennya. Kamar itu adalah tempat ia melepaskan penat dari hiruk-pikuk pekerjaan dan kehidupan rumah tangganya yang penuh konflik dengan Serena. Apartemen ini menjadi saksi bisu kenangan saat ia bersama Aruna.
Bintara berdiri di dekat jendela besar yang menghadap kota, lampu-lampu berkelip di kejauhan, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti malam. Angin malam yang sejuk masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, menyegarkan udara di dalam ruangan. Ia menatap langit yang bertabur bintang, pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke malam pertama kali Aruna menjemputnya pulang ke apartemen ini.Bintara mengenang kembali saat-saat pertama kali ia menyentuh Aruna di kamar ini. Malam itu begitu magis, dalam pengaruh obat perangsang yang diam-diam Dong Min berikan ke dalam gelas alkoholnya untuk menjebaknya malam itu, malah terpaksa melampiaskannya pada Aruna."Aruna, maafkan aku," bisikMalam itu, Serena berada di penthousenya, mondar-mandir dengan gelisah. Berulang kali ia mengirimi Bintara pesan, namun tak ada satu pun yang mendapatkan balasan:[Kau di mana, Bintara? Kenapa tak pulang ke penthouse?]Kekesalan semakin memuncak di dadanya. Dengan penuh amarah, ia memutuskan untuk menelepon seseorang. Suara Serena bergetar penuh ketegangan ketika ia berbicara."Rocky! Kau masih membuntuti Bintara?"Rocky, dengan gaya berandal jalanan yang santai, menjawab tanpa beban, seolah-olah dia tidak peduli dengan ketegangan yang dirasakan Serena. "Aku bukan anak kecil yang terus ditanya oleh ibunya yang bawel, Serena. Ya, aku masih membuntuti Bintara. Dia pulang ke apartemen pribadinya, sendirian."Serena menggertakkan giginya. "Jangan sampai Bintara melihatmu! Dia pikir kau masih jadi tahanan! Kau adalah tawanan rahasiaku!"Setelah menutup telepon dengan Rocky, Serena mencoba menenangkan dirinya meski rasa kesalnya masih
Grand ballroom hotel Bintara berubah menjadi tempat yang penuh glamor dan kesibukan, persiapan pergelaran fashion show sedang berlangsung. Lampu-lampu sorot telah dipasang dengan cermat, menciptakan bayangan-bayangan artistik yang memperindah ruangan.Panggung runway sudah berdiri kokoh di tengah ruangan, dilengkapi dengan karpet merah yang memanjang hingga ke ujung, siap menyambut para model yang akan berjalan di atasnya.Tim dekorasi sibuk menata hiasan bunga dan pernak-pernik elegan di sepanjang pinggir panggung, sementara teknisi pencahayaan mengatur posisi lampu agar setiap sudut panggung terlihat sempurna.Di belakang panggung, para perancang busana dan penata rias bekerja tanpa henti, memastikan setiap detail busana dan penampilan model siap untuk dipamerkan.Sietta, dengan tatapan penuh semangat dan kepercayaan diri, berdiri di tengah hiruk-pikuk persiapan. Ia memberikan instruksi kepada timnya, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
Serena menatap cermin di toilet wanita, wajahnya tegang. Ketika Dong Min masuk dengan langkah cepat, Serena membeku. "Kau tidak seharusnya di sini," bisik Serena dengan nada penuh kegelisahan. Dong Min tidak memedulikannya."Ayo keluar," ujarnya singkat, menarik tangan Serena dengan tegas. Serena, meski ragu, akhirnya mengikuti Dong Min keluar dari toilet.Ketika Dong Min dan Serena muncul dari pintu toilet, pelayan yang ditugaskan oleh Sietta dengan cepat mengambil posisi. Dalam sekejap, kamera ponselnya menangkap momen Dong Min menggandeng Serena keluar. Langkah mereka cepat, penuh urgensi, menuju sudut ruangan yang sepi.Di sudut ruangan itu, Dong Min akhirnya berhenti dan berbalik menghadap Serena. "Kenapa kau begitu tegang?" tanyanya dengan nada lembut yang seolah menggoda, tetapi tatapan Serena masih waspada.Semua gerakan mereka tak luput dari pandangan pelayan yang terus mengamati dari kejauhan. Kamera ponselnya merekam setiap de
Bintara menyimpan file-file penting tentang bukti kesalahan Serena di sebuah USB, yang dia selipkan dengan hati-hati di dalam brankas kecil di apartemen pribadinya. Setiap kali dia membuka brankas itu, hatinya berdebar kencang, mengingat betapa pentingnya bukti-bukti tersebut untuk masa depannya dan kebebasan yang dia dambakan.Malam itu, setelah fashion show selesai, Bintara duduk di meja kerjanya, menatap USB tersebut dengan tatapan penuh tekad. Dia tahu bahwa langkah selanjutnya sangat penting. Di dalam USB itu, tersimpan rekaman percakapan, email-email yang mencurigakan, serta foto-foto yang menunjukkan kedekatan Serena dengan Dong Min. Bukti-bukti itu akan menjadi senjatanya untuk membebaskan dirinya dari pernikahan yang penuh kebohongan.Bintara mengingat kembali percakapan dengan Sietta. Dia merasakan solidaritas yang tak terduga dari wanita itu, yang juga terjebak dalam pernikahan tanpa cinta. Bersama-sama, mereka akan merencanakan langkah demi langkah, mem
Aruna duduk di bangku kayu di halaman belakang rumahnya, memandang jauh ke langit malam yang berhiaskan bintang. Pengakuan cinta Sebastian terus terngiang di pikirannya. Meskipun hatinya tergerak oleh ketulusan Sebastian, ia tahu bahwa cintanya tetap milik Bintara.Di bawah cahaya bulan yang lembut, Aruna menggenggam ponselnya erat-erat. Selalu menunggu kabar dari Bintara. Namun Kata-kata Sebastian terus bergema di kepalanya. "Aku cinta sama kamu." Ia menghela napas dalam-dalam, menyadari bahwa perasaannya terhadap Bintara masih kuat meskipun hubungan mereka sedang berada di titik terendah. Aruna merasa canggung setiap kali bertemu dengan Sebastian setelah pengakuan itu. Namun, ia tetap berusaha menjaga hubungan profesional dan pertemanan mereka.Setiap kali bertemu Sebastian di warung sayurnya, Aruna merasakan ada jarak yang tak kasat mata di antara mereka. Ia berusaha untuk tetap bersikap biasa, namun kadang hatinya terasa berat."Seb
Malam itu, langit cerah tanpa awan, bulan purnama memancarkan cahayanya yang lembut, menembus jendela kamar Aruna dan menciptakan bayangan-bayangan indah di dinding.Aruna berbaring di tempat tidurnya, berselimut hangat, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang berkelebat di benaknya. Namun, satu kenangan terus muncul, kenangan saat ia pertama kali bertemu dengan Bintara.Aruna memejamkan mata, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu. Kilas balik itu begitu jelas, seolah-olah baru terjadi kemarin. Ia ingat hari pertamanya bekerja di perusahaan besar itu, perasaan gugup dan antusias yang bercampur aduk. Ketika ia memasuki ruangan yang megah itu, hatinya berdebar kencang. Ia tak tahu apa yang diharapkan, namun ia tak pernah membayangkan sosok yang akan ditemuinya. Aruna mengingat kembali bagaimana sosok Bintara saat pertama kali melihatnyaDi balik meja besar dengan tumpukan berkas dan laptop canggih, duduklah Bintara. Pandangan pertamanya padanya
Malam itu, Bintara mengemudikan mobilnya dengan kecepatan stabil, pikirannya fokus pada misi penting yang harus diselesaikan. Setelah perjalanan yang terasa panjang, ia tiba di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk kehidupan malam Jakarta.Bintara membuka pintu kafe dan matanya langsung tertuju pada sosok wanita anggun yang duduk di sudut ruangan. Sietta, dengan penampilannya yang elegan dan penuh wibawa, mengenakan gaun hitam sederhana namun memancarkan aura keanggunan. Rambutnya disanggul rapi, dan sepasang anting berlian kecil bersinar lembut di bawah cahaya lampu kafe. Setiap gerakannya menunjukkan ketenangan dan kepercayaan diri, ciri khas seorang desainer terkenal yang selalu tampil sempurna di hadapan publik.Bintara berjalan mendekat, senyum simpul menghiasi wajahnya. Ia menyadari bahwa malam ini adalah titik krusial dalam rencananya.Ketika sampai di meja Sietta, ia menganggukkan kepala seb
Pertanyaan Bintara dengan suara lembut namun penuh kecurigaannya telah membuat Serena tertegun sejenak mendengarnya.Jantungnya berdegup kencang, tapi wajahnya tetap tenang. Sebelum Bintara pulang tadi, memang ia sempat bertemu Dong Min sebentar, dan tidak mungkin hanya mengobrol bila bau parfum Dong Min sampai melekat di tubuh Serena. Namun, ia tak ingin Bintara tahu. Ia harus berpikir cepat.Dengan sikap tenang di balik rasa paniknya, Serena menatap Bintara dengan mata penuh kasih. "Oh, tadi Ng aku mencoba parfummu dan di campur dengan parfumku, jadi baunya sedikit berbeda. Ayo kita tidur, kamu pasti lelah."“Mm begitu, ya udah ayo kita tidur.”Bintara menatap Serena dalam-dalam, seolah mencari kebenaran di balik kata-katanya. Namun, ia tersenyum simpul sebelum memejamkan mata. Baginya, ini bukan sekadar malam biasa. Ia tahu bahwa Serena sudah terjebak dalam perangkapnya sendiri. Rahasia Serena semakin jelas di hadapannya, dan ia hanya
Di bawah langit petang yang mulai bersemburat jingga, Aruna, Bintara, dan Rohana berdiri di gazebo restoran hotel, memandang hamparan lapangan golf yang terbentang luas. Angin sore berhembus lembut, membawa keharuman bunga-bunga yang mekar di sekitar mereka.Bintara melingkarkan lengannya di pinggang Aruna, menariknya lebih dekat sebelum mengecup kening istrinya dengan penuh cinta."Aku sangat mencintaimu," bisik Bintara, suaranya penuh dengan kehangatan dan ketulusan.Aruna tersenyum, namun senyumnya tiba-tiba memudar, wajahnya berubah pucat. Dia menutupi mulutnya dengan tangan, mencoba menahan mual yang tiba-tiba menyerangnya. Bintara segera terlihat khawatir, alisnya berkerut dalam kecemasan. "Aruna, kamu baik-baik saja?"Aruna hanya mengangguk pelan, lalu melepaskan Rohana ke pelukan babysitter yang berdiri tak jauh dari mereka. Setelah memastikan Rohana aman, Aruna kembali menatap Bintara dengan senyuman yang lembut. Tanpa berkata apa-apa, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari
Di tengah suasana meriah di Grand Opening Hotel, Bu Najiah juga turut hadir. ia tampak menikmati sore di suatu gazebo di taman belakang restoran hotel, ditemani riak air kolam yang memantulkan sinar matahari senja. Ikan-ikan berenang tenang, seolah menambah kedamaian di sekitarnya. Namun, jauh di dalam hatinya, ada kegelisahan yang belum terobati. Suara langkah kaki mendekat dari arah belakangnya. Ia tahu siapa itu sebelum sosoknya muncul di samping. "Lama tidak bertemu," sapa Adi Jaya, suaranya lembut namun ada nada canggung di dalamnya. Bu Najiah menoleh, melihat Adi Jaya yang berdiri dengan sikap yang penuh kehati-hatian. Matanya menatap tajam, namun ada kebingungan yang mengintip di balik ketegasan itu. "Ya, sudah cukup lama," jawab Bu Najiah pelan, sedikit mengeraskan hatinya untuk tidak terbawa perasaan. Pandangannya kembali ke kolam, menyembunyikan kegelisahan yang menghantui dirinya. Adi Jaya me
Sementara Dong Min mulai menemukan harapan baru dalam hidupnya, jauh di tempat lain, hati Sebastian perlahan-lahan tersentuh oleh pesona seorang wanita yang kini telah menjadi pusat perhatiannya.Grand opening hotel yang berlangsung meriah menjadi saksi dari perasaan yang tak terduga ini. Acara penuh kemegahan itu menampilkan segala kemewahan yang telah disiapkan dengan teliti oleh Bintara dan timnya.Setiap sudut ruangan dipenuhi sorak-sorai dan senyuman para karyawan yang resmi direkrut. Ini adalah momen puncak dari segala kerja keras dan usaha yang telah dilakukan selama berbulan-bulan.Ketika pita merah yang melambangkan pembukaan resmi hotel itu akhirnya dipotong oleh Bintara yang berdiri gagah di samping Aruna, gemuruh tepuk tangan menggema di seluruh ruangan.Semua orang tampak tenggelam dalam kegembiraan dan kebanggaan. Namun, di tengah keramaian itu, ada satu orang yang seolah berada dalam dunianya sendiri.Sebastian, yang biasan
Di klinik lapas, suasana terasa sunyi dan muram. Dong Min masih terbaring lemah di ranjang, tubuhnya yang kurus tampak rapuh, hampir seperti bayangan dari dirinya yang dulu. Tatapannya kosong, sering kali melamun, seakan terjebak dalam pikirannya sendiri yang kelam. Luka di pergelangan tangannya sudah mulai sembuh, namun luka di hatinya masih terasa perih, membekas dalam setiap helaan napasnya.Suster yang merawatnya selalu datang, membawa kehangatan yang berusaha meruntuhkan tembok dingin yang dibangun Dong Min di sekelilingnya.Seperti saat ini, ia datang dengan semangkuk bubur hangat, berharap bisa membuat Dong Min mau makan sedikit, agar kekuatannya kembali. Namun, setiap kali ia mendekat, Dong Min selalu berpaling, menolak kehadirannya dengan sikap acuh yang menyakitkan."Tuan Dong Min, kamu harus makan agar cepat pulih..." ujar suster itu dengan suara lembut, meski ada kelelahan dalam nadanya. Ia meletakkan mangkuk bubur di meja samping tem
Serena mengangguk, memikirkan penjelasan Nina. "Mmm, kalau begitu aku tahu cara agar dia bisa berhenti menggangguku..." ujarnya dengan senyum kecil yang penuh arti. Nina menatapnya penasaran. "Apa rencanamu, Serena?" Serena menjelaskan dengan semangat baru, "Aku harus mengajak Mira kerjasama nanti. Aku ingin membantunya menumbuhkan kembali kepercayaan dirinya. Setelah keluar dari sini, aku berencana membuka usaha kecil-kecilan. Mungkin dia bisa bergabung denganku."Nina mendengar dengan penuh perhatian, tetapi keraguan tetap ada di wajahnya. "Itu ide yang bagus, Serena, tapi pasti akan sulit membujuknya. Mira punya banyak luka dan kepercayaan yang hilang. Dia mungkin tidak akan mudah menerima tawaranmu."Serena tersenyum tipis, matanya memancarkan tekad yang kuat. "Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku percaya setiap orang punya sisi baik. Mungkin ini adalah cara untuk membantu dia melihat bahwa ada harapan dan kesempatan kedua, sama seperti y
"Serena...," panggil Nina kemudian."Ya?" Serena menatap Nina sendu."Aku punya satu permintaan, maukah kau melakukannya untukku?" Tatap Nina dengan nanar."Apa itu?" tanya Serena.Nina menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Jika nanti kau keluar dari penjara, bisakah kau datang pada anakku dan mengasuhnya?"Serena terkejut, menatap Nina dengan heran. "Kenapa kau berkata begitu? Bukankah kau juga akan keluar dari penjara?"Nina tersenyum getir, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu apakah aku akan hidup sampai hari itu tiba," bisiknya sambil menyerahkan selembar kertas pada Serena.Serena meraih kertas itu dengan tangan gemetar. Saat ia membaca hasil tes rumah sakit yang diberikan Nina, matanya terbelalak. "Leukimia...," gumamnya tak percaya.Nina mengangguk, air mata tak tertahankan lagi. "Aku sudah berusaha sekuat tenaga, tapi kondisiku semakin memburuk. Aku tidak ingin anakku hidup tanpa cint
Keesokan harinya, mereka pun beranjak untuk merencanakan kunjungan ke penjara tempat Serena ditahan. Bintara merasa sedikit gelisah, tapi ia tahu bahwa ini adalah langkah penting untuk menutup lembaran masa lalu dan melangkah ke depan dengan hati yang lebih tenang. Di mobil, dalam perjalanan ke penjara, suasana hening sesekali diwarnai dengan percakapan ringan. Namun, masing-masing dari mereka tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aruna merenung, memikirkan pertemuannya dengan Serena yang akan datang. Ia ingin melihat langsung bagaimana keadaan Serena, apakah mantan istri Bintara itu sudah berubah atau masih sama seperti dulu. Sesampainya di penjara, mereka melangkah masuk dengan langkah mantap. Petugas penjara mengarahkan mereka ke ruang kunjungan. Suasana di penjara terasa berat dan penuh dengan ketegangan yang tersimpan di dinding-dinding dingin bangunan itu. Serena duduk di sana, menatap ke luar jendela kecil yang ada di ruang kunjungan. Ketika pin
Pagi itu di rumah baru Aruna dan Bintara di Bandung, udara terasa sejuk dengan sinar matahari yang hangat menyelinap melalui jendela. Burung-burung berkicau ceria di luar, seolah-olah ikut merayakan hari baru. Di dalam rumah, aroma harum kopi dan roti panggang memenuhi udara.Aruna dengan cekatan menghidangkan sarapan di meja makan. Senyum manisnya terpancar saat melihat Bintara yang duduk menunggu dengan penuh kasih. "Bagaimana kemajuan hotelmu, Sayang?" tanya Aruna sambil menyusun piring-piring dan makanan di atas meja."Semua lancar," jawab Bintara, matanya bersinar penuh kebanggaan. "Ada Sebastian yang urus, aku tinggal nerima laporan aja. Sekarang lagi rekrut pegawai juga. Sebentar lagi grand opening hotel."Aruna tersenyum mendengar kabar baik itu. "Aku juga udah daftar kuliah online," tambahnya dengan nada riang.Bintara mengangkat alisnya, terkesan dengan semangat istrinya. "Benarkah? Hebat! Kamu memang selalu punya semangat untu
Di dunia ini, kita hidup berdampingan dengan berbagai kisah dan perjalanan hidup. Setiap individu memiliki jalan yang berbeda, namun semua saling berkaitan dalam jalinan takdir yang tak terduga.Seperti Serena, yang kini mulai menyadari kesalahannya dan bertekad untuk memulai semuanya dari awal. Penjara yang awalnya dirasa sebagai akhir, justru menjadi tempat refleksi dan pembelajaran.Dia berusaha bangkit, belajar dari masa lalu yang kelam, dan berharap dapat menebus kesalahannya dengan tindakan yang lebih baik di masa depan.Di sisi lain, ada Dong Min yang tenggelam dalam keputusasaan. Kehidupan yang dulu gemilang kini hancur berantakan. Namun, di balik setiap kegelapan, selalu ada cahaya yang menyinari. Tanpa disadarinya, ada orang-orang seperti suster Jaine yang peduli dan berusaha keras untuk menyelamatkannya, memberikan harapan dan kesempatan kedua yang tak ternilai.Kemudian, ada kisah Aruna dan Bintara, pasangan yang menghadapi setiap rint