"Sejak kapan sih, Mas, kamu jadi sok perhatian dan pemaksa seperti ini?" tanya Dina kesal dengan Angga yang memaksanya periksa kandungan saat ini juga.
Padahal dia tidak merasa ada yang salah dengan kandungannya. Oklah dia memang harus periksa kandungan tapi tidak harus malam ini, saat semua energinya habis setelah berperang dengan perasaannya sendiri."Kamu pasti setelah ini mikirin tetang pertemuan tadi, dan membuatmu makin stress, aku tahu kamu sekarang pingin nangis tapi malu sama aku," jawab Angga sok yakin."Padahal kalau kamu memang pingin nangis juga nangis aja aku siap peluk kamu," sambungnya.Dina hanya melengos tak terima Angga benar dia memang ingin menangis dari tadi, dia ingin menangisi jalan hidupnya yang berliku tajam ini, sekali saja. Tapi tentu saja hubungannya yang menggantung dengan Angga membuatnya enggan untuk memperlihatkan kelemahannya di depan laki-laki yang masih sah berstatus suaminya.Dina selalu merasa Angga buk“Mama yang menemanimu seperti biasa, dia lebih tahu kondisimu.” Keira sangat senang saat mama mertuanya berjalan cepat dan berbicara dengan Angga, suaminya. Akhirnya setelah lama tidak mau lagi mengantarkannya untuk periksa kandungan Angga muncul juga. Mungkin pengaruh Dina tak mempan lagi untuk Angga, wanita itu terlalu mengekang suaminya, padahal Keira juga istri Angga dan berhak untuk mendapat perhatian yang sama, bahkan lebih karena kondisinya yang sedang hamil dan juga kakinya yang belum mampu untuk berjalan dengan sempurna. Keira bahkan tak habis pikir sihir apa yang dimiliki Dina hingga Angga begitu menurut padanya. Tapi kalimat yang diucapkan Angga berhasil membuatnya geram, apalagi dia tadi tak menyadari kehadiran Dina di sana yang sedang duduk di kursi ruang tunggu. Senyum yang dari tadi bertengger cantik di wajahnya seketika hilang, berganti dengan rasa kesal. Kenapa selalu ada Dina di sisi Angga, tidak bisakah wanita itu perg
Dina pikir saat dirinya memutuskan untuk menyerah dengan kehidupan rumah tangganya dia akan lepas dari kehidupan rumit Angga dan para wanita di sekelilingnya, tapi ternyata Dina salah, kehidupan rumit itu terus mengikutinya bagai bayangan kelam.Dina memandang ponselnya dengan geram sebuah pesan dari Keira."Mbak kita sama-sama hamil jangan egois memonopoli Mas Angga sendiri." Dina rasanya ingin tertawa kencang, betapa tak tahu malunya wanita ini, padahal jelas-jelas anak dalam kandungannya ini bukan anak Angga. Benar-benar ya. Dan tak lama ponselnya berbunyi lagi pesan dari Angga yang masuk kali ini.Kesempatan yang bagus, Dina tak ingin repot-repot mengurus masalah konyol begini.Dia mengirimkan pesan Keira pada Angga, tanpa kalimat apapun, bahkan Dina tak membalas pesan yang penuh perhatian dari Angga.Biarkan laki-laki itu menentukan sikapnya sendiri apa yang akan dia lakukan pada istri mudanya itu, Dina tak peduli.Pesan Keira sudah menghancurkan moodnya di pagi ini, padahal ha
“Mulai hari ini aku talak kamu,” kalimat itu diucapkan Angga dengan tenang. “Dan sekarang kita bukan lagi suami istri.” Ruangan itu seketika hening, bahkan tak terdengar tarikan napas dari tiga orang yang berbagi ruangan itu. Keheningan yang mencekam. Angga masih diam menunggu reaksi wanita yang baru saja dia ceraikan itu. Wajah yang tadi terlihat penuh senyum itu seketika menjadi pucat, ada rasa tidak tega di hati Angga, tapi inilah langkah yang harus dia lakukan, toh pernikahan mereka hanya di atas kertas saja. Andai wanita itu paham dan menyadari posisinya sejak awal mungkin Angga tidak akan sampai berbuat begini. “Tapi, Mas, apa salahku, bukankah aku belum melahirkan,” kata wanita itu berang, dia tak terima dibuang begitu saja, dia terbiasa dipuja oleh para pria. “Aku sudah membicarakannya dengan Rudi Hartono, pernikahan kita adalah kesepakatanku dengannya dan dia setuju dengan ini, jadi tidak ada alasan untuk kamu menolak.” Angga merasa seperti laki-lak
Angga menghembuskan napasnya lega, satu masalah telah dia selesaikan dengan baik, seharusnya inilah yang dia lakukan sejak dulu, hanya memberikan namanya dan kompensasi untuk kecelakaan itu, memberinya uang dan kehidupan yang layak untuknya, bukan memberi sedikit ruang di hatinya. Angga menyesal dengan kebodohannya itu, tapi dia berharap semuanya belum terlambat. Dan sekarang saatnya dia menghadapi masalah yang satu lagi. Tidak ada kewajiban padanya untuk melakukan ini tapi hatinya tak tega saat melihat wanita itu kekurangan. Angga selalu memenuhi kebutuhannya, menemaninya saat dia butuh teman bicara, Angga sudah melakukan semuanya dengan baik sebagai teman, tapi kini dia ingin semuanya berakhir. Ada orang lain yang ingin dia utamakan orang yang seharusnya sejak dulu jadi prioritasnya, sejak dia mengucapkan janji suci pernikahan.Angga mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, dia ingin semuanya berakhir hari ini, dia ingin menjadi orang yang baru melangkah t
“Apa ini karena Dina tak terima dengan kejadian waktu itu? istrimu itu terlalu kampungan dan merasa kalau dia tak cukup layak untukmu makanya berulah, apa kamu mau didekte oleh istrimu itu?” Angga melotot marah, rahangnya mengeras dan tangannya terkepal, dia tak terima ada yang menghina Dina. Tapi Angga tahu Vanya akan semakin sulit kalau dia menghadapinya dengan kemarahan, dia kemari untuk memutuskan benang masa lalunya, bukan untuk bertengkar. Dihelanya napas dalam, sekedar menenangkan hatinya yang terasa terbakar. “Apa menurutmu aku akan menurut pada orang lain jika aku tak menginginkannya?” tanya Angga tenang. “Aku yakin kamu hanya sedang bingung, kamu tidak mungkin mencintainya?” tanya vanya tak terima. Vanya mengenal Angga hampir diseparuh usianya, dia juga tahu wanita seperti apa yang menjadi kekasih Angga, dan Dina sama sekali tidak masuk dalam kriteria itu. Angga menyukai tipikal wanita yang lemah lembut dan yang pasti bukan dari orang yang tidak
"Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu pada Vanya, Bar?""Aku hanya mengatakan kenyataan yang ada, kenapa? Apa Mas marah, perempuan yang Mas puja ternyata tak berharga?" jawab Bara tak peduli.Angga menatap Bara dengan penasaran."Jelaskan padaku!" Bara menatap Angga tajam, antara rasa iba dan juga tidak mengerti."Untuk apa? Dia tidak ada hubungan dengan Mas Anggakan? Dia juga bukan orang yang penting? Jadi untuk apa aku jelaskan.Bara melangkah ke mini market dengan ringan mengabaikan Angga yang ternganga tak percaya di pinggir jalan. Angga tak tahu dia harus berkata apa, kalimat Bara telak menohoknya, dia tidak punya hubungan apapun dengan Vanya dan juga dia bukan orang yang penting untuk Angga, tapi tetap saja dia tidak terima, Vanya teman baiknya dan Angga menyayanginya, tapi berdebat masalah itu dengan Bara akan memicu bencana yang lain, cepat atau lambat pertengkarannya akan didengar Dina dan istrinya itu, akan meninggalkannya tanpa pikir panj
Dina terbangun dari tidur lelapnya, dia terkejut oleh ketukan pintu kamarnya. Suara Bibi memanggil namanya berulang kali. Dina menengok jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Apa anak-anak sakit? Pikiran itu membuat Dina tersentak dan secepatnya turun membuka pintu. “Ada apa, Bi?” tanya Dina cemas, apalagi melihat wajah bibi yang terlihat ketakutan. “Anak-anak kenapa?” tanyanya tak sabar. “I..itu, Nya, bukan anak-anak tapi Tuan,” jawab Bibi tergagap. “Mas Angga kenapa?” Dina segera keluar dari kamarnya dan mengikuti telunjuk Bbi yang mengarah ke ruang tamu. “Ada apa dengamu, Mas? Kamu habis tawuran?”Dina membelalak kaget melihat wajah Angga yang penuh luka, dan bekas darah yang mengering di wajahnya membuatnya tampak mengerikan. Dengan tangan bergetar Dina memegang wajah suaminya. Ini sudah tengah malam demi Tuhan, dan dari mana saja suaminya ini berkeliaran sampai mendapatkan luka yang begitu menyeramkan itu. Apa kebiasaan lama laki-laki i
Dina terduduk di toilet perempuan sebuah restoran dengan lemas, tubuhnya terasa tak nyaman, mungkin karena tadi malam tidurnya terganggu oleh kedatangan Angga di tengah malam, belum lagi laki-laki itu juga menginap di rumah yang dia tempati, meski memilih tidur dengan Ara. Hampir pagi Dina baru bisa tertidur kembali, dan harus bangun lagi untuk bekerja, bahkan dia tak membuatkan membantu bibi memasak atau menyiapkan keperluan anak-anak. Anggalah yang tadi pagi mengambil alih tugas itu, syukurlah anak-anak tidak protes dan mengerti kondisi bundanya yang sedang hamil muda. Angga tadi juga sudah melarangnya untuk masuk kerja, tapi Dina memaksa, karena dia harus ikut pertemuan penting dengan klien, dia tidak mungkin menyerahkan tanggung jawabnya begitu saja pada temannya. Makanan dengan bumbu pekat sejenis rendang yang biasanya sangat disukainya netah mengapa sekarang malah membuatnya mual, syukurlah mereka makan siang setelah menyelesaikan semua pembicaraan bisnis mereka, d
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda