“Aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti itu, Dis,” ucap Yasa dengan suara parau. “Aku hanya tidak ingin kamu terlalu dekat dengan orang lain. Aku tidak ingin kehilangan kamu. Kalau kamu bilang aku cemburu, iya, aku cemburu.”Disti menatap Yasa, matanya berkaca-kaca. “Mas, aku mengerti. Aku sadar siapa aku kok, Mas. Aku hanya bayangan Mbak Shalimah dalam kehidupan Mas. Sudahlah, Mas. Jangan terlalu memikirkan aku.”Yasa terdiam, meresapi setiap kata yang diucapkan Disti. Ia tahu, ada banyak kebenaran di balik kata-kata istrinya. Bahwa selama ini, dia memang lebih sering mendahulukan Shalimah, menganggap Disti akan baik-baik saja tanpa benar-benar melihat kebutuhan emosional istrinya.Perlahan, Yasa meraih tangan Disti dan menggenggamnya erat. Kali ini Disti tidak menepis, namun tatapannya tetap menyiratkan keraguan. “Aku minta maaf, Disti,” ucap Yasa, suaranya lebih lembut dan tulus. “Aku terlalu lama terjebak dengan pikiran bahwa aku bisa menjalani semuanya seperti ini. Aku piki
Read more