Semua Bab (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN: Bab 131 - Bab 140

148 Bab

BAB 131. Lingkungan Kumuh

"Tidak ada yang paling ku sesali di dunia ini kecuali terlahir menjadi putra Mamah." Kata-kata itu terdengar jelas di telinga Dini, merasuk ke dalam hatinya seperti belati yang menusuk tanpa ampun. Perasaan sedih, kecewa, dan marah bercampur menjadi satu, membentuk badai emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia tidak pernah menyangka, putra semata wayangnya, Rio, bisa mengucapkan kalimat sekejam itu.Padahal, ia sudah mati-matian memperjuangkan semuanya demi Rio, tapi kenapa Rio tidak juga mengerti? Meskipun cara Dini salah, tapi bukan berarti Rio bisa memberikan pernyataan itu pada wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya.Dengan tangan yang bergetar, Dini melayangkan tamparannya pada wajah putra semata wayangnya itu.Plak!Rio terkejut, memegangi pipinya yang memerah."Anak kurang ajar! Berani sekali kamu bicara seperti itu pada Mamah. Seharusnya kamu bersyukur diberi kesempatan hidup dan tidak Mamah gugurkan saat dalam kandungan!" bentak Dini, suaranya menggema di seluruh
Baca selengkapnya

BAB 132. Pembunuhan Berencana

Rio dan Dini berjalan melewati gang sempit yang hanya diterangi oleh beberapa lampu jalan yang sudah kusam. Suasana malam itu terasa dingin dan sunyi, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki mereka yang bergema di antara tembok-tembok rumah yang berdekatan. Dinding-dinding gang dipenuhi coretan graffiti yang memudar, menambah kesan suram pada lingkungan itu.Dini sesekali mencuri pandang ke arah Rio, mencoba mencari penjelasan dari ekspresi wajahnya yang tetap tenang. Mereka terus berjalan hingga akhirnya berhenti di depan sebuah kontrakan satu petak yang terlihat sederhana dan agak kusam. Dini berdiri diam, menatap kontrakan itu dengan mata terbelalak."Jangan bilang kita akan tinggal di sini?" tanya Dini dengan nada tak percaya. Matanya masih tak lepas dari pintu kayu yang sudah mulai lapuk dan dinding yang terkelupas catnya.Rio menghela napas panjang sebelum menatap Dini. "Hmm," jawabnya singkat.Dini mengerutkan kening. "Tapi Rio, tempat ini... tempat ini bahkan tidak terliha
Baca selengkapnya

BAB 133. Kritis

Setelah kejadian tragis terjadi di kontrakan Danu, Rio langsung dilarikan ke rumah sakit dengan ambulans yang melaju cepat, beradu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa pria itu. Dini, dengan wajah pucat dan tangan gemetar, ditangkap oleh polisi dan dibawa pergi dengan pengawalan ketat. Berita mengenai insiden itu segera menyebar, dan tak lama kemudian, kabar tersebut sampai ke telinga Edgar.Edgar, yang selama ini tidak pernah memiliki hubungan baik dengan Rio, kini berdiri di depan ruangan ICU dengan perasaan campur aduk. Di sampingnya, Natasha, dengan wajah tegang, menggenggam tangan Edgar. Meskipun Edgar tidak menyukai Rio, ia menyadari bahwa pria itu telah melakukan sesuatu yang sangat berarti - menyelamatkan Natasha. Hal itu membuatnya tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi pada Kakak tirinya itu."Bagaimana kondisinya?" tanya Edgar kepada seorang perawat yang keluar dari ruangan."Dokter sedang melakukan yang terbaik. Kami akan memberitahu Anda segera setelah ada perkembangan
Baca selengkapnya

BAB 134. Doa dan Air Mata

Malam semakin larut, menyelimuti kota dengan ketenangan yang hanya terkadang dipecahkan oleh suara gemericik hujan di luar. Edgar dan Natasha, yang baru saja menerima kabar baik dari dokter bahwa Rio telah berhasil melewati masa kritisnya, berjalan perlahan menuju ruangan rawat VIP Abraham. Suasana di sekitar mereka terasa tenang, namun dalam hati mereka bergelora dengan berbagai perasaan—kecemasan, kelegaan, dan harapan.Di ruangan yang terlampau tenang itu, Edgar dan Natasha duduk di sisi ranjang Abraham, yang tengah terbaring lemah. Edgar menatap Natasha dengan tatapan lembut. "Aku antar kamu pulang, ya?" Natasha menggeleng pelan. "Aku ingin menemanimu di sini."Edgar menghela napas panjang. "Sayang.. kamu 'kan masih sakit," katanya, mencoba mengerti namun merasa khawatir. "Kamu perlu istirahat.""Tidak, Mas. Aku merasa lebih baik di sini, bersamamu.""Tapi, sayang... kamu belum sepenuhnya pulih. Jika sesuatu terjadi padamu karena terlalu memaksakan diri, aku tidak akan bisa mema
Baca selengkapnya

BAB 135. Hadir di Saat yang Tepat

Setelah semalam Natasha terus terjaga, pagi ini ia memutuskan pulang sebentar untuk menyiapkan segala keperluan Edgar yang akan ke kantor. Meskipun di kediaman Edgar ada dua asisten rumah tangga yang siap menyiapkan keperluan suaminya, namun Natasha tidak akan menyerahkan tugas tersebut pada orang lain. Baginya, merawat suaminya adalah wujud cinta dan tanggung jawab yang tidak bisa diwakilkan. "Pa, kami pulang dulu, ya. Aku janji akan kembali lagi," kata Natasha dengan lembut, mata teduhnya menatap Abraham yang terbaring lemah di atas ranjang pasien. Edgar, yang berdiri di sisi Natasha, menimpali, "Sayang, kamu 'kan belum istirahat semalaman. Apa tidak sebaiknya kita minta Bi Nur saja untuk menjaga Papa agar kamu bisa istirahat di rumah?" Sarannya dengan nada penuh perhatian. Ia tahu betapa lelahnya Natasha setelah semalaman berjaga.Natasha menggeleng cepat. "Tidak. Biar aku saja yang merawat Papa. Lagipula jika aku capek aku bisa tidur di sini," jawabnya tegas.Edgar menghela napa
Baca selengkapnya

BAB 136. Roda Kehidupan

"Hai, apa kabar?" sapa Barra dengan santai dengan senyuman yang lebar. "Barra?" Dita mengerjapkan matanya cepat, tidak menyangka akan bertemu Barra kembali di kantor Edgar. Sudah lama sejak terakhir kali mereka berbicara di pantai Bali, dan pertemuan ini sungguh tidak terduga. Wajah Barra yang ramah dan senyumnya yang menenangkan membuat Dita sejenak lupa dengan tujuannya."Iya, ini aku. Sudah lama, ya?" Barra melanjutkan. "Oh, ya. Jadi pinjam ponselnya tidak?" tanyanya saat Dita belum juga menerima ponsel dari tangannya. Dita melirik ponsel Barra sejenak, tampak ragu untuk meminjam benda pipih milik pria tersebut. Namun, saat ia tidak memiliki pilihan lain, Dita pun akhirnya mengangguk cepat dan mengambil alih ponsel dari tangan Barra."Terima kasih," ucap Dita. Ia buru-buru membuka aplikasi pesan, jarinya bergerak cepat di atas layar, dan dalam hitungan detik, pesan itu ia kirimkan pada Natasha. Dita menghela napas lega dan menyerahkan ponsel kembali pada Barra."Sudah?" tanya Bar
Baca selengkapnya

BAB 137. Salah Bicara

"Aku di bagian cuci piring," ucap Dita dengan nada tenang, tanpa sedikit pun rasa malu. Barra mencoba menutupi rasa terkejutnya dengan senyum santai yang telah ia latih selama bertahun-tahun sebagai seorang pengusaha sukses. "Rupanya kamu pekerja keras juga ya, Dit," ujarnya. Dita tersenyum tipis. "Aku tidak pilih-pilih, semua pekerjaan sama saja. Yang penting halal," jawabnya bijak.Barra terpesona oleh kebijaksanaan Dita. Ia menggaruk-garuk kepala dengan canggung, mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan percakapan. "Sepertinya kamu kandidat yang cocok untuk menjadi istriku," katanya, tanpa berpikir panjang.Sekejap mata, Dita terperangah. Mata bulatnya membesar, terpaku pada Barra yang kini tampak sama terkejutnya dengan ucapannya sendiri. Barra tidak ada niat sama sekali mengucapkan kalimat itu, ia hanya berusaha menghibur Dita, tapi mulutnya malah bicara yang tidak-tidak. Wajahnya memerah, merasa malu dan bersalah.“M-Maaf, Dit. A-Aku salah bicara. Aku tidak ada maksud–”
Baca selengkapnya

BAB 138. Love Confession

"Bagaimana kondisi Pap– tidak, maksudku, Tuan Abraham?" Rio bertanya dengan nada cemas. Suaranya bergetar seolah menahan beban yang berat, dan matanya menatap Natasha dengan penuh harap.Natasha memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan diri. Dengan suara yang hampir seperti bisikan, ia berkata, "Papa mengalami stroke."Kata-kata Natasha seolah berat dan menusuk. Mendengar kabar tersebut, mata Rio langsung terasa panas. Air mata yang susah payah ia tahan mulai menggenang di pelupuk matanya, hampir menetes tanpa bisa dicegah. Rio merasa dadanya tertekan oleh rasa cemas yang tak tertahan. Kenangan-kenangan indah bersama Abraham melintas dalam benaknya, momen-momen penuh kebahagiaan dan kebersamaan yang kini terasa begitu jauh. "Apa kau ingin menjenguknya?" tanya Natasha tiba-tiba, memecah keheningan yang mengisi ruangan.Seketika, Rio menatap Natasha bersamaan dengan air mata yang berhasil lolos dari sudut matanya. Perasaan campur aduk memenuhi hatinya—kesedihan, keprihatinan, dan
Baca selengkapnya

BAB 139. Di Antara Hati dan Akal

"Terima kasih. Setidaknya aku masih bisa memiliki gantungan beruang milikmu, saat aku tidak berhasil mendapatkanmu."Ucapan itu meluncur dari bibir Rio dengan lembut, namun sarat akan makna yang dalam. Ruangan yang sebelumnya penuh dengan tawa ringan dan candaan seketika berubah senyap. Natasha terperanjat mendengar pernyataan yang begitu tiba-tiba dan tak terduga dari Rio. Matanya membulat, sementara senyumnya perlahan memudar dari balik cadarnya.Danu, yang sejak tadi ikut tertawa bersama mereka, mendadak terdiam. Pandangannya beralih dari wajah Rio yang tetap tenang, ke arah Natasha yang terlihat terkejut. Keheningan yang mendadak itu seakan menekan udara di sekitar mereka, menciptakan suasana yang begitu canggung. Danu tahu, meskipun dia tidak begitu memahami seluruh dinamika yang terjadi antara mereka berdua, pernyataan Rio tadi jelas membawa beban emosional yang tak sederhana.Rio yang menjadi penyebab dari perubahan suasana ini, kembali berusaha membalikkan situasi. Ia menghela
Baca selengkapnya

BAB 140.

"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
101112131415
DMCA.com Protection Status