David yang duduk di seberangnya, menatap Disti dengan tatapan serius. Ia mengamati ekspresi Disti yang penuh keterkejutan dan seolah memahami kebingungannya. “Mungkin kamu nggak akan percaya ini, Dis. Aku tahu sulit bagimu menerima semuanya, tapi itu fakta,” jelas David.Kabut bening tampak di mata Disti. Ada keinginan untuk menolak fakta yang diungkapkan David, tapi intuisinya berkata lain. "Kenapa? Kenapa baru sekarang Bapak bilang semuanya?" David menghela napas panjang, menatap lantai dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Aku tidak pernah ingin membuka luka lama ini, tapi kamu perlu tahu siapa Yasa sebenarnya. Aku dan Yasa, kami dulu sahabat baik. Kami berteman sejak SMA. Aku bahkan menganggap dia seperti saudaraku sendiri."Disti mengernyit. "Sahabat?" David mengangguk pelan. "Iya. Bahkan, adikku, Diana, dulu pernah jadi pacarnya. Mereka begitu dekat, seperti pasangan yang tidak terpisahkan. Aku pikir mereka akan menikah suatu hari nanti."Disti terdiam, perasaannya semakin r
Disti tersentak, merasa perasaannya hancur berkeping-keping. "Jadi Mas biarkan aku hidup dalam kebohongan ini hanya karena Mas nggak mau aku pergi?"Yasa meletakkan tangan di bahu Disti, kemudian menatapnya dengan permohonan. "Dis, kamu harus mengerti. Aku memang tidak jujur, tapi aku punya alasan. Aku nggak mau kamu terbebani dengan semua masalah ini. Aku hanya ingin … aku hanya ingin kita tetap bersama."Disti menepis tangan Yasa, wajahnya penuh dengan luka dan kemarahan. "Bersama? Apa yang Mas pikir selama ini? Aku mencintai Mas, tapi Mas cuma mempermainkan aku! Aku tahu kalau aku ini cuma seseorang yang Mas pakai untuk mengisi kekosongan saat Mbak Shalimah nggak ada?"Yasa terdiam, wajahnya tampak semakin tegang. "Bukan begitu, Dis. Aku benar-benar peduli sama kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu."Disti tertawa kecil, suaranya terdengar pahit di antara isakannya. "Peduli? Apa arti peduli buat Mas? Kalau Mas benar-benar peduli, Mas nggak akan menyembunyikan hal ini dariku. Mas ngga
Azan subuh memecah keheningan malam. Ajakan untuk bangun dan berdoa pada sang Khalik terdengar sayup-sayup di telinga Disti. Ia menyingkirkan tangan Yasa yang masih melingkar posesif di pinggangnya, lalu beringsut dan bersandar ke kepala ranjang. Tatapannya tertuju pada Yasa yang masih terlelap di sampingnya. Sedetik pun Disti tidak dapat memejam setelah bercinta dengan Yasa. Kepalanya masih dipenuhi perasaan tak menentu yang membuatnya terombang-ambing di tengah badai pernikahannya dengan Yasa.Wajah maskulin Yasa tampak tenang dalam tidurnya. Disti selalu mengagumi wajah itu. Wajah yang sukar dihindari dan tidak bisa ditolak pesonanya. Wajah yang membuat Disti jatuh cinta sampai rela memendam renjana. Sejenak Disti berpikir apakah ia akan mampu hidup tanpa Yasa setelah ia merelakan hatinya dimiliki pria itu?"Dis...." Tangan Yasa meraba-raba mencari jemari Disti di atas paha perempuan itu yang tertutupi selimut.Disti meletakkan tangannya di atas tangan Yasa dan dengan cepat Yasa me
Dari sudut lain, pandangan Shalimah tertuju ke arah tangan Yasa yang menggenggam erat tangan Disti. Rasa perih menggores dinding hatinya. Permintaannya agar Yasa menikahi Disti menjadi bumerang yang sedikit-banyak sudah menorehkan luka yang harus ia telan sendiri."Ma, Disti juga kan istrinya Mas Yasa. Mas Yasa wajib mengetahui apa masalah yang dihadapi Disti dan membantu menyelesaikannya." Lagi-lagi Shalimah tidak mampu membuat dirinya menjadi istri pertama yang kejam. Ia membela Disti, meskipun sebenarnya pembelaan itu untuk melindungi suaminya dari amukan Laila. Bagaimanapun, dulu ia yang ikut meminang Disti untuk menjadi istri kedua suaminya. Ia tidak akan membiarkan kecemburuan menguasai dirinya, pikir perempuan itu.Laila menoleh pada Shalimah. Ia menggeleng- gelengkan kepalanya sambil berdecak kesal. "Mama heran sama kamu, Shalimah. Kenapa sih kamu terus-terusan membela madumu itu, padahal sudah jelas dia hendak merebut suami kamu? Cepat atau lambat perempuan itu pasti akan mel
Lima Tahun KemudianDisti menatap butiran hujan yang jatuh di balik kaca jendela kamarnya. Derai hujan itu terasa menenangkan, membawanya ke dalam keheningan yang hampir mistis. Senyuman kecil terukir di wajahnya, meski ia sendiri tidak tahu apa yang membuatnya tersenyum. Mungkin itu hanya caranya untuk menerima kehadiran hujan, dengan senyuman. Tapi, sekelebat kenangan masa lalu kembali menyelusup, menariknya ke lorong waktu yang sudah lama ia coba tinggalkan. Senyumnya pun pudar, berganti dengan ekspresi sedih. Ia menelan ludah, terasa berat, dan meskipun matanya tertuju pada hujan di luar, pikirannya sedang berkelana ke tempat lain, tempat di mana separuh hatinya masih tertinggal.Aku tidak akan pernah bisa menjadi pelangi untukmu karena yang kubawa hanyalah rintik hujan yang membasahi dan menghapus kisah indah kalian.“Bunda!” Suara ceria anak perempuan memecah lamunan Disti.Ia menoleh dan melihat gadis kecil berambut ikal cokelat berdiri di depan pintu. Disti tersenyum manis, me
Kembali ke lima tahun lalu"Dis, kamu nggak adil sama aku. Kamu cuma memikirkan keinginan kamu tanpa peduli perasaanku." Yasa menarik tangan Disti dengan kuat saat ia berusaha menjauh. Tangannya mencengkeram kedua lengan Disti, seolah tak mau melepaskan.Suara Yasa menggema di malam yang sunyi, nyaris seperti sebuah bisikan marah di tengah ketenangan yang mengintimidasi. Sorot matanya yang gelap menunjukkan betapa emosinya hampir meledak. Ia belum rela menerima keputusan hakim yang baru saja menjatuhkan vonis cerai pada mereka.“Perasaan Mas yang seperti apa?” Disti menatap Yasa tajam, suaranya penuh luka. “Mas nggak sadar kalau sikap Mas itu egois? Mas ingin aku, tapi Mas juga nggak mau melepaskan Mbak Shali. Mas tahu nggak, ini nggak adil buat kami berdua? Coba jawab, apa Mas bisa melepaskan Mbak Shali demi aku? Aku rasa nggak,” lanjutnya dengan nada bergetar. “Jadi biarkan aku yang pergi dari hidup kalian.”Disti mencoba melepaskan dirinya dari cengkeraman Yasa, tapi pria itu tak m
Malam itu, David tampak menawan dengan setelan jas hitam dan gaya rambut Ivy League yang membuatnya terlihat elegan sekaligus kasual. Ia duduk di ruang tamu rumah Disti, menunggu dengan sabar sambil bercanda dengan Kieran.“Kieran, Sayang. Papa pinjam Bunda dulu ya sebentar. Besok Papa janji ajak Kieran jalan-jalan dan beli es krim,” kata David sambil mensejajarkan posisinya dengan Kieran.“Janji ya, Pa,” jawab Kieran sambil mengangkat kelingkingnya untuk mengait janji.David tersenyum, lalu mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari Kieran. “Papa janji.”Tidak lama kemudian, Disti muncul dengan gaun biru muda yang membuatnya terlihat anggun. Rambutnya tergerai lembut melewati bahunya dan sebuah kalung mutiara melingkar di lehernya, men
Akhir pekan itu, David menurunkan satu per satu sepeda dari bike carrier di bagian belakang mobil SUV-nya. Udara segar pegunungan Lembang menyelimuti vila yang berdiri di atas bukit, memancarkan ketenangan yang langka bagi Disti dan anak-anaknya, Arjuna dan Kieran. Sudah lama mereka tidak menikmati liburan seperti ini.Disti berdiri memandangi vila di hadapannya, kagum pada bangunan berdesain kontemporer itu. Dinding kaca besar di bagian depan menawarkan pemandangan langsung ke arah tebing hijau yang mempesona, seolah vila itu sendiri menyatu dengan alam di sekitarnya.“Cantik sekali, Dave,” gumam Disti, matanya berbinar.David tersenyum, menepuk bahunya sambil melihat ke arah Arjuna dan Kieran yang sudah berlarian di hamparan rumput hijau. “Lain kali kita liburan lebih jauh, ya. Ke Bali atau
Plaaak! Tamparan Disti mendarat di pipi Yasa. Wanita itu tidak menduga Yasa akan berkata yang menyakitkan hatinya seperti tadi. Apa yang bisa Disti lakukan jika Yasa benar-benar membawa masalah hak asuh Kieran ke ranah hukum? Yasa punya segalanya. Jelas ia akan memenangkan hak asuh itu, meskipun anak di bawah umur seharusnya dibesarkan oleh ibunya. Yasa bisa melakukan apa saja untuk merebut hak asuh Kieran.Disti terdiam. Semua kata tertahan di tenggorokannya. Hanya air mata yang membasahi pipi yang mewakili kehancuran hati dan harapannya. Begitupun, dengan Yasa. Pria itu tertegun merenungi bagaimana ia dengan bodohnya melayangkan kalimat intimidasi pada Disti. Wanita yang pernah mengisi hati dan telah memberinya seorang putri. Dorongan yang tak terbendung memberikan kekuatan pada Yasa. Mengabaikan semua permasalahan yang ada, Yasa merengkuh Disti ke dalam pelukannya.
Wanita berkulit putih yang mengenakan gaun merah selutut itu tersenyum. Mata sebiru lautannya berbinar terang seolah tidak ada beban sedikit pun di pundaknya ketika ia harus berhadapan dengan mantan istri Yasa."Halo, aku Azra. Yasa pasti sudah memberitahukanmu bahwa aku yang akan menjemput anak-anak." Azra mengulurkan tangannya.Tidak mau terlihat gugup Disti menjabat tangan Azra. Entah Azra bisa merasakan kegugupannya atau tidak, Disti hanya ingin terlihat kalau ia tidak gentar dengan penampilan sempurna wanita itu."Halo, aku Disti. Iya, Mas Yasa sudah memberitahuku."Pertemuan sekaligus perkenalan canggung itu berlangsung singkat. Sebelum Azra membawa kedua anaknya, ia meminta perempuan cantik itu untuk menyampaikan pesannya pada Yasa agar ia tidak lupa untuk mengant
Mata Disti mulai berkaca-kaca. Dahulu, ia sempat mengira David hanya pria egois yang ingin memanfaatkannya. Namun, seiring waktu, ia melihat sisi lain dari David—pria yang ternyata bijaksana dan tulus. Ia mulai sadar, bahwa di balik sikapnya yang flamboyan, David adalah seseorang yang memahami dirinya lebih dari yang ia duga.David mengulurkan tangan dan menyentuh bahu Disti dengan lembut. "Aku akan tetap di sini, menemanimu. Tapi, kamu perlu berdamai dengan hatimu dulu, Dis. Cari tahu apa yang benar-benar kamu inginkan. Aku nggak akan memaksamu untuk memilihku atau siapa pun. Kamu yang berhak menentukan jalanmu sendiri."Disti mengangguk, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Kata-kata David menyentuh bagian terdalam hatinya, membuatnya merasa tenang, tapi juga tergugah untuk mencari kejelasan dalam perasaannya.David tersenyum hangat, lalu berkata, "Sekarang makan, ya. Nggak usah banyak pikir dulu. Biar hatimu nggak lelah sendiri."Disti tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya
Yasa kembali menghela napas, pandangannya kosong. "Aku bingung, Dis. Saat itu, Shalimah ... kondisinya memburuk. Aku tahu aku yang salah karena membiarkannya merasa tersisihkan, karena aku terus memikirkanmu. Aku sudah jadi pria yang kejam, lebih mementingkan perempuan lain daripada istri yang selalu setia di sampingku. Aku larut dalam penyesalanku. Sampai tiba waktunya aku ingin menemui kalian, David sudah benar-benar menggantikan posisiku." Yasa tersenyum masam, “Aku pengecut, ya?”Disti hanya bisa memandang Yasa tanpa kata-kata. Semua kata-kata yang keluar dari mulut pria itu menusuk hatinya, menciptakan rasa bersalah yang kian menumpuk."Apa yang terjadi pada Mbak Shalimah, Mas?" tanyanya akhirnya, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Pertanyaan itu mengandung harapan bahwa jawabannya mungkin berbeda dari apa yang ia duga.Yasa menunduk, suaranya terdengar serak. "Shalimah meninggal dunia beberapa hari setelah melahirkan Gyan, putra kami.""Innalillahi wa inna ilaihi ra'jiun," gumam
Disti menahan napas, kemudian membelai lembut tangan Kieran. "Sayang, Om ini papa kandung Kieran. Jadi, mulai sekarang, Kieran bisa panggil Om ini ‘Papa Yasa’, ya?"Mata Kieran membulat, lalu tersenyum cerah. "Jadi Kieran punya dua papa, ya, Bunda?"Disti mengangguk, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Iya, Sayang. Satu Papa David, satu lagi Papa Yasa."Yasa mencoba tersenyum, meskipun ada kegetiran yang tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan. "Iya, Kieran. Kamu bisa panggil Om, ‘Papa Yasa’."Kieran tampak berpikir sejenak, lalu menatap Disti dengan wajah bingung. "Om ini temannya Bunda ya, Bunda?"Pertanyaan itu membuat Yasa spontan menatap Disti, pandangan mereka berserobok sejenak. Disti menelan ludah, lalu menjawab hati-hati, "Iya, Sayang. Papa Yasa ini teman Bunda."Yasa menunduk, menyembunyikan perasaan sakit yang bergemuruh di dadanya. Jawaban Disti mungkin untuk melindungi Kieran yang masih terlalu muda untuk memahami semua ini, tetapi tetap saja menyakitkan mendengarnya."Assa
Ketukan di pintu ruang kerjanya mengalihkan sejenak pikiran Disti yang tengah kalut, memaksanya kembali pada realitas di senja yang pekat."Assalamualaikum. Maaf, aku datang tanpa kabar," ucap David sambil mendorong pintu terbuka. Senyuman yang biasa menghiasi wajah orientalnya segera memudar ketika ia melihat Disti duduk tersedu-sedu. Tanpa berpikir panjang, David mendekati Disti, menaruh tangannya di pundak Disti untuk menenangkan. "Dis, ada apa? Kenapa kamu menangis?"Disti menunduk. Suaranya terdengar bergetar saat akhirnya ia bicara, tapi bukan menjawab pertanyaan David. "Maafkan aku, Mbak. Maafkan aku. Aku yang salah. Aku yang menjadi duri dalam kehidupan kalian."David terdiam sejenak mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Pandangannya menyapu ruang kerja Disti dan berhenti pada layar laptopnya yang masih menyala, menunjukkan sebuah file bernama ‘Shalimah’. Hatinya mencelos dan ia tak butuh melihat lebih jauh untuk menyimpulkan bahwa video itu adalah penyebab tangis Disti.“
“Assalamualaikum,” ucap Yasa, suaranya berat dan tegas, membawa suasana dingin yang langsung memenuhi ruangan.Disti mengangguk singkat, mencoba menutupi kegugupannya. “Waalaikumsalam,” jawabnya sambil berusaha menjaga nadanya tetap stabil.Yasa melangkah masuk. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah Disti. Sementara itu, Disti bisa merasakan ada sesuatu yang berat dalam tatapan Yasa sesuatu yang membara di balik ketenangan yang Yasa tampilkan.“Kenapa kamu tidak bilang padaku kalau kamu sedang hamil saat kita bercerai?” Yasa langsung bertanya, tanpa basa-basi.Disti tertegun. Pertanyaan itu menghantamnya tanpa ampun, tepat di titik yang paling ia coba sembunyikan selama ini. Ia menatap Yasa, dan untuk pertama kalinya, ia melihat kemar
“Kamu melamarku, Dave?” tanya Disti, suaranya bergetar sedikit, antara terkejut dan tidak percaya.David tersenyum tipis, lalu berpura-pura melempar pandangan ke arah bunga-bunga mawar merah yang tumbuh di sepanjang jalan setapak. “Aku? Melamar kamu? Nggak kok. Aku cuma curhat sama bunga-bunga ini,” jawabnya santai sambil menunjuk ke arah bunga-bunga di sepanjang koridor.Disti tertawa pelan, melirik David dengan pandangan penuh arti. “Begitu saja ngambek,” katanya menggoda. “Tapi serius, Dave, tentu saja aku senang kalau kamu mau menjadi imamku. Hanya saja apa kamu siap menjadi imam seorang janda beranak dua?”David menatap Disti beberapa saat, matanya menyorotkan ketulusan yang begitu dalam. “Menurutmu gimana?” balasnya lembut.
Jantung Disti berdegup kencang, nyaris melompat keluar saat melihat Yasa berjalan mendekat. Tatapannya terkunci pada sosok pria berpostur atletis dengan sorot mata yang masih sama, meski ada sesuatu yang tampak lebih matang, lebih tenang. Waktu seakan melambat. Dan dalam beberapa detik yang panjang itu, kenangan masa lalu menghantamnya bertubi-tubi.Sadar bahwa ia tidak sendirian, Disti segera menoleh ke Kieran yang berdiri di sampingnya. Wajah kecil putrinya yang begitu mirip dengan Yasa membuatnya gelisah. Ia tahu betul, Kieran adalah gambaran Yasa dalam versi perempuan kecil. Jika Yasa memperhatikan lebih teliti, ia pasti akan mengenali kemiripan itu.Dengan sigap, Disti meraih tangan Kieran dan menempatkan gadis kecilnya di belakang tubuhnya, seolah ingin melindungi Kieran dari tatapan yang mungkin penuh pertanyaan. Ketika ia melirik ke arah ana