Bu Rahmi mendongak dan mendapati Dina yang berdiri di sana dengan mata berkaca-kaca. “Ada apa, Din apa suamimu menyakitimu lagi? kenapa menangis?”Bu Rahmi hanya dapat mengelus punggung anak asuhnya ini dengan lembut, dia biarkan Dina menumpahkan tangisnya, tak terasa air mata Bu Rahmi juga menetes mendengar tangis putus asa Dina. Jujur saja BU Rahmi merasa sangat bersalah pada Dina, dia dulu yang menjodohkan Dina dengan Angga, meski dia mereka tidak saling cinta, dia pikir rasa itu bisa tumbuh seiring waktu berjalan, tapi ternyata sampai lima tahun pernikahan malah perpisahan yang terjadi. “Maafin Ibu, Din jika keputusan ibu menjodohkanmu dulu membuatmu sedih,” kata Bu Rahmi lirih masih dengan memeluk Dina. Dina yang sadar, tangisnya hanya akan membebani Bu Rahmi saja segera melepaskan pelukannya, dengan mata yang masih basah, Dina menatap wanita yang sudah membesarkannya itu. “Ini bukan salah, ibu, aku yakin ibu juga tak mau ini terjadi padaku.” Senyum
Dina melangkah ke halaman rumah yang dia tempati dengan tak bersemangat, di sebelahnya Hera berjalan dengan pelan, sesekali matanya melirik Dina dengan penasaran, tapi dia tak berani bertanya.Wajah wanita itu terlihat kusut dengan mata sembab, tidak perlu menjadi pintar untuk bisa menebak kalau wanita itu baru saja menangis hebat. “Aku masuk dulu, terima kasih sudah menemaniku,” kata Dina dengan senyum yang jelas sekali dia paksakan. “Sama-sama, Nyonya. senang bisa menamani Nyonya.” Dina segera berlalu masuk ke dalam rumah, senja telah tiba, di ujung sana tampak semburat jingga yang sangat indah, tapi siapa peduli, hati Dina sedang tak tenang, dia bahkan tak sadar kalau akan jatuh hingga sebuah tangan memegang tubuhnya. Dina mengerjap cepat, dia kenal betul aroma ini, aroma yang selalu menemaninya tidur. Dina membuka matanya dan menatap Angga yang memandangnya khawatir. Dina segera melepaskan diri dari pelukan Angga dan menoleh ke sekelilingnya, rupany
Pagi-pagi sekali sebelum Dina berangkat kerja, Bu Rahmi datang tergopoh-gopoh menuju rumahnya, wanita itu terlihat cemas. Bahkan mataharipun belum menunjukkan dirinya, hanya semburatnya yang indah terlihat di ujung sana. “Ada apa, Bu? Kenapa ibu terlihat panik.” Bu Rahmi menghela napasnya dalam menormalkan detak jatungnya yang memburu, salahnya juga yang datang dengan wajah panik membuat Dina ikut khawatir, padahal wanita itu tidak boleh stress. “Duduk, dulu, Bu, biar aku ambilkan minum.” Dina mengambil segelas air mineral dan memberikannya pada Bu Rahmi. Wanita itu menghabiskan gelasnya dalam tiga tegukan besar, dan bernapas dengan terengah-engah. “Pelan-pelan, Bu,” ucap Dina, tangannya mengelus punggung Bu Rahmi naik turun, berharap wanita itu bisa menenangkan diri. Bu Rahmi meletakkan gelasnya dan duduk menghadap Dina. “Maaf, Din, Ibu pagi-pagi sudah merusuh di rumahmu.” Dina hanya tersenyum dan menggeleng pelan. “Ada apa, Bu? Kenapa ibu terliha
Keputusan Bu Rahmi untuk memaksa Dina membicarakannya dengan Angga dan tidak boleh datang tanpa laki-laki itu bersamanya memang tepat. Dina tak tahu apa yang akan terjadi padanya andai dia nekad datang sendiri. Saat ini saja dia sudah berkeringat dingin, jantungnya berdebar begitu kencang, dia sampai khawatir jantungnya akan jatuh ke lantai mobil. “Kamu baik-baik saja? Tegang banget kayaknya,” goda Angga sambil tersenyum jahil. “Semoga saja mereka ingin bertemu bukan ingin menjodohkanmu dengan pangeran dari negeri antah berantah.” Dina memandang Angga galak, yang benar saja, bagaimana laki-laki itu bisa bercanda menyebalkan begini di waktu yang tidak tepat pula. “Kalau itu benar aku akan menganguk setuju, apalagi kalau dia ganteng banget nggak nolak aku,” ejek Dina membuat Angga cemberut. “Jangan suka cemberut begitu, sudah tua bisa nambah itu keriput di wajah.” “Kamu seneng banget bahas soal umur,” gerutunya. “Iyalah supaya nggak lupa, kamu masih suka
Hari itu pembagian hari pembagian raport, semua anak datang dengan didampingi orang tuanya. Dina hanya bisa memandang mereka dengan iri, Bu Rahmi tidak bisa hadir karena ada adek panti yang sedang sakit, sedangkan kakak-kakak panti juga tidak bisa menemaninya karena harus sekolah ataupun bekerja. Padahal hari ini wali kelasnya sudah mengatakan kalau dia mendapat peringkat pertama dan akan diminta maju ke podium yang telah disiapkan. Dina memandang mereka yang sedang tertawa bahagia bersama orang tuanya, padahal mereka bahkan tidak mendapat predikat juara. Dia selalu berusaha sangat keras untuk mencapai hal ini, dia berharap dengan begitu orang tuanya yang entah ada di mana akan bangga dan mau menjemputnya dari panti, bukan karena dia tidak betah tinggal di panti, tapi lebih karena dia ingin seperti anak lain, yang bisa mendapatkan kasih sayang yang utuh dari ayah dan ibu. Hari itu dia naik ke panggung sendirian dengan diiringi berbagai pandangan, Dina hanya bisa men
"Sejak kapan sih, Mas, kamu jadi sok perhatian dan pemaksa seperti ini?" tanya Dina kesal dengan Angga yang memaksanya periksa kandungan saat ini juga. Padahal dia tidak merasa ada yang salah dengan kandungannya. Oklah dia memang harus periksa kandungan tapi tidak harus malam ini, saat semua energinya habis setelah berperang dengan perasaannya sendiri. "Kamu pasti setelah ini mikirin tetang pertemuan tadi, dan membuatmu makin stress, aku tahu kamu sekarang pingin nangis tapi malu sama aku," jawab Angga sok yakin."Padahal kalau kamu memang pingin nangis juga nangis aja aku siap peluk kamu," sambungnya.Dina hanya melengos tak terima Angga benar dia memang ingin menangis dari tadi, dia ingin menangisi jalan hidupnya yang berliku tajam ini, sekali saja. Tapi tentu saja hubungannya yang menggantung dengan Angga membuatnya enggan untuk memperlihatkan kelemahannya di depan laki-laki yang masih sah berstatus suaminya. Dina selalu merasa Angga buk
“Mama yang menemanimu seperti biasa, dia lebih tahu kondisimu.” Keira sangat senang saat mama mertuanya berjalan cepat dan berbicara dengan Angga, suaminya. Akhirnya setelah lama tidak mau lagi mengantarkannya untuk periksa kandungan Angga muncul juga. Mungkin pengaruh Dina tak mempan lagi untuk Angga, wanita itu terlalu mengekang suaminya, padahal Keira juga istri Angga dan berhak untuk mendapat perhatian yang sama, bahkan lebih karena kondisinya yang sedang hamil dan juga kakinya yang belum mampu untuk berjalan dengan sempurna. Keira bahkan tak habis pikir sihir apa yang dimiliki Dina hingga Angga begitu menurut padanya. Tapi kalimat yang diucapkan Angga berhasil membuatnya geram, apalagi dia tadi tak menyadari kehadiran Dina di sana yang sedang duduk di kursi ruang tunggu. Senyum yang dari tadi bertengger cantik di wajahnya seketika hilang, berganti dengan rasa kesal. Kenapa selalu ada Dina di sisi Angga, tidak bisakah wanita itu perg
Dina pikir saat dirinya memutuskan untuk menyerah dengan kehidupan rumah tangganya dia akan lepas dari kehidupan rumit Angga dan para wanita di sekelilingnya, tapi ternyata Dina salah, kehidupan rumit itu terus mengikutinya bagai bayangan kelam.Dina memandang ponselnya dengan geram sebuah pesan dari Keira."Mbak kita sama-sama hamil jangan egois memonopoli Mas Angga sendiri." Dina rasanya ingin tertawa kencang, betapa tak tahu malunya wanita ini, padahal jelas-jelas anak dalam kandungannya ini bukan anak Angga. Benar-benar ya. Dan tak lama ponselnya berbunyi lagi pesan dari Angga yang masuk kali ini.Kesempatan yang bagus, Dina tak ingin repot-repot mengurus masalah konyol begini.Dia mengirimkan pesan Keira pada Angga, tanpa kalimat apapun, bahkan Dina tak membalas pesan yang penuh perhatian dari Angga.Biarkan laki-laki itu menentukan sikapnya sendiri apa yang akan dia lakukan pada istri mudanya itu, Dina tak peduli.Pesan Keira sudah menghancurkan moodnya di pagi ini, padahal ha
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda