Beranda / Pernikahan / Wanita Kedua / Bab 171 - Bab 180

Semua Bab Wanita Kedua: Bab 171 - Bab 180

285 Bab

Rumah Baru

Dina tak menyangka Bibi akan begitu keras kepala, ingin ikut bersamanya, bahkan saat Dina berkata mungkin saja jika dia berpisah dengan Angga tak akan bisa memberinya gaji seperti saat ini. Tapi wanita itu tetap kukuh dengan pendiriannya. “Kalau begitu Bibi bisa bilang langsung pada Mas Angga, bagaimanapun dialah yang menggaji Bibi selama ini,” kata Dina akhirnya. “Tentu, Nyonya, saya akan bilang pada Tuan,” jawab Bibi yakin. Dina memadang bibi sekilas, mulutnya sudah gatal ingin bertanya alasan Bibi yang begitu membenci Vanya, tapi kalimatnya selalu tertahan di ujung lidah. Bibi sudah lama ikut keluarga ini tentu saja dia tahu persis bagaimana kelakuan Vanya, bahkan bukannya tidak mungkin Bibi juga menyaksikan secara langsung apa yang dilakukan Vanya pada Laras dan Aksa. Tak ingin berpikir terlalu berat Dina hanya menyimpan saja pertanyaannya, dalam diam mereka membereskan barang-barang yang akan mereka bawa. Dina sendiri tak b
Baca selengkapnya

Tak Mungkin Lagi

Dina menutup pintu depan, dan bersandar lemas pada dinding. Hatinya tidak baik-baik saja remuk redam rasanya, bukan perpisahan yang dia inginkan sesungguhnya, lima tahun sudah dia bertahan dalam ketidakpastian, tapi sebuah rumah tangga tidak hanya tentang satu orang. Sebaik apapun dia bertahan tapi bila hanya dia yang berusaha tentu akan pincang, dan lama-lama akan ambruk juga. Itulah yang terjadi dalam rumah tangganya kali ini, nekad memang, dia bahkan tak tahu hidupnya setelah ini apakah akan baik-baik saja, apalagi dengan adanya Anak-anak yang selamanya akan membentuk ikatan tersendiri antara mereka. Dina memejamkan mata merasakan sesak di dada, saat selintas bayangan Angga yang akan bahagia dengan wanita pilihannya, dan pastinya itu bukan dirinya. Dina begitu cemburu, pada bayangan masa depan yang akan terjadi pada hidupnya."Tuan sangat mengkhawatirkan Nyonya dan anak-anak." Dina membuka matanya menyeka air matanya deng
Baca selengkapnya

Sahabat

"Karena kalau Tuan nekad menikahi Non Vanya, Non Vanya akan masuk penjara."Kalimat Bibi kemarin kembali terngiang di telinganya, bagai kaset rusak yang dimainkan berkali-kali.Dina tak tahu apa yang dilakukan keluarga Aryobimo, sampai janji yang dibuat antara Angga dan Laras bisa berdampak begitu, meski Laras sendiri sudah lama tiada.Tidak ada gunanya mengintrogasi bibi lebih jauh lagi, karena sepertinya wanita itu juga tak tahu alasannya, dia hanya tak sengaja mendengar percakapan Angga saja. Dina tersadar dari lamunannya saat ponselnya berbunyi pelan menandakan sebuah pesan masuk. Diambilnya benda itu ternyata dari Angga, yang hanya mengucapkan selamat pagi. Hari ini hari pertama Dina kembali lagi ke kantor lamanya. Dan juga pagi pertama hidupnya tanpa Angga di sisinya.Tak bisa dipungkiri, bagaimanapun Angga menyakiti hatinya Dina tak dapat menghentikan pikiran, bagaimana laki-laki itu tanpa dirinya, pagi tadi dia sudah me
Baca selengkapnya

Semangat Brian.

“Jadi sekarang suami Mbak Dina tinggal dengan istri mudanya?” Tanya Siska. Gadis itu mengatakannya dengan tak terima, sungguh dia tak tahu bagaimana car kerja otak suami Dina, yang menyia-nyiakan wanita sebaik ini. Sejak tahu Angga menikahi Keira memang Siska sudah kehilangan respek padanya, bahkan tak segan gadis itu menggoda Dina agar mau melepaskan Angga dan memilih Brian, yang menurutnya menyimpan rasa pada Dina. “Tidak Keira tinggal bersama mama mertua, sejak dia mengumbar kehidupan kami di medsos.” “Jadi dia tinggal tanpa salah satu istrinya?” tanya Siska dengan tak sabar.“Iya.” “Pasti dia berpikir untuk menikah dengan orang lain lagi, dasar buaya,” umpat Siska dengan sadis, yang membuat Dina meringis. Andai saja mereka tahu, kalau sekarang Angga malah dekat dengan wanita yang dicintainya tentu mereka akan semakin marah dan menghujatnya, tapi Dina tidak ingin mengatakannya, bukan karena dia ingin membela Angga, tapi D
Baca selengkapnya

Hamil?

Dina memandang anak-anak yang sedang bermain di halaman belakang rumah ini, mereka terlihat ceria seperti biasa. Syukurlah. Padahal Dina sempat khawatir mereka tidak akan nyaman tinggal di sini. Mereka sudah terbiasa hidup nyaman dengan fasilitas mewah, tentu sulit jika harus tinggal di rumah yang bisa dibilang sederhana untuk ukuran mereka."Anak-anak sudah makan siang semua, Mbak?" tanya Dina pada pengasuh yang sedang mengawasi anak-anak bermain.Pengasuh itu menoleh kaget tapi lalu tersenyum dan mengangguk. "Sudah Nyonya, mereka makan seperti biasa." Dina menyapa anak-anaknya sebentar lalu berpamitan untuk membersihkan diri badannya terasa lengket dan tidak nyaman, dia juga merasa sangat lapar. “Bisa minta tolong pada Bibi siapkan makan untukku juga, Mbak,” pinta Dina. “Eh, Nyonya belum makan siang?” tanya Mbak pengasuh sedikit terkejut, padahal jam di dinding sudah menunjukkaan empat sore. “Sudah, tadi tapi lapar lagi, tolong ya, Mbak.” Si Mbak mengangguk lalu mencari bibi d
Baca selengkapnya

Keluarga Katanya

Bu Rahmi mendongak dan mendapati Dina yang berdiri di sana dengan mata berkaca-kaca. “Ada apa, Din apa suamimu menyakitimu lagi? kenapa menangis?”Bu Rahmi hanya dapat mengelus punggung anak asuhnya ini dengan lembut, dia biarkan Dina menumpahkan tangisnya, tak terasa air mata Bu Rahmi juga menetes mendengar tangis putus asa Dina. Jujur saja BU Rahmi merasa sangat bersalah pada Dina, dia dulu yang menjodohkan Dina dengan Angga, meski dia mereka tidak saling cinta, dia pikir rasa itu bisa tumbuh seiring waktu berjalan, tapi ternyata sampai lima tahun pernikahan malah perpisahan yang terjadi. “Maafin Ibu, Din jika keputusan ibu menjodohkanmu dulu membuatmu sedih,” kata Bu Rahmi lirih masih dengan memeluk Dina. Dina yang sadar, tangisnya hanya akan membebani Bu Rahmi saja segera melepaskan pelukannya, dengan mata yang masih basah, Dina menatap wanita yang sudah membesarkannya itu. “Ini bukan salah, ibu, aku yakin ibu juga tak mau ini terjadi padaku.” Senyum
Baca selengkapnya

Bersamamu

Dina melangkah ke halaman rumah yang dia tempati dengan tak bersemangat, di sebelahnya Hera berjalan dengan pelan, sesekali matanya melirik Dina dengan penasaran, tapi dia tak berani bertanya.Wajah wanita itu terlihat kusut dengan mata sembab, tidak perlu menjadi pintar untuk bisa menebak kalau wanita itu baru saja menangis hebat. “Aku masuk dulu, terima kasih sudah menemaniku,” kata Dina dengan senyum yang jelas sekali dia paksakan. “Sama-sama, Nyonya. senang bisa menamani Nyonya.” Dina segera berlalu masuk ke dalam rumah, senja telah tiba, di ujung sana tampak semburat jingga yang sangat indah, tapi siapa peduli, hati Dina sedang tak tenang, dia bahkan tak sadar kalau akan jatuh hingga sebuah tangan memegang tubuhnya. Dina mengerjap cepat, dia kenal betul aroma ini, aroma yang selalu menemaninya tidur. Dina membuka matanya dan menatap Angga yang memandangnya khawatir. Dina segera melepaskan diri dari pelukan Angga dan menoleh ke sekelilingnya, rupany
Baca selengkapnya

Kepanikan Bu Rahmi

Pagi-pagi sekali sebelum Dina berangkat kerja, Bu Rahmi datang tergopoh-gopoh menuju rumahnya, wanita itu terlihat cemas. Bahkan mataharipun belum menunjukkan dirinya, hanya semburatnya yang indah terlihat di ujung sana. “Ada apa, Bu? Kenapa ibu terlihat panik.” Bu Rahmi menghela napasnya dalam menormalkan detak jatungnya yang memburu, salahnya juga yang datang dengan wajah panik membuat Dina ikut khawatir, padahal wanita itu tidak boleh stress. “Duduk, dulu, Bu, biar aku ambilkan minum.” Dina mengambil segelas air mineral dan memberikannya pada Bu Rahmi. Wanita itu menghabiskan gelasnya dalam tiga tegukan besar, dan bernapas dengan terengah-engah. “Pelan-pelan, Bu,” ucap Dina, tangannya mengelus punggung Bu Rahmi naik turun, berharap wanita itu bisa menenangkan diri. Bu Rahmi meletakkan gelasnya dan duduk menghadap Dina. “Maaf, Din, Ibu pagi-pagi sudah merusuh di rumahmu.” Dina hanya tersenyum dan menggeleng pelan. “Ada apa, Bu? Kenapa ibu terliha
Baca selengkapnya

Siapa Aku?

Keputusan Bu Rahmi untuk memaksa Dina membicarakannya dengan Angga dan tidak boleh datang tanpa laki-laki itu bersamanya memang tepat. Dina tak tahu apa yang akan terjadi padanya andai dia nekad datang sendiri. Saat ini saja dia sudah berkeringat dingin, jantungnya berdebar begitu kencang, dia sampai khawatir jantungnya akan jatuh ke lantai mobil. “Kamu baik-baik saja? Tegang banget kayaknya,” goda Angga sambil tersenyum jahil. “Semoga saja mereka ingin bertemu bukan ingin menjodohkanmu dengan pangeran dari negeri antah berantah.” Dina memandang Angga galak, yang benar saja, bagaimana laki-laki itu bisa bercanda menyebalkan begini di waktu yang tidak tepat pula. “Kalau itu benar aku akan menganguk setuju, apalagi kalau dia ganteng banget nggak nolak aku,” ejek Dina membuat Angga cemberut. “Jangan suka cemberut begitu, sudah tua bisa nambah itu keriput di wajah.” “Kamu seneng banget bahas soal umur,” gerutunya. “Iyalah supaya nggak lupa, kamu  masih suka
Baca selengkapnya

Sulit Ditebak

Hari itu pembagian hari pembagian raport, semua anak datang dengan didampingi orang tuanya. Dina hanya bisa memandang mereka dengan iri, Bu Rahmi tidak bisa hadir karena ada adek panti yang sedang sakit, sedangkan kakak-kakak panti juga tidak bisa menemaninya karena harus sekolah ataupun bekerja. Padahal hari ini wali kelasnya sudah mengatakan kalau dia mendapat peringkat pertama dan akan diminta maju ke podium yang telah disiapkan. Dina memandang mereka yang sedang tertawa bahagia bersama orang tuanya, padahal mereka bahkan tidak mendapat predikat juara. Dia selalu berusaha sangat keras untuk mencapai hal ini, dia berharap dengan begitu orang tuanya yang entah ada di mana akan bangga dan mau menjemputnya dari panti, bukan karena dia tidak betah tinggal di panti, tapi lebih karena dia ingin seperti anak lain, yang bisa mendapatkan kasih sayang yang utuh dari ayah dan ibu. Hari itu dia naik ke panggung sendirian dengan diiringi berbagai pandangan, Dina hanya bisa men
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1617181920
...
29
DMCA.com Protection Status