Bintara berdiri tegang di ruang tamu rumah itu, menatap Serena dan Adi Jaya dengan mata yang penuh amarah dan determinasi. Ruangan tersebut dipenuhi oleh kesunyian yang menegangkan, hanya sesekali terganggu oleh denting jam di dinding.
“Serena, Ayah, aku di sini untuk membawa Rohana kembali ke ibunya,sudah terlalu lama kalian menahan Rohana di sini.” ucap Bintara dengan suara yang tegas. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti palu yang menghantam baja.Serena duduk di sofa, kakinya disilangkan dengan anggun, namun sorot matanya dingin. Dia mengangkat alis dan berkata dengan nada sarkastik, “Benarkah? Dan kau pikir kami akan membiarkan itu terjadi begitu saja?”Bintara menggertakkan giginya, tangannya mengepal di sisinya. “Rohana membutuhkan ibunya. Ini bukan masalah yang bisa diperdebatkan.”Adi Jaya, yang berdiri di samping Serena, menghela napas panjang. “Bintara, kau terlalu keras kepala. Serena bisa memberikan kehidupan yangBintara merasakan desakan dalam dadanya, menyadari kenyataan pahit yang harus dihadapinya. Dengan suara yang berat dan mata yang penuh penyesalan, dia berkata, “Aku harus menjauh untuk sementara waktu dari Aruna dan Rohana demi keselamatan mereka.”Aruna menatap Bintara dengan mata yang berkaca-kaca, rasa takut dan kecewa tercermin dalam pandangannya. “Kenapa, Bintara? Kenapa kamu harus pergi lagi?”Bintara menghela napas panjang, memandang Aruna dengan kesedihan mendalam. “Serena ... dia wanita yang berbahaya. Aku sedang berusaha melepaskan diri darinya, tapi ini tidak mudah. Aku perlu waktu untuk mengumpulkan bukti dan melawannya.”Lasmi menatap Bintara dengan kerutan di dahi. “Apa maksudmu, Bintara? Apakah Serena benar-benar seberbahaya itu?”Bintara mengangguk, matanya penuh tekad. “Ya, Bu. Dia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku tidak ingin Aruna dan Rohana terjebak dalam permainan berbahayanya. Aku memohon ag
Bintara membuka amplop yang Serena lemparkan di meja. Jemarinya yang gemetar mengeluarkan beberapa foto, dan pandangannya langsung terpaku pada gambar-gambar itu. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia mengambil satu foto dan memegangnya erat, menatap wajah yang sudah lama tak ia lihat. Sosok seorang wanita dengan senyum lembut, matanya penuh kasih sayang. Wanita itu berdiri di depan sebuah rumah tua, mengenakan daster sederhana yang sudah lusuh oleh waktu. Bintara jatuh terduduk di sofa, tubuhnya lunglai. Matanya mulai memanas dan pandangannya kabur oleh air mata yang mulai mengalir tanpa henti.Foto-foto itu jatuh berserakan di lantai, namun tangannya masih menggenggam satu foto dengan erat, seolah-olah dengan memegangnya ia bisa kembali merasakan kehadiran wanita yang telah lama hilang dari hidupnya. Air matanya jatuh membasahi foto itu, wajah wanita yang terlihat buram oleh tetesan yang terus mengalir. Bintara menundukkan kepala, dadanya s
Bintara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Tangannya gemetar saat mengancingkan kemejanya, kancing demi kancing, seolah setiap gerakan mengingatkannya pada kesalahan yang baru saja diperbuat. Kemejanya kusut, tanda-tanda pertempuran hasrat yang baru saja terjadi. Serena duduk di sofa, tubuhnya hanya tertutupi oleh sisa-sisa gaun yang telah dirobek Bintara. Kulitnya yang halus terpapar oleh cahaya remang-remang lampu, memberikan kesan yang memabukkan.Dia menatap Bintara dengan mata yang berbinar, senyum puas terlukis di bibirnya yang merah. Seperti predator yang baru saja memenangkan buruannya, Serena menikmati setiap detik kebisuan yang menyelimuti mereka.Larut malam di penthouse terasa hening, hanya diiringi oleh suara napas mereka yang masih terengah. Aroma wine dan keringat bercampur menjadi satu, menambah ketegangan yang sudah terasa begitu kental.Bintara merapikan rambutnya, menunduk u
“Itu urusanku,” jawab Bintara dengan suara serak, mencoba menahan emosi yang menggelora di dalam dirinya. Dia bangkit, berniat meninggalkan kamar dengan langkah cepat, tetapi Serena melangkah cepat dan menahannya dengan sentuhan lembut di lengannya.“Bintara,” bisiknya penuh arti, matanya yang tajam menatap dalam-dalam ke mata Bintara. “Ingat janjimu. Kau harus memperlakukan aku layaknya seorang istri.”Bintara terdiam, menelan ludah dengan susah payah. Tekanan dari Serena terasa begitu nyata dan mengikat. Kamar yang semula terasa luas dan dingin kini seakan menciut, mencengkeramnya dalam dilema yang tak berujung.Serena mendekat, jarak di antara mereka begitu dekat hingga Bintara bisa merasakan hembusan napasnya.Serena melingkarkan lengannya ke leher Bintara, menariknya lebih dekat. "Kau harus tidur di sini malam ini," ucapnya dengan nada yang penuh kepastian dan tuntutan. Bintara merasakan berat janji yang pernah ia ucapkan, kini menyesakkan da
Di sebuah coffee shop yang elegan di dalam hotel milik Bintara, aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan keharuman bunga segar memenuhi udara.Lampu-lampu kristal menggantung dari langit-langit, memberikan cahaya lembut yang menambah suasana intim di tempat tersebut.Bintara duduk di sebuah meja dekat jendela besar, menatap keluar melihat pemandangan kota yang sibuk di bawah sana. Pintu coffee shop terbuka, dan Sietta masuk dengan anggun.Penampilannya yang berkelas dengan balutan gaun desainer menambah pesona kehadirannya. Dia melangkah mendekati meja Bintara dengan langkah percaya diri."Bintara," sapa Sietta dengan senyum tipis. "Senang akhirnya bisa bertemu denganmu."Bintara berdiri dan menjabat tangannya. "Sietta, aku tidak menyangka kamu sudah kembali dari New York.”Sietta duduk dengan elegan dan melambaikan tangan kepada pelayan untuk memesan kopi. "Aku pulang untuk mengadakan launching busana dari merk yang aku des
Waktu terus bergulir, dan kondisi Aruna perlahan-lahan membaik. Setelah menjalani perawatan dan terapi di rumah sakit, kini ia kembali ke rumah. Meski luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh, ia mulai menemukan kekuatan untuk bangkit demi putrinya, Rohana.Di rumah sederhana itu, suasana pagi begitu hangat. Brahma dan Lasmi, orang tua Aruna, kini mengisi hari-hari mereka dengan membantu di warung sayur kecil yang terletak di depan rumah. Brahma, dengan tangan-tangan terampilnya, menata sayuran segar di atas meja kayu, sementara Lasmi melayani pelanggan dengan senyuman ramah yang senantiasa menyapa.Aruna, yang kini duduk di teras rumah, menatap kedua orang tuanya dengan penuh rasa syukur. Kehadiran mereka adalah penopang dalam kehidupannya yang sempat terasa hampa. Ia melihat ayahnya tertawa kecil ketika seorang pelanggan memuji sayuran mereka, sementara ibunya dengan sabar menjelaskan harga-harga barang dagangan.Meski beban di hatinya masih terasa berat,
Aruna terdiam, pandangannya tertuju pada keranjang sayur yang jatuh, sayur-mayur berserakan di tanah. Seakan dunia sejenak berhenti berputar, hanya suara detak jantungnya yang terasa menggema di telinga.Pengakuan Sebastian yang tiba-tiba membuat hatinya bergetar. Mata Aruna yang lembut menatap Sebastian, masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Sebastian menarik napas panjang, mencoba meredakan debaran di dadanya. Ia menatap Aruna dengan penuh ketulusan, berusaha menunjukkan bahwa perasaannya sungguh-sungguh.“Aruna, aku tahu situasimu sekarang. Kamu masih istri Bintara, dan aku gak bermaksud membuat semuanya menjadi rumit. Aku cuma mau kamu tahu perasaanku. Kamu sangat berarti bagi aku, dan aku mau kamu tahu itu.”Mata Aruna mulai berkaca-kaca. Ia merasa perasaannya bercampur jadi satu antara terharu dan bingung. “Sebastian, aku …” kata-katanya terputus, sulit baginya untuk mengungkapkan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
Di malam yang sama, Bintara duduk sendirian di dalam kamar apartemennya. Kamar itu adalah tempat ia melepaskan penat dari hiruk-pikuk pekerjaan dan kehidupan rumah tangganya yang penuh konflik dengan Serena. Apartemen ini menjadi saksi bisu kenangan saat ia bersama Aruna.Bintara berdiri di dekat jendela besar yang menghadap kota, lampu-lampu berkelip di kejauhan, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti malam. Angin malam yang sejuk masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, menyegarkan udara di dalam ruangan. Ia menatap langit yang bertabur bintang, pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke malam pertama kali Aruna menjemputnya pulang ke apartemen ini.Bintara mengenang kembali saat-saat pertama kali ia menyentuh Aruna di kamar ini. Malam itu begitu magis, dalam pengaruh obat perangsang yang diam-diam Dong Min berikan ke dalam gelas alkoholnya untuk menjebaknya malam itu, malah terpaksa melampiaskannya pada Aruna."Aruna, maafkan aku," bisik