Aruna membuka matanya perlahan, cahaya matahari yang masuk melalui jendela membuatnya mengerjapkan mata. Perlahan, pandangannya mulai fokus, dan dia menyadari dirinya berada di sebuah kamar rawat inap. Aroma antiseptik yang khas segera menyadarkannya akan tempat ini.
Langit-langit putih dengan lampu fluorescent, tirai biru yang mengelilingi tempat tidurnya, dan suara mesin monitor yang berdetak pelan, semuanya mengonfirmasi bahwa dia berada di rumah sakit. Aruna merasa tubuhnya lemas, namun kesadaran penuh mulai kembali.Di sudut ruangan, Hasan berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, tatapannya tidak pernah lepas dari Aruna. Ketika melihatnya membuka mata, ekspresi lega dan senyum hangat terukir di wajahnya. Dia segera mendekat, memeriksa kondisinya dengan cekatan, namun lembut.Aruna mencoba bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Hasan menempatkan tangannya di bahu Aruna, menahannya dengan lembut tapi tegas. "Jangan terlalu memaksakan diri, Aruna,"Lasmi tertegun mendengar ucapan Brahma, ia meletakkan tangannya di bahu suaminya.Jangan terlalu gegabah, Yah. Beban anak kita sudah cukup banyak karena masalah Rohana. Biarkan dia yang memutuskan sendiri jalan hidupnya. Kita sebagai orang tua hanya bisa mendampinginya.”Lasmi berusaha menenangkan pikiran suaminya. Ia tahu, suaminya tak rela bahwa anak semata wayangnya terpuruk dalam lingkaran hitam yang menyeretnya dalam kegelapan.**Di ruangan dokter yang terletak di ujung koridor rumah sakit, suasana terasa tenang namun penuh kekhawatiran. Ruangan itu berukuran sedang, dindingnya berwarna putih bersih dengan beberapa sertifikat dan penghargaan yang tergantung rapi. Sebuah meja kayu besar berdiri di tengah ruangan, dihiasi dengan tumpukan berkas medis dan sebuah komputer. Di belakang meja, ada rak buku yang penuh dengan literatur kedokteran dan beberapa tanaman hijau yang menambah kesan hidup.Dr. Hasan duduk di kursinya, tam
Bintara berdiri tegang di ruang tamu rumah itu, menatap Serena dan Adi Jaya dengan mata yang penuh amarah dan determinasi. Ruangan tersebut dipenuhi oleh kesunyian yang menegangkan, hanya sesekali terganggu oleh denting jam di dinding. “Serena, Ayah, aku di sini untuk membawa Rohana kembali ke ibunya,sudah terlalu lama kalian menahan Rohana di sini.” ucap Bintara dengan suara yang tegas. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti palu yang menghantam baja.Serena duduk di sofa, kakinya disilangkan dengan anggun, namun sorot matanya dingin. Dia mengangkat alis dan berkata dengan nada sarkastik, “Benarkah? Dan kau pikir kami akan membiarkan itu terjadi begitu saja?”Bintara menggertakkan giginya, tangannya mengepal di sisinya. “Rohana membutuhkan ibunya. Ini bukan masalah yang bisa diperdebatkan.”Adi Jaya, yang berdiri di samping Serena, menghela napas panjang. “Bintara, kau terlalu keras kepala. Serena bisa memberikan kehidupan yang
Bintara merasakan desakan dalam dadanya, menyadari kenyataan pahit yang harus dihadapinya. Dengan suara yang berat dan mata yang penuh penyesalan, dia berkata, “Aku harus menjauh untuk sementara waktu dari Aruna dan Rohana demi keselamatan mereka.”Aruna menatap Bintara dengan mata yang berkaca-kaca, rasa takut dan kecewa tercermin dalam pandangannya. “Kenapa, Bintara? Kenapa kamu harus pergi lagi?”Bintara menghela napas panjang, memandang Aruna dengan kesedihan mendalam. “Serena ... dia wanita yang berbahaya. Aku sedang berusaha melepaskan diri darinya, tapi ini tidak mudah. Aku perlu waktu untuk mengumpulkan bukti dan melawannya.”Lasmi menatap Bintara dengan kerutan di dahi. “Apa maksudmu, Bintara? Apakah Serena benar-benar seberbahaya itu?”Bintara mengangguk, matanya penuh tekad. “Ya, Bu. Dia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku tidak ingin Aruna dan Rohana terjebak dalam permainan berbahayanya. Aku memohon ag
Bintara membuka amplop yang Serena lemparkan di meja. Jemarinya yang gemetar mengeluarkan beberapa foto, dan pandangannya langsung terpaku pada gambar-gambar itu. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia mengambil satu foto dan memegangnya erat, menatap wajah yang sudah lama tak ia lihat. Sosok seorang wanita dengan senyum lembut, matanya penuh kasih sayang. Wanita itu berdiri di depan sebuah rumah tua, mengenakan daster sederhana yang sudah lusuh oleh waktu. Bintara jatuh terduduk di sofa, tubuhnya lunglai. Matanya mulai memanas dan pandangannya kabur oleh air mata yang mulai mengalir tanpa henti.Foto-foto itu jatuh berserakan di lantai, namun tangannya masih menggenggam satu foto dengan erat, seolah-olah dengan memegangnya ia bisa kembali merasakan kehadiran wanita yang telah lama hilang dari hidupnya. Air matanya jatuh membasahi foto itu, wajah wanita yang terlihat buram oleh tetesan yang terus mengalir. Bintara menundukkan kepala, dadanya s
Bintara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Tangannya gemetar saat mengancingkan kemejanya, kancing demi kancing, seolah setiap gerakan mengingatkannya pada kesalahan yang baru saja diperbuat. Kemejanya kusut, tanda-tanda pertempuran hasrat yang baru saja terjadi. Serena duduk di sofa, tubuhnya hanya tertutupi oleh sisa-sisa gaun yang telah dirobek Bintara. Kulitnya yang halus terpapar oleh cahaya remang-remang lampu, memberikan kesan yang memabukkan.Dia menatap Bintara dengan mata yang berbinar, senyum puas terlukis di bibirnya yang merah. Seperti predator yang baru saja memenangkan buruannya, Serena menikmati setiap detik kebisuan yang menyelimuti mereka.Larut malam di penthouse terasa hening, hanya diiringi oleh suara napas mereka yang masih terengah. Aroma wine dan keringat bercampur menjadi satu, menambah ketegangan yang sudah terasa begitu kental.Bintara merapikan rambutnya, menunduk u
“Itu urusanku,” jawab Bintara dengan suara serak, mencoba menahan emosi yang menggelora di dalam dirinya. Dia bangkit, berniat meninggalkan kamar dengan langkah cepat, tetapi Serena melangkah cepat dan menahannya dengan sentuhan lembut di lengannya.“Bintara,” bisiknya penuh arti, matanya yang tajam menatap dalam-dalam ke mata Bintara. “Ingat janjimu. Kau harus memperlakukan aku layaknya seorang istri.”Bintara terdiam, menelan ludah dengan susah payah. Tekanan dari Serena terasa begitu nyata dan mengikat. Kamar yang semula terasa luas dan dingin kini seakan menciut, mencengkeramnya dalam dilema yang tak berujung.Serena mendekat, jarak di antara mereka begitu dekat hingga Bintara bisa merasakan hembusan napasnya.Serena melingkarkan lengannya ke leher Bintara, menariknya lebih dekat. "Kau harus tidur di sini malam ini," ucapnya dengan nada yang penuh kepastian dan tuntutan. Bintara merasakan berat janji yang pernah ia ucapkan, kini menyesakkan da
Di sebuah coffee shop yang elegan di dalam hotel milik Bintara, aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan keharuman bunga segar memenuhi udara.Lampu-lampu kristal menggantung dari langit-langit, memberikan cahaya lembut yang menambah suasana intim di tempat tersebut.Bintara duduk di sebuah meja dekat jendela besar, menatap keluar melihat pemandangan kota yang sibuk di bawah sana. Pintu coffee shop terbuka, dan Sietta masuk dengan anggun.Penampilannya yang berkelas dengan balutan gaun desainer menambah pesona kehadirannya. Dia melangkah mendekati meja Bintara dengan langkah percaya diri."Bintara," sapa Sietta dengan senyum tipis. "Senang akhirnya bisa bertemu denganmu."Bintara berdiri dan menjabat tangannya. "Sietta, aku tidak menyangka kamu sudah kembali dari New York.”Sietta duduk dengan elegan dan melambaikan tangan kepada pelayan untuk memesan kopi. "Aku pulang untuk mengadakan launching busana dari merk yang aku des
Waktu terus bergulir, dan kondisi Aruna perlahan-lahan membaik. Setelah menjalani perawatan dan terapi di rumah sakit, kini ia kembali ke rumah. Meski luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh, ia mulai menemukan kekuatan untuk bangkit demi putrinya, Rohana.Di rumah sederhana itu, suasana pagi begitu hangat. Brahma dan Lasmi, orang tua Aruna, kini mengisi hari-hari mereka dengan membantu di warung sayur kecil yang terletak di depan rumah. Brahma, dengan tangan-tangan terampilnya, menata sayuran segar di atas meja kayu, sementara Lasmi melayani pelanggan dengan senyuman ramah yang senantiasa menyapa.Aruna, yang kini duduk di teras rumah, menatap kedua orang tuanya dengan penuh rasa syukur. Kehadiran mereka adalah penopang dalam kehidupannya yang sempat terasa hampa. Ia melihat ayahnya tertawa kecil ketika seorang pelanggan memuji sayuran mereka, sementara ibunya dengan sabar menjelaskan harga-harga barang dagangan.Meski beban di hatinya masih terasa berat,
Di bawah langit petang yang mulai bersemburat jingga, Aruna, Bintara, dan Rohana berdiri di gazebo restoran hotel, memandang hamparan lapangan golf yang terbentang luas. Angin sore berhembus lembut, membawa keharuman bunga-bunga yang mekar di sekitar mereka.Bintara melingkarkan lengannya di pinggang Aruna, menariknya lebih dekat sebelum mengecup kening istrinya dengan penuh cinta."Aku sangat mencintaimu," bisik Bintara, suaranya penuh dengan kehangatan dan ketulusan.Aruna tersenyum, namun senyumnya tiba-tiba memudar, wajahnya berubah pucat. Dia menutupi mulutnya dengan tangan, mencoba menahan mual yang tiba-tiba menyerangnya. Bintara segera terlihat khawatir, alisnya berkerut dalam kecemasan. "Aruna, kamu baik-baik saja?"Aruna hanya mengangguk pelan, lalu melepaskan Rohana ke pelukan babysitter yang berdiri tak jauh dari mereka. Setelah memastikan Rohana aman, Aruna kembali menatap Bintara dengan senyuman yang lembut. Tanpa berkata apa-apa, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari
Di tengah suasana meriah di Grand Opening Hotel, Bu Najiah juga turut hadir. ia tampak menikmati sore di suatu gazebo di taman belakang restoran hotel, ditemani riak air kolam yang memantulkan sinar matahari senja. Ikan-ikan berenang tenang, seolah menambah kedamaian di sekitarnya. Namun, jauh di dalam hatinya, ada kegelisahan yang belum terobati. Suara langkah kaki mendekat dari arah belakangnya. Ia tahu siapa itu sebelum sosoknya muncul di samping. "Lama tidak bertemu," sapa Adi Jaya, suaranya lembut namun ada nada canggung di dalamnya. Bu Najiah menoleh, melihat Adi Jaya yang berdiri dengan sikap yang penuh kehati-hatian. Matanya menatap tajam, namun ada kebingungan yang mengintip di balik ketegasan itu. "Ya, sudah cukup lama," jawab Bu Najiah pelan, sedikit mengeraskan hatinya untuk tidak terbawa perasaan. Pandangannya kembali ke kolam, menyembunyikan kegelisahan yang menghantui dirinya. Adi Jaya me
Sementara Dong Min mulai menemukan harapan baru dalam hidupnya, jauh di tempat lain, hati Sebastian perlahan-lahan tersentuh oleh pesona seorang wanita yang kini telah menjadi pusat perhatiannya.Grand opening hotel yang berlangsung meriah menjadi saksi dari perasaan yang tak terduga ini. Acara penuh kemegahan itu menampilkan segala kemewahan yang telah disiapkan dengan teliti oleh Bintara dan timnya.Setiap sudut ruangan dipenuhi sorak-sorai dan senyuman para karyawan yang resmi direkrut. Ini adalah momen puncak dari segala kerja keras dan usaha yang telah dilakukan selama berbulan-bulan.Ketika pita merah yang melambangkan pembukaan resmi hotel itu akhirnya dipotong oleh Bintara yang berdiri gagah di samping Aruna, gemuruh tepuk tangan menggema di seluruh ruangan.Semua orang tampak tenggelam dalam kegembiraan dan kebanggaan. Namun, di tengah keramaian itu, ada satu orang yang seolah berada dalam dunianya sendiri.Sebastian, yang biasan
Di klinik lapas, suasana terasa sunyi dan muram. Dong Min masih terbaring lemah di ranjang, tubuhnya yang kurus tampak rapuh, hampir seperti bayangan dari dirinya yang dulu. Tatapannya kosong, sering kali melamun, seakan terjebak dalam pikirannya sendiri yang kelam. Luka di pergelangan tangannya sudah mulai sembuh, namun luka di hatinya masih terasa perih, membekas dalam setiap helaan napasnya.Suster yang merawatnya selalu datang, membawa kehangatan yang berusaha meruntuhkan tembok dingin yang dibangun Dong Min di sekelilingnya.Seperti saat ini, ia datang dengan semangkuk bubur hangat, berharap bisa membuat Dong Min mau makan sedikit, agar kekuatannya kembali. Namun, setiap kali ia mendekat, Dong Min selalu berpaling, menolak kehadirannya dengan sikap acuh yang menyakitkan."Tuan Dong Min, kamu harus makan agar cepat pulih..." ujar suster itu dengan suara lembut, meski ada kelelahan dalam nadanya. Ia meletakkan mangkuk bubur di meja samping tem
Serena mengangguk, memikirkan penjelasan Nina. "Mmm, kalau begitu aku tahu cara agar dia bisa berhenti menggangguku..." ujarnya dengan senyum kecil yang penuh arti. Nina menatapnya penasaran. "Apa rencanamu, Serena?" Serena menjelaskan dengan semangat baru, "Aku harus mengajak Mira kerjasama nanti. Aku ingin membantunya menumbuhkan kembali kepercayaan dirinya. Setelah keluar dari sini, aku berencana membuka usaha kecil-kecilan. Mungkin dia bisa bergabung denganku."Nina mendengar dengan penuh perhatian, tetapi keraguan tetap ada di wajahnya. "Itu ide yang bagus, Serena, tapi pasti akan sulit membujuknya. Mira punya banyak luka dan kepercayaan yang hilang. Dia mungkin tidak akan mudah menerima tawaranmu."Serena tersenyum tipis, matanya memancarkan tekad yang kuat. "Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku percaya setiap orang punya sisi baik. Mungkin ini adalah cara untuk membantu dia melihat bahwa ada harapan dan kesempatan kedua, sama seperti y
"Serena...," panggil Nina kemudian."Ya?" Serena menatap Nina sendu."Aku punya satu permintaan, maukah kau melakukannya untukku?" Tatap Nina dengan nanar."Apa itu?" tanya Serena.Nina menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Jika nanti kau keluar dari penjara, bisakah kau datang pada anakku dan mengasuhnya?"Serena terkejut, menatap Nina dengan heran. "Kenapa kau berkata begitu? Bukankah kau juga akan keluar dari penjara?"Nina tersenyum getir, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu apakah aku akan hidup sampai hari itu tiba," bisiknya sambil menyerahkan selembar kertas pada Serena.Serena meraih kertas itu dengan tangan gemetar. Saat ia membaca hasil tes rumah sakit yang diberikan Nina, matanya terbelalak. "Leukimia...," gumamnya tak percaya.Nina mengangguk, air mata tak tertahankan lagi. "Aku sudah berusaha sekuat tenaga, tapi kondisiku semakin memburuk. Aku tidak ingin anakku hidup tanpa cint
Keesokan harinya, mereka pun beranjak untuk merencanakan kunjungan ke penjara tempat Serena ditahan. Bintara merasa sedikit gelisah, tapi ia tahu bahwa ini adalah langkah penting untuk menutup lembaran masa lalu dan melangkah ke depan dengan hati yang lebih tenang. Di mobil, dalam perjalanan ke penjara, suasana hening sesekali diwarnai dengan percakapan ringan. Namun, masing-masing dari mereka tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aruna merenung, memikirkan pertemuannya dengan Serena yang akan datang. Ia ingin melihat langsung bagaimana keadaan Serena, apakah mantan istri Bintara itu sudah berubah atau masih sama seperti dulu. Sesampainya di penjara, mereka melangkah masuk dengan langkah mantap. Petugas penjara mengarahkan mereka ke ruang kunjungan. Suasana di penjara terasa berat dan penuh dengan ketegangan yang tersimpan di dinding-dinding dingin bangunan itu. Serena duduk di sana, menatap ke luar jendela kecil yang ada di ruang kunjungan. Ketika pin
Pagi itu di rumah baru Aruna dan Bintara di Bandung, udara terasa sejuk dengan sinar matahari yang hangat menyelinap melalui jendela. Burung-burung berkicau ceria di luar, seolah-olah ikut merayakan hari baru. Di dalam rumah, aroma harum kopi dan roti panggang memenuhi udara.Aruna dengan cekatan menghidangkan sarapan di meja makan. Senyum manisnya terpancar saat melihat Bintara yang duduk menunggu dengan penuh kasih. "Bagaimana kemajuan hotelmu, Sayang?" tanya Aruna sambil menyusun piring-piring dan makanan di atas meja."Semua lancar," jawab Bintara, matanya bersinar penuh kebanggaan. "Ada Sebastian yang urus, aku tinggal nerima laporan aja. Sekarang lagi rekrut pegawai juga. Sebentar lagi grand opening hotel."Aruna tersenyum mendengar kabar baik itu. "Aku juga udah daftar kuliah online," tambahnya dengan nada riang.Bintara mengangkat alisnya, terkesan dengan semangat istrinya. "Benarkah? Hebat! Kamu memang selalu punya semangat untu
Di dunia ini, kita hidup berdampingan dengan berbagai kisah dan perjalanan hidup. Setiap individu memiliki jalan yang berbeda, namun semua saling berkaitan dalam jalinan takdir yang tak terduga.Seperti Serena, yang kini mulai menyadari kesalahannya dan bertekad untuk memulai semuanya dari awal. Penjara yang awalnya dirasa sebagai akhir, justru menjadi tempat refleksi dan pembelajaran.Dia berusaha bangkit, belajar dari masa lalu yang kelam, dan berharap dapat menebus kesalahannya dengan tindakan yang lebih baik di masa depan.Di sisi lain, ada Dong Min yang tenggelam dalam keputusasaan. Kehidupan yang dulu gemilang kini hancur berantakan. Namun, di balik setiap kegelapan, selalu ada cahaya yang menyinari. Tanpa disadarinya, ada orang-orang seperti suster Jaine yang peduli dan berusaha keras untuk menyelamatkannya, memberikan harapan dan kesempatan kedua yang tak ternilai.Kemudian, ada kisah Aruna dan Bintara, pasangan yang menghadapi setiap rint