All Chapters of Terpaksa Menikah dengan Mantan Kakak Ipar: Chapter 51 - Chapter 60

62 Chapters

51. Memori

Kembali ke lima tahun lalu"Dis, kamu nggak adil sama aku. Kamu cuma memikirkan keinginan kamu tanpa peduli perasaanku." Yasa menarik tangan Disti dengan kuat saat ia berusaha menjauh. Tangannya mencengkeram kedua lengan Disti, seolah tak mau melepaskan.Suara Yasa menggema di malam yang sunyi, nyaris seperti sebuah bisikan marah di tengah ketenangan yang mengintimidasi. Sorot matanya yang gelap menunjukkan betapa emosinya hampir meledak. Ia belum rela menerima keputusan hakim yang baru saja menjatuhkan vonis cerai pada mereka.“Perasaan Mas yang seperti apa?” Disti menatap Yasa tajam, suaranya penuh luka. “Mas nggak sadar kalau sikap Mas itu egois? Mas ingin aku, tapi Mas juga nggak mau melepaskan Mbak Shali. Mas tahu nggak, ini nggak adil buat kami berdua? Coba jawab, apa Mas bisa melepaskan Mbak Shali demi aku? Aku rasa nggak,” lanjutnya dengan nada bergetar. “Jadi biarkan aku yang pergi dari hidup kalian.”Disti mencoba melepaskan dirinya dari cengkeraman Yasa, tapi pria itu tak m
Read more

52. Tidak Sengaja Bertemu

Malam itu, David tampak menawan dengan setelan jas hitam dan gaya rambut Ivy League yang membuatnya terlihat elegan sekaligus kasual. Ia duduk di ruang tamu rumah Disti, menunggu dengan sabar sambil bercanda dengan Kieran.“Kieran, Sayang. Papa pinjam Bunda dulu ya sebentar. Besok Papa janji ajak Kieran jalan-jalan dan beli es krim,” kata David sambil mensejajarkan posisinya dengan Kieran.“Janji ya, Pa,” jawab Kieran sambil mengangkat kelingkingnya untuk mengait janji.David tersenyum, lalu mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari Kieran. “Papa janji.”Tidak lama kemudian, Disti muncul dengan gaun biru muda yang membuatnya terlihat anggun. Rambutnya tergerai lembut melewati bahunya dan sebuah kalung mutiara melingkar di lehernya, men
Read more

53. Dia Lagi

Akhir pekan itu, David menurunkan satu per satu sepeda dari bike carrier di bagian belakang mobil SUV-nya. Udara segar pegunungan Lembang menyelimuti vila yang berdiri di atas bukit, memancarkan ketenangan yang langka bagi Disti dan anak-anaknya, Arjuna dan Kieran. Sudah lama mereka tidak menikmati liburan seperti ini.Disti berdiri memandangi vila di hadapannya, kagum pada bangunan berdesain kontemporer itu. Dinding kaca besar di bagian depan menawarkan pemandangan langsung ke arah tebing hijau yang mempesona, seolah vila itu sendiri menyatu dengan alam di sekitarnya.“Cantik sekali, Dave,” gumam Disti, matanya berbinar.David tersenyum, menepuk bahunya sambil melihat ke arah Arjuna dan Kieran yang sudah berlarian di hamparan rumput hijau. “Lain kali kita liburan lebih jauh, ya. Ke Bali  atau
Read more

54. Kembali Dipertemukan

Jantung Disti berdegup kencang, nyaris melompat keluar saat melihat Yasa berjalan mendekat. Tatapannya terkunci pada sosok pria berpostur atletis dengan sorot mata yang masih sama, meski ada sesuatu yang tampak lebih matang, lebih tenang. Waktu seakan melambat. Dan dalam beberapa detik yang panjang itu, kenangan masa lalu menghantamnya bertubi-tubi. Sadar bahwa ia tidak sendirian, Disti segera menoleh ke Kieran yang berdiri di sampingnya. Wajah kecil putrinya yang begitu mirip dengan Yasa membuatnya gelisah. Ia tahu betul, Kieran adalah gambaran Yasa dalam versi perempuan kecil. Jika Yasa memperhatikan lebih teliti, ia pasti akan mengenali kemiripan itu. Dengan sigap, Disti meraih tangan Kieran dan menempatkan gadis kecilnya di belakang tubuhnya, seolah ingin melindungi Kieran dari tatapan yang mungkin penuh pertanyaan. Ketika ia melirik ke arah ana
Read more

55. Kenapa Bukan Shalimah?

“Kamu melamarku, Dave?” tanya Disti, suaranya bergetar sedikit, antara terkejut dan tidak percaya.David tersenyum tipis, lalu berpura-pura melempar pandangan ke arah bunga-bunga mawar merah yang tumbuh di sepanjang jalan setapak. “Aku? Melamar kamu? Nggak kok. Aku cuma curhat sama bunga-bunga ini,” jawabnya santai sambil menunjuk ke arah bunga-bunga di sepanjang koridor.Disti tertawa pelan, melirik David dengan pandangan penuh arti. “Begitu saja ngambek,” katanya menggoda. “Tapi serius, Dave, tentu saja aku senang kalau kamu mau menjadi imamku. Hanya saja apa kamu siap menjadi imam seorang janda beranak dua?”David menatap Disti beberapa saat, matanya menyorotkan ketulusan yang begitu dalam. “Menurutmu gimana?” balasnya lembut.
Read more

56. Berhadapan dengan Yasa

“Assalamualaikum,” ucap Yasa, suaranya berat dan tegas, membawa suasana dingin yang langsung memenuhi ruangan.Disti mengangguk singkat, mencoba menutupi kegugupannya. “Waalaikumsalam,” jawabnya sambil berusaha menjaga nadanya tetap stabil.Yasa melangkah masuk. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah Disti. Sementara itu, Disti bisa merasakan ada sesuatu yang berat dalam tatapan Yasa sesuatu yang membara di balik ketenangan yang Yasa tampilkan.“Kenapa kamu tidak bilang padaku kalau kamu sedang hamil saat kita bercerai?” Yasa langsung bertanya, tanpa basa-basi.Disti tertegun. Pertanyaan itu menghantamnya tanpa ampun, tepat di titik yang paling ia coba sembunyikan selama ini. Ia menatap Yasa, dan untuk pertama kalinya, ia melihat kemar
Read more

57. Menelan Kenyataan Pahit

Ketukan di pintu ruang kerjanya mengalihkan sejenak pikiran Disti yang tengah kalut, memaksanya kembali pada realitas di senja yang pekat."Assalamualaikum. Maaf, aku datang tanpa kabar," ucap David sambil mendorong pintu terbuka. Senyuman yang biasa menghiasi wajah orientalnya segera memudar ketika ia melihat Disti duduk tersedu-sedu. Tanpa berpikir panjang, David mendekati Disti, menaruh tangannya di pundak Disti untuk menenangkan. "Dis, ada apa? Kenapa kamu menangis?"Disti menunduk. Suaranya terdengar bergetar saat akhirnya ia bicara, tapi bukan menjawab pertanyaan David. "Maafkan aku, Mbak. Maafkan aku. Aku yang salah. Aku yang menjadi duri dalam kehidupan kalian."David terdiam sejenak mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Pandangannya menyapu ruang kerja Disti dan berhenti pada layar laptopnya yang masih menyala, menunjukkan sebuah file bernama ‘Shalimah’. Hatinya mencelos dan ia tak butuh melihat lebih jauh untuk menyimpulkan bahwa video itu adalah penyebab tangis Disti.“
Read more

58. Alasan Yasa

Disti menahan napas, kemudian membelai lembut tangan Kieran. "Sayang, Om ini papa kandung Kieran. Jadi, mulai sekarang, Kieran bisa panggil Om ini ‘Papa Yasa’, ya?"Mata Kieran membulat, lalu tersenyum cerah. "Jadi Kieran punya dua papa, ya, Bunda?"Disti mengangguk, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Iya, Sayang. Satu Papa David, satu lagi Papa Yasa."Yasa mencoba tersenyum, meskipun ada kegetiran yang tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan. "Iya, Kieran. Kamu bisa panggil Om, ‘Papa Yasa’."Kieran tampak berpikir sejenak, lalu menatap Disti dengan wajah bingung. "Om ini temannya Bunda ya, Bunda?"Pertanyaan itu membuat Yasa spontan menatap Disti, pandangan mereka berserobok sejenak. Disti menelan ludah, lalu menjawab hati-hati, "Iya, Sayang. Papa Yasa ini teman Bunda."Yasa menunduk, menyembunyikan perasaan sakit yang bergemuruh di dadanya. Jawaban Disti mungkin untuk melindungi Kieran yang masih terlalu muda untuk memahami semua ini, tetapi tetap saja menyakitkan mendengarnya."Assa
Read more

59.

Yasa kembali menghela napas, pandangannya kosong. "Aku bingung, Dis. Saat itu, Shalimah ... kondisinya memburuk. Aku tahu aku yang salah karena membiarkannya merasa tersisihkan, karena aku terus memikirkanmu. Aku sudah jadi pria yang kejam, lebih mementingkan perempuan lain daripada istri yang selalu setia di sampingku. Aku larut dalam penyesalanku. Sampai tiba waktunya aku ingin menemui kalian, David sudah benar-benar menggantikan posisiku." Yasa tersenyum masam, “Aku pengecut, ya?”Disti hanya bisa memandang Yasa tanpa kata-kata. Semua kata-kata yang keluar dari mulut pria itu menusuk hatinya, menciptakan rasa bersalah yang kian menumpuk."Apa yang terjadi pada Mbak Shalimah, Mas?" tanyanya akhirnya, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Pertanyaan itu mengandung harapan bahwa jawabannya mungkin berbeda dari apa yang ia duga.Yasa menunduk, suaranya terdengar serak. "Shalimah meninggal dunia beberapa hari setelah melahirkan Gyan, putra kami.""Innalillahi wa inna ilaihi ra'jiun," gumam
Read more

60. Mamanya Gyan

Mata Disti mulai berkaca-kaca. Dahulu, ia sempat mengira David hanya pria egois yang ingin memanfaatkannya. Namun, seiring waktu, ia melihat sisi lain dari David—pria yang ternyata bijaksana dan tulus. Ia mulai sadar, bahwa di balik sikapnya yang flamboyan, David adalah seseorang yang memahami dirinya lebih dari yang ia duga.David mengulurkan tangan dan menyentuh bahu Disti dengan lembut. "Aku akan tetap di sini, menemanimu. Tapi, kamu perlu berdamai dengan hatimu dulu, Dis. Cari tahu apa yang benar-benar kamu inginkan. Aku nggak akan memaksamu untuk memilihku atau siapa pun. Kamu yang berhak menentukan jalanmu sendiri."Disti mengangguk, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Kata-kata David menyentuh bagian terdalam hatinya, membuatnya merasa tenang, tapi juga tergugah untuk mencari kejelasan dalam perasaannya.David tersenyum hangat, lalu berkata, "Sekarang makan, ya. Nggak usah banyak pikir dulu. Biar hatimu nggak lelah sendiri."Disti tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status