Sambil menggendong Rohana yang perlahan tertidur, Aruna merasakan getaran di sakunya. Dia mengeluarkan ponselnya dan melihat ada pesan dari Hasan.
"Aruna, bagaimana kabarmu setelah ibu-ibu gosip itu mengganggumu? Jangan terlalu diambil hati. Di sini, memang ibu-ibu doyan bergosip. Mereka hanya iri melihat perhatian yang kamu dapatkan," tulis Hasan.Aruna membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Dia merasa sedikit lega karena ada yang memperhatikannya dan mengerti situasinya. Namun, rasa cemas dan lelah tetap menyelimuti hatinya. Dia membalas pesan Hasan dengan jemari yang gemetar."Terima kasih, Hasan. Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah. Rohana juga mulai pulih berkat bantuanmu. Terima kasih banyak."Hasan membalas pesan dengan cepat. "Sama-sama, Aruna. Aku akan selalu ada untuk membantumu. Jangan ragu untuk menghubungiku jika kamu butuh sesuatu."Aruna tersenyum tipis, merasakan kehangatan dari perhatian Hasan. Namun, di dalaMalam itu, Rohana tiba-tiba demam. Aruna merasakan tubuh bayinya yang panas dan gelisah, membuat hatinya cemas. Tanpa berpikir panjang, dia segera menelpon Hasan untuk memeriksa Rohana. Hasan, yang selalu siap membantu, segera menuju rumah Aruna.Ketika Hasan tiba, dia segera memeriksa Rohana dengan teliti. "Demamnya tinggi, tapi jangan khawatir, kita bisa mengatasinya," kata Hasan menenangkan. Mereka lalu duduk di teras rumah, di bawah cahaya redup lampu malam, sementara Hasan memberikan instruksi kepada Aruna tentang cara menurunkan demam Rohana.Waktu berlalu, dan Aruna merasa sedikit lega dengan kehadiran Hasan. Dia menyandarkan dirinya pada sandaran kursi, memeluk Rohana yang mulai tenang di pangkuannya. Hasan duduk di sebelahnya, mengawasi kondisi Rohana dengan seksama.“Terima kasih, Hasan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpamu,” kata Aruna dengan suara bergetar.Hasan menatapnya dengan hangat, "Aku selalu ada untukmu, A
Lalu Bintara berlutut di hadapan Aruna, air matanya menggenang, penuh dengan penyesalan dan harapan yang samar. Ia mendongak, menatap Aruna dengan mata yang berkaca-kaca. Hanya satu kata yang terucap, begitu lirih, bercampur dengan suara tangis yang ia tahan, "Maaf."Aruna terdiam, air matanya masih mengalir, tetapi kini ia terpaku melihat Bintara dalam kondisi seperti itu. Hati Aruna terasa berkecamuk. Selama ini ia menahan segala rasa sakit dan ketidakpastian, tetapi melihat Bintara yang terlihat begitu rapuh dan penuh penyesalan, hatinya mulai luluh. Namun, rasa sakit dan keraguan masih menghantui pikirannya."Maaf?" Aruna mengulangi kata itu, suaranya bergetar. "Maaf untuk apa, Bintara? Maaf karena telah membuatku jatuh cinta padamu? Maaf karena harus menjalani hidup yang penuh dengan rasa takut dan cemas? Atau maaf karena tidak pernah benar-benar memilih aku?"Bintara menggeleng, air matanya jatuh satu per satu. "Maaf untuk semuanya, Aruna. Maaf karen
Pagi itu matahari muncul dari balik bukit dengan kehangatan yang lembut, menerangi kota kecil dengan sinar yang hangat dan menyegarkan. Burung-burung berkicau riang, mengiringi awan-awan tipis yang bergerak perlahan di langit biru. Udara pagi yang segar membawa aroma tanah yang masih basah setelah embun malam, menciptakan suasana yang tenang dan damai.Di warung sayur Aruna, suasana pagi terasa hidup. Ibu-ibu dari lingkungan sekitar mulai berdatangan, membawa tas belanja dan saling bertukar kabar sambil memilih sayur-sayuran segar yang dipajang rapi. Tawa kecil dan obrolan ringan mengisi udara, menambah hangat suasana pagi.Di teras rumah, Bintara terlihat sedang menggendong Rohana dengan penuh kasih sayang. Matahari pagi yang hangat memantul di wajahnya, menambah kilau di mata penuh cinta saat ia melihat bayinya. Rohana, dengan mata yang besar dan cerah, memandang sekeliling dengan rasa ingin tahu yang polos.Beberapa ibu-ibu yang sedang belanja di warung
Serena mengirim pesan teks pada Bintara dengan nada yang sengaja dibuat seolah ia tidak mengetahui apa-apa. "Pagi, sayang. Kamu di mana? Aku bangun dan gak ada kamu di rumah."Pesan itu dikirim dengan cepat, dan Serena menunggu balasan dari Bintara dengan sabar. Ia tahu betul bagaimana memainkan perannya kali ini. Tidak butuh waktu lama bagi Bintara untuk membalas pesannya. "Pagi, Serena. Maaf, ada urusan pekerjaan di luar kota. Aku harus pergi lebih awal."Membaca pesan itu, Serena tersenyum getir. Di satu sisi, ia marah dan merasa dikhianati, namun di sisi lain, hal ini justru memperkuat tekadnya untuk menjalankan rencananya. Ia mengetik balasan dengan tenang, menyembunyikan kemarahan dan kepedihannya di balik kata-kata manis. "Baiklah, hati-hati di jalan. Aku akan menunggumu pulang."Serena mematikan ponselnya dan meletakkannya di atas meja dengan perasaan campur aduk. Ia menatap keluar jendela, ke arah jalan yang sepi, dan tersenyum sinis.Ras
Pagi itu, suasana di warung sayur Aruna sangat ramai. Sinar matahari menyusup di antara dedaunan pohon yang rimbun, menciptakan bayangan yang bergerak pelan di tanah. Udara pagi yang sejuk membawa semilir angin yang menggugurkan beberapa helai daun kering. Aroma segar sayuran yang baru saja dipanen menyebar di udara, menyatu dengan wangi tanah yang masih basah oleh embun.Ibu-ibu mulai berdatangan, membawa tas belanjaan anyaman mereka. Mereka berceloteh riang, saling menyapa dan berbincang tentang hal-hal sehari-hari. Beberapa anak kecil berlarian di sekitar, tertawa dan bermain dengan riang. Suara ayam berkokok dan burung berkicau melengkapi kehangatan pagi itu, menambah kesan harmonis pada suasana desa yang damai.Aruna, dengan senyum ramahnya, melayani para pelanggan yang datang. Tangannya cekatan memilih dan menimbang sayuran, sambil sesekali menjawab pertanyaan atau sekadar ikut tertawa mendengar lelucon yang dilemparkan oleh ibu-ibu yang berbelanja. Warung sa
Sebagian ibu-ibu diam-diam mengeluarkan ponsel mereka dan mulai merekam momen itu. Kamera-kamera tersembunyi di balik tangan mereka yang tampak seolah memegang dompet atau tas belanja, tetapi sebenarnya merekam setiap detik drama yang tengah berlangsung.Aruna menyadari bahwa semakin banyak mata yang mengawasinya, semakin banyak bukti yang terkumpul. Dia merasakan desakan untuk segera menghentikan situasi ini, tetapi setiap kata yang ingin keluar dari mulutnya terasa tertahan oleh rasa takut dan cemas.Serena, melihat bahwa aksinya telah berhasil menarik perhatian, melanjutkan dengan lebih dramatis. “Aku berharap, Aruna, kita bisa menemukan jalan untuk memperbaiki semua ini. Demi Rohana, demi masa depannya.”Tetesan air mata Serena terus mengalir, mengundang simpati dari para ibu-ibu yang menyaksikan. Mereka berbisik-bisik lebih keras, beberapa di antaranya terlihat menyeka air mata, terharu oleh pemandangan tersebut.“Ini sangat menyedihkan,” bis
Sebastian, meski jantungnya berdetak cepat, mengakui kerja samanya dengan Serena kepada Bintara. "Aku bekerja sama dengan Serena dulu," katanya pelan, namun tegas. "Untuk sama-sama menjauhkanmu dari Aruna."Bintara tersulut emosi mendengar pengakuan itu. Dengan cepat, dia mencengkeram kerah baju Sebastian, wajahnya merah padam. "Kau apa?!" suaranya hampir serak oleh kemarahan.Namun, tatapan Sebastian tetap tajam, seolah tak gentar sedikit pun. "Aku sudah bilang, jika kau lengah, aku yang akan menggantikan posisimu di samping Aruna," ujarnya dingin. "Tapi untuk saat ini, kita harus bekerja sama lepas dari cengkeraman Serena!"Bintara perlahan melepaskan cengkeramannya, meski tangannya masih bergetar oleh amarah. "Kau tak tahu betapa sakitnya ini," gumamnya, sambil menggebrak meja dengan keras, meluapkan kekesalannya.Sebastian hanya menatapnya dengan emosi yang tertahan, mencoba menenangkan diri. "Aku tahu, Bintara. Tapi kita harus berpikir jernih
Dalam tangkapan kamera ponsel, terlihat jelas Dong Min yang mendekatkan wajahnya ke arah Serena. Mata mereka bertatapan tajam, dan senyum tipis Dong Min tampak ambigu di bawah cahaya temaram sky bar. Dong Min berbisik lembut, namun penuh hasrat, "Serena, kau tahu aku bisa memberikan lebih dari sekadar dukungan bisnis." Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Serena, napasnya menghangatkan kulitnya. "Kau pantas mendapatkan lebih."Serena menjaga wajahnya tetap tenang, namun matanya menyiratkan ketegangan yang tertahan. Ia menahan napas sejenak, mencoba agar ia terlihat terkendali. Sementara itu, tangan Dong Min secara halus masih bermain di area milik Serena di bawah sana.Dalam cahaya remang-remang, bayangan mereka seolah menari di dinding, menciptakan kesan bahwa percakapan ini jauh lebih intim dan penuh rahasia. Bagi siapapun yang melihatnya, momen ini akan tampak ambigu, sarat dengan godaan yang tidak terbantahkan.Dong Min melanjutkan, suaranya ny
Di bawah langit petang yang mulai bersemburat jingga, Aruna, Bintara, dan Rohana berdiri di gazebo restoran hotel, memandang hamparan lapangan golf yang terbentang luas. Angin sore berhembus lembut, membawa keharuman bunga-bunga yang mekar di sekitar mereka.Bintara melingkarkan lengannya di pinggang Aruna, menariknya lebih dekat sebelum mengecup kening istrinya dengan penuh cinta."Aku sangat mencintaimu," bisik Bintara, suaranya penuh dengan kehangatan dan ketulusan.Aruna tersenyum, namun senyumnya tiba-tiba memudar, wajahnya berubah pucat. Dia menutupi mulutnya dengan tangan, mencoba menahan mual yang tiba-tiba menyerangnya. Bintara segera terlihat khawatir, alisnya berkerut dalam kecemasan. "Aruna, kamu baik-baik saja?"Aruna hanya mengangguk pelan, lalu melepaskan Rohana ke pelukan babysitter yang berdiri tak jauh dari mereka. Setelah memastikan Rohana aman, Aruna kembali menatap Bintara dengan senyuman yang lembut. Tanpa berkata apa-apa, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari
Di tengah suasana meriah di Grand Opening Hotel, Bu Najiah juga turut hadir. ia tampak menikmati sore di suatu gazebo di taman belakang restoran hotel, ditemani riak air kolam yang memantulkan sinar matahari senja. Ikan-ikan berenang tenang, seolah menambah kedamaian di sekitarnya. Namun, jauh di dalam hatinya, ada kegelisahan yang belum terobati. Suara langkah kaki mendekat dari arah belakangnya. Ia tahu siapa itu sebelum sosoknya muncul di samping. "Lama tidak bertemu," sapa Adi Jaya, suaranya lembut namun ada nada canggung di dalamnya. Bu Najiah menoleh, melihat Adi Jaya yang berdiri dengan sikap yang penuh kehati-hatian. Matanya menatap tajam, namun ada kebingungan yang mengintip di balik ketegasan itu. "Ya, sudah cukup lama," jawab Bu Najiah pelan, sedikit mengeraskan hatinya untuk tidak terbawa perasaan. Pandangannya kembali ke kolam, menyembunyikan kegelisahan yang menghantui dirinya. Adi Jaya me
Sementara Dong Min mulai menemukan harapan baru dalam hidupnya, jauh di tempat lain, hati Sebastian perlahan-lahan tersentuh oleh pesona seorang wanita yang kini telah menjadi pusat perhatiannya.Grand opening hotel yang berlangsung meriah menjadi saksi dari perasaan yang tak terduga ini. Acara penuh kemegahan itu menampilkan segala kemewahan yang telah disiapkan dengan teliti oleh Bintara dan timnya.Setiap sudut ruangan dipenuhi sorak-sorai dan senyuman para karyawan yang resmi direkrut. Ini adalah momen puncak dari segala kerja keras dan usaha yang telah dilakukan selama berbulan-bulan.Ketika pita merah yang melambangkan pembukaan resmi hotel itu akhirnya dipotong oleh Bintara yang berdiri gagah di samping Aruna, gemuruh tepuk tangan menggema di seluruh ruangan.Semua orang tampak tenggelam dalam kegembiraan dan kebanggaan. Namun, di tengah keramaian itu, ada satu orang yang seolah berada dalam dunianya sendiri.Sebastian, yang biasan
Di klinik lapas, suasana terasa sunyi dan muram. Dong Min masih terbaring lemah di ranjang, tubuhnya yang kurus tampak rapuh, hampir seperti bayangan dari dirinya yang dulu. Tatapannya kosong, sering kali melamun, seakan terjebak dalam pikirannya sendiri yang kelam. Luka di pergelangan tangannya sudah mulai sembuh, namun luka di hatinya masih terasa perih, membekas dalam setiap helaan napasnya.Suster yang merawatnya selalu datang, membawa kehangatan yang berusaha meruntuhkan tembok dingin yang dibangun Dong Min di sekelilingnya.Seperti saat ini, ia datang dengan semangkuk bubur hangat, berharap bisa membuat Dong Min mau makan sedikit, agar kekuatannya kembali. Namun, setiap kali ia mendekat, Dong Min selalu berpaling, menolak kehadirannya dengan sikap acuh yang menyakitkan."Tuan Dong Min, kamu harus makan agar cepat pulih..." ujar suster itu dengan suara lembut, meski ada kelelahan dalam nadanya. Ia meletakkan mangkuk bubur di meja samping tem
Serena mengangguk, memikirkan penjelasan Nina. "Mmm, kalau begitu aku tahu cara agar dia bisa berhenti menggangguku..." ujarnya dengan senyum kecil yang penuh arti. Nina menatapnya penasaran. "Apa rencanamu, Serena?" Serena menjelaskan dengan semangat baru, "Aku harus mengajak Mira kerjasama nanti. Aku ingin membantunya menumbuhkan kembali kepercayaan dirinya. Setelah keluar dari sini, aku berencana membuka usaha kecil-kecilan. Mungkin dia bisa bergabung denganku."Nina mendengar dengan penuh perhatian, tetapi keraguan tetap ada di wajahnya. "Itu ide yang bagus, Serena, tapi pasti akan sulit membujuknya. Mira punya banyak luka dan kepercayaan yang hilang. Dia mungkin tidak akan mudah menerima tawaranmu."Serena tersenyum tipis, matanya memancarkan tekad yang kuat. "Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku percaya setiap orang punya sisi baik. Mungkin ini adalah cara untuk membantu dia melihat bahwa ada harapan dan kesempatan kedua, sama seperti y
"Serena...," panggil Nina kemudian."Ya?" Serena menatap Nina sendu."Aku punya satu permintaan, maukah kau melakukannya untukku?" Tatap Nina dengan nanar."Apa itu?" tanya Serena.Nina menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Jika nanti kau keluar dari penjara, bisakah kau datang pada anakku dan mengasuhnya?"Serena terkejut, menatap Nina dengan heran. "Kenapa kau berkata begitu? Bukankah kau juga akan keluar dari penjara?"Nina tersenyum getir, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu apakah aku akan hidup sampai hari itu tiba," bisiknya sambil menyerahkan selembar kertas pada Serena.Serena meraih kertas itu dengan tangan gemetar. Saat ia membaca hasil tes rumah sakit yang diberikan Nina, matanya terbelalak. "Leukimia...," gumamnya tak percaya.Nina mengangguk, air mata tak tertahankan lagi. "Aku sudah berusaha sekuat tenaga, tapi kondisiku semakin memburuk. Aku tidak ingin anakku hidup tanpa cint
Keesokan harinya, mereka pun beranjak untuk merencanakan kunjungan ke penjara tempat Serena ditahan. Bintara merasa sedikit gelisah, tapi ia tahu bahwa ini adalah langkah penting untuk menutup lembaran masa lalu dan melangkah ke depan dengan hati yang lebih tenang. Di mobil, dalam perjalanan ke penjara, suasana hening sesekali diwarnai dengan percakapan ringan. Namun, masing-masing dari mereka tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aruna merenung, memikirkan pertemuannya dengan Serena yang akan datang. Ia ingin melihat langsung bagaimana keadaan Serena, apakah mantan istri Bintara itu sudah berubah atau masih sama seperti dulu. Sesampainya di penjara, mereka melangkah masuk dengan langkah mantap. Petugas penjara mengarahkan mereka ke ruang kunjungan. Suasana di penjara terasa berat dan penuh dengan ketegangan yang tersimpan di dinding-dinding dingin bangunan itu. Serena duduk di sana, menatap ke luar jendela kecil yang ada di ruang kunjungan. Ketika pin
Pagi itu di rumah baru Aruna dan Bintara di Bandung, udara terasa sejuk dengan sinar matahari yang hangat menyelinap melalui jendela. Burung-burung berkicau ceria di luar, seolah-olah ikut merayakan hari baru. Di dalam rumah, aroma harum kopi dan roti panggang memenuhi udara.Aruna dengan cekatan menghidangkan sarapan di meja makan. Senyum manisnya terpancar saat melihat Bintara yang duduk menunggu dengan penuh kasih. "Bagaimana kemajuan hotelmu, Sayang?" tanya Aruna sambil menyusun piring-piring dan makanan di atas meja."Semua lancar," jawab Bintara, matanya bersinar penuh kebanggaan. "Ada Sebastian yang urus, aku tinggal nerima laporan aja. Sekarang lagi rekrut pegawai juga. Sebentar lagi grand opening hotel."Aruna tersenyum mendengar kabar baik itu. "Aku juga udah daftar kuliah online," tambahnya dengan nada riang.Bintara mengangkat alisnya, terkesan dengan semangat istrinya. "Benarkah? Hebat! Kamu memang selalu punya semangat untu
Di dunia ini, kita hidup berdampingan dengan berbagai kisah dan perjalanan hidup. Setiap individu memiliki jalan yang berbeda, namun semua saling berkaitan dalam jalinan takdir yang tak terduga.Seperti Serena, yang kini mulai menyadari kesalahannya dan bertekad untuk memulai semuanya dari awal. Penjara yang awalnya dirasa sebagai akhir, justru menjadi tempat refleksi dan pembelajaran.Dia berusaha bangkit, belajar dari masa lalu yang kelam, dan berharap dapat menebus kesalahannya dengan tindakan yang lebih baik di masa depan.Di sisi lain, ada Dong Min yang tenggelam dalam keputusasaan. Kehidupan yang dulu gemilang kini hancur berantakan. Namun, di balik setiap kegelapan, selalu ada cahaya yang menyinari. Tanpa disadarinya, ada orang-orang seperti suster Jaine yang peduli dan berusaha keras untuk menyelamatkannya, memberikan harapan dan kesempatan kedua yang tak ternilai.Kemudian, ada kisah Aruna dan Bintara, pasangan yang menghadapi setiap rint