Di kantor, Bintara berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Hari itu begitu banyak hal yang harus diurus, tapi satu hal yang mengganggunya adalah keberadaan Sebastian. Ia mendekati meja sekretaris barunya, Laila, dan bertanya dengan nada yang penuh ketegangan, "Di mana Sebastian? Aku butuh dia sekarang."
Laila menatap Bintara dengan raut wajah penuh simpati. "Maaf, Pak. Sebastian tadi izin. Katanya ada keperluan mendesak. Dia bilang akan segera kembali."Bintara mengerutkan alisnya, merasa ada yang tidak beres. Sebastian jarang sekali meninggalkan kantor tanpa memberi tahu sebelumnya. Namun, ia menyingkirkan pikiran itu dan memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya. Ia tidak tahu bahwa di saat yang sama, Aruna sedang berjuang melahirkan anak mereka di rumah sakit.Di dalam hatinya, Bintara merasa ada sesuatu yang hilang, tapi ia tidak bisa mengidentifikasi apa itu. Setiap panggilan telepon, setiap rapat, semuanya terasa hampa. Ia merasa jauh dari rumah, jauhDi rumah sakit, Aruna hanya ditemani oleh Serena dan Sebastian. Suasana kamar itu dipenuhi dengan cahaya lembut dari jendela, menciptakan momen yang sejenak tampak damai. Di dalam pelukan Aruna, bayinya yang baru lahir tampak begitu lucu dan menggemaskan, menarik perhatian setiap orang yang melihatnya. Serena, yang biasanya penuh dengan niat buruk, terpaksa tersenyum tulus saat melihat wajah bayi itu. Keindahan dan kepolosan bayi tersebut seolah memancar, membuatnya sejenak melupakan rencana jahat yang telah direncanakannya. Sebastian, yang berdiri di dekat tempat tidur, menatap bayi itu dengan campuran emosi. Melihat Aruna yang berjuang keras melahirkan dan kini menimang bayi mereka, ia merasakan getaran perasaan yang dalam, membuat niat buruknya tampak surut sesaat. Meskipun hatinya dipenuhi cinta yang tak terungkapkan, ia masih terperangkap dalam rencana gelap yang telah disepakati.Di tengah keajaiban momen itu, semuanya sejenak melupakan intrik dan
Aruna merasakan dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Pandangannya tertuju pada foto pernikahan Serena dan Bintara, mata mereka yang bahagia di dalam bingkai mewah itu seolah menatapnya dengan tatapan mengejek. Hatinya hancur berkeping-keping, rasa sakit yang tak terkatakan mengiris setiap sudut jiwanya. Selama ini, wanita yang ia anggap teman dekat, tempatnya berbagi cerita dan keluh kesah, ternyata adalah istri pertama Bintara.Ia menelan kekecewaan dan kesedihan yang begitu dalam, tetapi berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. Pikirannya berputar cepat mencari cara untuk merespons, namun rasa sakit itu begitu menghimpit hingga ia merasa sulit bernapas.Serena, yang memperhatikan perubahan ekspresi Aruna, mendekat dengan senyum penuh kepalsuan. "Aruna, kamu kelihatan pucat. Apa kamu baik-baik aja?" tanyanya dengan nada yang terdengar begitu tulus, tetapi di mata Aruna, itu adalah puncak dari kepura-puraan yang mengerikan.Aruna menegakkan tubuhnya den
Tidur pun tak nyenyak bagi Aruna. Pikiran dan perasaan bergemuruh tanpa henti, mematahkan setiap upaya untuk mendapatkan sedikit ketenangan. Dini hari menjelang, saat semua masih terlelap dalam kedamaian malam, Aruna bangkit dari tempat tidurnya dengan hati-hati agar tak membuat suara.Dengan langkah yang ringan dan hati-hati, ia meraih tas perlengkapan bayi yang telah ia persiapkan diam-diam. Bayinya terlelap dalam buaian, tak menyadari kegelisahan ibunya. Aruna menatap wajah kecil yang polos itu, menguatkan tekadnya. Ia tak bisa membiarkan anaknya tumbuh dalam bayang-bayang kebohongan dan intrik.Aruna telah memesan taksi sebelumnya, memastikan semuanya siap untuk pelariannya. Ia menggendong bayinya dengan hati-hati, berjalan perlahan menuju pintu depan. Setiap langkah kaki membuatnya menahan napas, takut membangunkan siapa pun. Dalam hatinya, hanya ada satu keinginan kuat: pergi sejauh mungkin, mencari tempat di mana ia dan bayinya bisa memulai hidup b
Pintu ruang kerja Bintara terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Lee Dong Min yang berdiri di sana dengan senyum simpul di wajahnya. Dengan langkah yang penuh percaya diri, Dong Min memasuki ruangan, membawa aura keangkuhan yang membuat suasana semakin tegang. Bintara menatapnya tajam, berusaha menahan amarah yang bergolak di dalam dadanya."Kau datang juga akhirnya," kata Bintara dengan nada dingin, matanya tak lepas dari wajah Dong Min. "Sepertinya kau menikmati permainan ini."Dong Min duduk di kursi yang ada di depan meja Bintara, menyilangkan kaki dengan santai. "Ah, Bintara, kau terlalu serius," katanya sambil tersenyum smirk. "Mengapa kau selalu berpikir bahwa semua ini adalah rencana jahatku?"Bintara mengepalkan tangan, merasakan amarah yang semakin memuncak. "Jangan pura-pura bodoh, Dong Min. Aku tahu ini semua ulahmu. Kau yang memalsukan data tamu sultan dan membuat kekacauan ini."Dong Min tertawa kecil, suaranya penuh dengan ejekan. "
Serena duduk di kursi dekat jendela, menatap Bintara dengan ekspresi tenang namun tegas. “Masalah sultan Arab itu bisa sangat merusak reputasi hotel kita,” katanya dengan suara datar namun penuh arti. “Kondisi hotel akan memburuk jika kita tidak segera menangani ini.”Bintara mengangguk, merasa beban di pundaknya semakin berat. “Aku tahu, Serena. Tapi kita butuh solusi cepat. Kita harus bertindak sekarang.”Serena menggeleng pelan, matanya tajam menatap Bintara. “Kita tidak bisa bertindak gegabah, Bintara. Ini masalah besar yang melibatkan banyak pihak. Aku tidak bisa membantu begitu saja.”Bintara mendesah, rasa frustrasi jelas terpancar di wajahnya. “Jadi, apa yang kau sarankan? Apa kita hanya diam saja dan membiarkan semuanya hancur?”Serena tersenyum tipis, namun tatapannya tetap dingin. “Kita harus merundingkan ini dengan seluruh pemegang saham. Setiap keputusan harus melalui persetujuan mereka.”Bintara mengerutkan kening, tangannya
Aruna duduk di teras rumah orang tuanya yang sederhana, jauh di kampung halaman yang tenang. Angin lembut membelai wajahnya, seolah mencoba menghapus jejak-jejak air mata yang pernah tumpah. Di pangkuannya, bayinya tertidur dengan damai, tanpa tahu betapa rumitnya dunia orang dewasa di sekitarnya.Ibu Aruna datang dengan senyum hangat, membawa segelas teh hangat untuknya. "Gimana kabar Bintara, Nak? Kenapa dia gak ikut pulang?" tanya ibunya dengan nada penuh perhatian.Aruna menelan ludah, berusaha menahan gelombang emosi yang hampir meledak. "Bintara lagu sangat sibuk, Bu. Hotelnya baru aja menerima tamu penting, jadi dia gak bisa meninggalkan pekerjaannya. Aku pulang ke sini supaya bayiku bisa mendapatkan perawatan lebih baik," jawab Aruna, berusaha terdengar meyakinkan.Ayahnya yang duduk di kursi sebelah hanya mengangguk-angguk, memahami betapa sulitnya menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga. "Semoga aja semuanya lancar, ya, Nak. Ayah dan I
Esok paginya, di kantor, suasana terasa tegang dan penuh kecemasan. Bintara, dengan wajah yang letih dan penuh kekhawatiran, memanggil Sebastian ke ruang kerjanya. Langkah Sebastian terdengar berat saat ia mendekati pintu, mencoba mengendalikan gejolak emosi di dalam dirinya. Ketika pintu tertutup di belakangnya, Bintara langsung memulai pembicaraan tanpa basa-basi."Sebastian, aku butuh bantuanmu," kata Bintara dengan nada serius. "Aruna menghilang. Aku udah coba menghubunginya berkali-kali, tapi gak ada jawaban. Kamu satu-satunya orang yang tahu tentang pernikahan rahasiaku dengan Aruna. Kamu harus membantuku menemukannya."Sebastian merasakan hatinya berdetak lebih kencang. Dia tahu betapa pentingnya Aruna bagi Bintara, namun ia juga memahami bahwa menyelamatkan Aruna dari situasi ini adalah prioritasnya. "Tentu saja, Bintara," jawabnya dengan nada penuh empati, meskipun di dalam hatinya dia merasa bimbang.Bintara menatap Sebastian dengan tatapan penuh
Serena mendekati Bintara dengan tatapan penuh gairah. Tangannya yang halus mendorong Bintara ke kursi yang nyaman, tanpa merasa terbebani Serena melepas cd-nya dan duduk di pangkuan Bintara. “Eugh!” rahang Bintara menegang, mendongak ketika sesuatu yang tegang itu menerobos ke dalam kelembaban di dalam sana.Serena meraih leher Bintara, menariknya semakin dekat hingga napas mereka nyaris bersatu. Tanpa ragu, Serena mencumbui Bintara di kantor, suasana di sekitar mereka seakan memudar, hanya ada mereka berdua dalam momen yang begitu intens.Namun, di balik cumbuan Serena yang memabukkan, hati Bintara tetap teringat pada Aruna. Sosok Aruna yang lemah lembut dan penuh kasih sayang terus menghantui pikirannya. Meski tubuhnya merespons rangsangan dari Serena, batinnya bergejolak, memanggil nama Aruna dengan penuh kerinduan dan rasa bersalah.Bintara mencoba menutup matanya, berusaha melupakan sejenak semua masalah yang membebani pikirannya. Tapi, baya
Di bawah langit petang yang mulai bersemburat jingga, Aruna, Bintara, dan Rohana berdiri di gazebo restoran hotel, memandang hamparan lapangan golf yang terbentang luas. Angin sore berhembus lembut, membawa keharuman bunga-bunga yang mekar di sekitar mereka.Bintara melingkarkan lengannya di pinggang Aruna, menariknya lebih dekat sebelum mengecup kening istrinya dengan penuh cinta."Aku sangat mencintaimu," bisik Bintara, suaranya penuh dengan kehangatan dan ketulusan.Aruna tersenyum, namun senyumnya tiba-tiba memudar, wajahnya berubah pucat. Dia menutupi mulutnya dengan tangan, mencoba menahan mual yang tiba-tiba menyerangnya. Bintara segera terlihat khawatir, alisnya berkerut dalam kecemasan. "Aruna, kamu baik-baik saja?"Aruna hanya mengangguk pelan, lalu melepaskan Rohana ke pelukan babysitter yang berdiri tak jauh dari mereka. Setelah memastikan Rohana aman, Aruna kembali menatap Bintara dengan senyuman yang lembut. Tanpa berkata apa-apa, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari
Di tengah suasana meriah di Grand Opening Hotel, Bu Najiah juga turut hadir. ia tampak menikmati sore di suatu gazebo di taman belakang restoran hotel, ditemani riak air kolam yang memantulkan sinar matahari senja. Ikan-ikan berenang tenang, seolah menambah kedamaian di sekitarnya. Namun, jauh di dalam hatinya, ada kegelisahan yang belum terobati. Suara langkah kaki mendekat dari arah belakangnya. Ia tahu siapa itu sebelum sosoknya muncul di samping. "Lama tidak bertemu," sapa Adi Jaya, suaranya lembut namun ada nada canggung di dalamnya. Bu Najiah menoleh, melihat Adi Jaya yang berdiri dengan sikap yang penuh kehati-hatian. Matanya menatap tajam, namun ada kebingungan yang mengintip di balik ketegasan itu. "Ya, sudah cukup lama," jawab Bu Najiah pelan, sedikit mengeraskan hatinya untuk tidak terbawa perasaan. Pandangannya kembali ke kolam, menyembunyikan kegelisahan yang menghantui dirinya. Adi Jaya me
Sementara Dong Min mulai menemukan harapan baru dalam hidupnya, jauh di tempat lain, hati Sebastian perlahan-lahan tersentuh oleh pesona seorang wanita yang kini telah menjadi pusat perhatiannya.Grand opening hotel yang berlangsung meriah menjadi saksi dari perasaan yang tak terduga ini. Acara penuh kemegahan itu menampilkan segala kemewahan yang telah disiapkan dengan teliti oleh Bintara dan timnya.Setiap sudut ruangan dipenuhi sorak-sorai dan senyuman para karyawan yang resmi direkrut. Ini adalah momen puncak dari segala kerja keras dan usaha yang telah dilakukan selama berbulan-bulan.Ketika pita merah yang melambangkan pembukaan resmi hotel itu akhirnya dipotong oleh Bintara yang berdiri gagah di samping Aruna, gemuruh tepuk tangan menggema di seluruh ruangan.Semua orang tampak tenggelam dalam kegembiraan dan kebanggaan. Namun, di tengah keramaian itu, ada satu orang yang seolah berada dalam dunianya sendiri.Sebastian, yang biasan
Di klinik lapas, suasana terasa sunyi dan muram. Dong Min masih terbaring lemah di ranjang, tubuhnya yang kurus tampak rapuh, hampir seperti bayangan dari dirinya yang dulu. Tatapannya kosong, sering kali melamun, seakan terjebak dalam pikirannya sendiri yang kelam. Luka di pergelangan tangannya sudah mulai sembuh, namun luka di hatinya masih terasa perih, membekas dalam setiap helaan napasnya.Suster yang merawatnya selalu datang, membawa kehangatan yang berusaha meruntuhkan tembok dingin yang dibangun Dong Min di sekelilingnya.Seperti saat ini, ia datang dengan semangkuk bubur hangat, berharap bisa membuat Dong Min mau makan sedikit, agar kekuatannya kembali. Namun, setiap kali ia mendekat, Dong Min selalu berpaling, menolak kehadirannya dengan sikap acuh yang menyakitkan."Tuan Dong Min, kamu harus makan agar cepat pulih..." ujar suster itu dengan suara lembut, meski ada kelelahan dalam nadanya. Ia meletakkan mangkuk bubur di meja samping tem
Serena mengangguk, memikirkan penjelasan Nina. "Mmm, kalau begitu aku tahu cara agar dia bisa berhenti menggangguku..." ujarnya dengan senyum kecil yang penuh arti. Nina menatapnya penasaran. "Apa rencanamu, Serena?" Serena menjelaskan dengan semangat baru, "Aku harus mengajak Mira kerjasama nanti. Aku ingin membantunya menumbuhkan kembali kepercayaan dirinya. Setelah keluar dari sini, aku berencana membuka usaha kecil-kecilan. Mungkin dia bisa bergabung denganku."Nina mendengar dengan penuh perhatian, tetapi keraguan tetap ada di wajahnya. "Itu ide yang bagus, Serena, tapi pasti akan sulit membujuknya. Mira punya banyak luka dan kepercayaan yang hilang. Dia mungkin tidak akan mudah menerima tawaranmu."Serena tersenyum tipis, matanya memancarkan tekad yang kuat. "Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku percaya setiap orang punya sisi baik. Mungkin ini adalah cara untuk membantu dia melihat bahwa ada harapan dan kesempatan kedua, sama seperti y
"Serena...," panggil Nina kemudian."Ya?" Serena menatap Nina sendu."Aku punya satu permintaan, maukah kau melakukannya untukku?" Tatap Nina dengan nanar."Apa itu?" tanya Serena.Nina menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Jika nanti kau keluar dari penjara, bisakah kau datang pada anakku dan mengasuhnya?"Serena terkejut, menatap Nina dengan heran. "Kenapa kau berkata begitu? Bukankah kau juga akan keluar dari penjara?"Nina tersenyum getir, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu apakah aku akan hidup sampai hari itu tiba," bisiknya sambil menyerahkan selembar kertas pada Serena.Serena meraih kertas itu dengan tangan gemetar. Saat ia membaca hasil tes rumah sakit yang diberikan Nina, matanya terbelalak. "Leukimia...," gumamnya tak percaya.Nina mengangguk, air mata tak tertahankan lagi. "Aku sudah berusaha sekuat tenaga, tapi kondisiku semakin memburuk. Aku tidak ingin anakku hidup tanpa cint
Keesokan harinya, mereka pun beranjak untuk merencanakan kunjungan ke penjara tempat Serena ditahan. Bintara merasa sedikit gelisah, tapi ia tahu bahwa ini adalah langkah penting untuk menutup lembaran masa lalu dan melangkah ke depan dengan hati yang lebih tenang. Di mobil, dalam perjalanan ke penjara, suasana hening sesekali diwarnai dengan percakapan ringan. Namun, masing-masing dari mereka tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aruna merenung, memikirkan pertemuannya dengan Serena yang akan datang. Ia ingin melihat langsung bagaimana keadaan Serena, apakah mantan istri Bintara itu sudah berubah atau masih sama seperti dulu. Sesampainya di penjara, mereka melangkah masuk dengan langkah mantap. Petugas penjara mengarahkan mereka ke ruang kunjungan. Suasana di penjara terasa berat dan penuh dengan ketegangan yang tersimpan di dinding-dinding dingin bangunan itu. Serena duduk di sana, menatap ke luar jendela kecil yang ada di ruang kunjungan. Ketika pin
Pagi itu di rumah baru Aruna dan Bintara di Bandung, udara terasa sejuk dengan sinar matahari yang hangat menyelinap melalui jendela. Burung-burung berkicau ceria di luar, seolah-olah ikut merayakan hari baru. Di dalam rumah, aroma harum kopi dan roti panggang memenuhi udara.Aruna dengan cekatan menghidangkan sarapan di meja makan. Senyum manisnya terpancar saat melihat Bintara yang duduk menunggu dengan penuh kasih. "Bagaimana kemajuan hotelmu, Sayang?" tanya Aruna sambil menyusun piring-piring dan makanan di atas meja."Semua lancar," jawab Bintara, matanya bersinar penuh kebanggaan. "Ada Sebastian yang urus, aku tinggal nerima laporan aja. Sekarang lagi rekrut pegawai juga. Sebentar lagi grand opening hotel."Aruna tersenyum mendengar kabar baik itu. "Aku juga udah daftar kuliah online," tambahnya dengan nada riang.Bintara mengangkat alisnya, terkesan dengan semangat istrinya. "Benarkah? Hebat! Kamu memang selalu punya semangat untu
Di dunia ini, kita hidup berdampingan dengan berbagai kisah dan perjalanan hidup. Setiap individu memiliki jalan yang berbeda, namun semua saling berkaitan dalam jalinan takdir yang tak terduga.Seperti Serena, yang kini mulai menyadari kesalahannya dan bertekad untuk memulai semuanya dari awal. Penjara yang awalnya dirasa sebagai akhir, justru menjadi tempat refleksi dan pembelajaran.Dia berusaha bangkit, belajar dari masa lalu yang kelam, dan berharap dapat menebus kesalahannya dengan tindakan yang lebih baik di masa depan.Di sisi lain, ada Dong Min yang tenggelam dalam keputusasaan. Kehidupan yang dulu gemilang kini hancur berantakan. Namun, di balik setiap kegelapan, selalu ada cahaya yang menyinari. Tanpa disadarinya, ada orang-orang seperti suster Jaine yang peduli dan berusaha keras untuk menyelamatkannya, memberikan harapan dan kesempatan kedua yang tak ternilai.Kemudian, ada kisah Aruna dan Bintara, pasangan yang menghadapi setiap rint