Serena mendekati Bintara dengan tatapan penuh gairah. Tangannya yang halus mendorong Bintara ke kursi yang nyaman, tanpa merasa terbebani Serena melepas cd-nya dan duduk di pangkuan Bintara.
“Eugh!” rahang Bintara menegang, mendongak ketika sesuatu yang tegang itu menerobos ke dalam kelembaban di dalam sana.Serena meraih leher Bintara, menariknya semakin dekat hingga napas mereka nyaris bersatu. Tanpa ragu, Serena mencumbui Bintara di kantor, suasana di sekitar mereka seakan memudar, hanya ada mereka berdua dalam momen yang begitu intens.Namun, di balik cumbuan Serena yang memabukkan, hati Bintara tetap teringat pada Aruna. Sosok Aruna yang lemah lembut dan penuh kasih sayang terus menghantui pikirannya. Meski tubuhnya merespons rangsangan dari Serena, batinnya bergejolak, memanggil nama Aruna dengan penuh kerinduan dan rasa bersalah.Bintara mencoba menutup matanya, berusaha melupakan sejenak semua masalah yang membebani pikirannya. Tapi, bayaDi siang hari yang tak terlalu panas, semilir angin berhembus membelai ranting-ranting pohon hingga bergesekan satu sama lain, membuat suasana yang asri tampak meneduhkan hati.Sang bayi pun tertidur lelap setelah Aruna memberikan ASI-nya. Sambil tersenyum ia menidurkannya di ranjang bayi yang Sebastian belikan. Aruna tersenyum meninggalkan kamar, dan ke dapur membantu ibu menyiapkan cemilan untuk sekeluarga sambil bersantai sebelum makan siang.Ayah, Ibu dan Aruna berkumpul di ruang TV, menonton acara siang favorit mereka ditemani teh manis dan biskuit gurih kesukaan Ayah.Di tengah suasana hangat itu, ponsel Aruna bergetar, menandakan panggilan masuk datang, tertera nama Sebastian di layar membuat Aruna menyunggingkan senyuman sebelum menjawabnya.“Halo Sebastian?”“Halo Aruna, aku lagi di perjalanan mau ke rumahmu, tadi aku jalan-jalan sekitar kampung dan beli banyak makanan, kita makan sama-sama, ya!” Suara Sebastian begitu riangnya.
Sore itu, langit mulai menggelap dan hujan turun deras seolah ikut menangis akan keadaan Aruna. Para dokter dan perawat telah bergegas menangani Brahma yang sudah tak sadarkan diri. Aruna, Sebastian, dan Lasmi hanya bisa menunggu di luar dengan hati yang berdebar-debar, berharap Brahma akan baik-baik saja.Waktu berlalu begitu lambat. Setiap detik terasa seperti selamanya. Aruna terus menggenggam tangan ibunya, mencoba memberikan kekuatan, meskipun dirinya sendiri merasa sangat rapuh. Sebastian berdiri di samping mereka, memberikan dukungan moril yang tak terucapkan.Setelah beberapa jam yang mencekam, seorang dokter keluar dari ruang medis dengan wajah yang tenang namun serius. "Pak Brahma mengalami serangan jantung yang cukup parah, tapi kami berhasil menstabilkan kondisinya, beruntung ia cepat dibawa kemari," katanya. "Dia perlu banyak istirahat dan harus menjalani perawatan intensif."Aruna menghela napas lega, air mata bahagia bercampur rasa syukur me
Di tengah malam itu, Serena duduk di ruang kerjanya dalam penthouse yang megah namun sunyi. Lampu redup menerangi meja kayu besar di depannya. Tangannya dengan rapi menyusun dokumen, namun pikirannya jauh melayang, menunggu balasan pesan dari Sebastian. Ketika ponselnya bergetar, ia segera mengambilnya.Pesan dari Sebastian muncul di layar, mengandung ketegasan dan amarah yang terpendam.[Kau tidak berhak mengaturku lagi, kesepakatan kita sudah berakhir ketika Bintara dan Aruna berpisah. Apa lagi maumu?]Serena membaca pesan itu berulang kali, alisnya sedikit terangkat, lalu sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Dia bangkit dari kursinya, berjalan ke jendela besar yang menghadap pemandangan kota yang berkilauan di bawahnya. Di balik pandangan tenangnya, hatinya berkecamuk."Sebastian," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan kepada dirinya sendiri, "kau belum mengerti permainan ini. Kau berpikir bisa lepas begitu saja?"Serena meny
Keesokan paginya, Bintara dan Serena berangkat ke kantor polisi dengan perasaan yang campur aduk. Begitu tiba, mereka langsung diarahkan ke ruang interogasi di mana Rocky sudah duduk, tangannya terikat di atas meja, menunggu dengan wajah tenang yang anehnya mengintimidasi. Rocky tampak sama sekali tidak terganggu oleh situasi yang dihadapinya. Sebaliknya, ia tampak menikmati perhatian yang tertuju padanya, tersenyum tipis seolah tahu sesuatu yang orang lain tidak tahu. Serena dan Bintara mengambil tempat di belakang kaca satu arah, menyaksikan dengan cemas.Interogator mulai menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang serius dan tajam. "Rocky, kamu tahu bahwa kamu bisa dijatuhi hukuman berat atas rencana pembunuhan yang disengaja, terutama jika Sultan itu mati. Apa yang membuatmu melakukan ini?"Rocky menatap lurus ke arah kaca satu arah, seolah bisa melihat langsung ke mata Serena dan Bintara. Dengan senyum meremehkan, ia menjawab, "Aku hanya me
Saat Sebastian kembali ke kota dan mulai bekerja lagi di hotel, suasana terasa tegang. Setiap kali Bintara melihat Sebastian, ada pertanyaan yang tak terucapkan di matanya, sebuah kecemasan yang menggantung di udara seperti kabut tebal.Di kantor, Bintara berusaha memfokuskan diri pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus berputar-putar mencari jawaban tentang keberadaan Aruna. Dia sering terdiam, memandangi layar komputernya tanpa benar-benar melihat apa yang ada di sana. Suatu pagi, saat keduanya sedang memeriksa laporan keuangan, Bintara tak tahan lagi. "Sebastian," panggilnya dengan suara yang terdengar lebih tegang dari biasanya. "Apa kamu bener-bener gak tahu tentang gimana kabar Aruna?"Sebastian terdiam sejenak, mengatur napasnya sebelum menjawab. "Sory, Bin aku belum mendengar apa pun dari dia. aku juga udah cari ke tempat yang mungkin dia kunjungi, tapi gak ada."Bintara mengangguk, tapi matanya tetap memandang Sebastian dengan tajam,
Karena hari sudah larut, Bintara pulang ke penthouse-nya. Ketika hendak masuk kamar, langkahnya terhenti oleh suara Serena yang sedang berbicara di telepon. Nama Sebastian terdengar jelas dari bibir Serena, membuat Bintara penasaran. Ia mendekatkan telinganya ke pintu dan mendengar Serena marah pada Sebastian. "Sebastian, kamu mencoba berkhianat dari kesepakatan kita! Jangan lupa, tujuan kita sama! Katakan di mana Aruna sekarang?" kata Serena dengan suara tajam. Bintara merasakan darahnya mendidih. Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu dengan keras, meneriaki nama Serena. "Serena! Apa yang kau lakukan?" Serena terkejut, tetapi dengan cepat memulihkan diri. "Apa maksudmu, Bintara? Mengapa kau meneriaki aku?" "Ternyata, di belakangku, kau dan Sebastian merencanakan hal buruk terhadap Aruna!" Suara Bintara bergetar dengan kemarahan yang membara. Namun, Serena tidak menunjukkan rasa takut. Ia malah berbalik mar
Saat Aruna kembali dari dalam rumah dengan Rohana dalam gendongannya, ia kembali dalam rutinitasnya membungkus sayuran yang hendak di beli oleh Hasan, namun Hasan memperhatikan bayi kecil itu yang terus menangis. Tawa dan senyum Hasan seketika memudar saat matanya menangkap warna kulit Rohana yang menguning, tanda khas jaundice (penyakit kuning). Kekhawatiran tergambar jelas di wajah Hasan yang biasanya tenang dan ceria. "Aruna, kau harus segera membawa Rohana ke klinik," kata Hasan dengan nada tegas namun lembut, berusaha menenangkan Aruna yang mulai panik. "Kulitnya yang menguning itu bukan tanda baik. Dia mungkin butuh penanganan segera." Aruna tampak bingung dan cemas, matanya berkaca-kaca saat menatap Hasan. "Apakah itu sangat serius, Hasan? Apa yang terjadi padanya? Bukannya ini biasa pada bayi baru lahir?" Hasan mendekati Aruna dan menyentuh lengan wanita itu dengan lembut, berusaha memberikan dukungan. "Aku seorang dokter, dan dari
Di kantornya menjelang siang, Bintara dengan terkejutnya membaca pesan dari Aruna. Matanya terbelalak dan jantungnya berdegup kencang. Pesan itu adalah cahaya di tengah kegelapan—Aruna, wanita yang selama ini dia cari, menghubunginya walaupun dengan nomor baru. Tapi kebahagiaan itu segera bercampur dengan kegelisahan. Berita dari Aruna membuatnya terkejut dan cemas. Dengan tangan gemetar, Bintara segera menekan nomor Aruna dan memanggilnya. Suara berdering di telinganya, dan setiap detik terasa seperti seabad. Akhirnya, suara Aruna yang lembut namun terdengar putus asa menjawab panggilannya. "Aruna, Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan anak kita?" tanyanya dengan suara bergetar, campuran antara kerinduan dan kekhawatiran menguasai dirinya. "Bintara, Rohana butuh transfusi darah segera. Dia sakit parah dan hanya kau yang bisa membantunya. Tolong, datanglah secepatnya ke rumah sakit," jawab Aruna dengan suara terisak. Rasa rindu dan kekhawati