Dina terbangun dari tidur lelapnya, dia terkejut oleh ketukan pintu kamarnya. Suara Bibi memanggil namanya berulang kali. Dina menengok jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Apa anak-anak sakit? Pikiran itu membuat Dina tersentak dan secepatnya turun membuka pintu.
“Ada apa, Bi?” tanya Dina cemas, apalagi melihat wajah bibi yang terlihat ketakutan. “Anak-anak kenapa?” tanyanya tak sabar.“I..itu, Nya, bukan anak-anak tapi Tuan,” jawab Bibi tergagap.“Mas Angga kenapa?”Dina segera keluar dari kamarnya dan mengikuti telunjuk Bbi yang mengarah ke ruang tamu.“Ada apa dengamu, Mas? Kamu habis tawuran?”Dina membelalak kaget melihat wajah Angga yang penuh luka, dan bekas darah yang mengering di wajahnya membuatnya tampak mengerikan. Dengan tangan bergetar Dina memegang wajah suaminya.Ini sudah tengah malam demi Tuhan, dan dari mana saja suaminya ini berkeliaran sampai mendapatkan luka yang begitu menyeramkan itu. Apa kebiasaan lama laki-laki iDina terduduk di toilet perempuan sebuah restoran dengan lemas, tubuhnya terasa tak nyaman, mungkin karena tadi malam tidurnya terganggu oleh kedatangan Angga di tengah malam, belum lagi laki-laki itu juga menginap di rumah yang dia tempati, meski memilih tidur dengan Ara. Hampir pagi Dina baru bisa tertidur kembali, dan harus bangun lagi untuk bekerja, bahkan dia tak membuatkan membantu bibi memasak atau menyiapkan keperluan anak-anak. Anggalah yang tadi pagi mengambil alih tugas itu, syukurlah anak-anak tidak protes dan mengerti kondisi bundanya yang sedang hamil muda. Angga tadi juga sudah melarangnya untuk masuk kerja, tapi Dina memaksa, karena dia harus ikut pertemuan penting dengan klien, dia tidak mungkin menyerahkan tanggung jawabnya begitu saja pada temannya. Makanan dengan bumbu pekat sejenis rendang yang biasanya sangat disukainya netah mengapa sekarang malah membuatnya mual, syukurlah mereka makan siang setelah menyelesaikan semua pembicaraan bisnis mereka, d
Hera bersiap menggunakan helmnya, dengan motor gagah yang menjadi tunggangannya sehari-hari wanita itu akan menyusul Dina yang sudah terlebih dahulu meninggalkan restoran bersama teman-temannya. Dia tahu sang Nyonya orang yang sederhana, jadi setiap saat dibuntuti oleh pengawal membuatnya tak nyaman, tapi Hera tahu banyak orang yang mengincar keselamatan Dina. Sebagai istri seorang pengusaha kaya raya yang perusahaannya sedang sangat berkembang, tentu Dina menjadi incaran yang empuk. Bukan hanya sekali ini Hera ditugaskan untuk menjaga istri orang kaya, tapi hanya saat menjaga Dina dia merasa dihormati sebagai manusia bukan hanya pengawal yang selalu diumpankan untuk menjamin keselamatan tuannya. Mobil yang mereka tumpangi melaju dengan kencang dan Hera juga mengikuti dalam jarak yang aman. Mereka memasuki perbatasan kota, tapi tiba-tiba sebuah mobil menyalip di depan dan berhenti mendadak, Brian yang mengemudikan mobil itu mau tak mau harus menghentikan mobil
Dina duduk di sebuah kursi di tengah ruangan, tepatnya dia didudukkan Di sana oleh orang-orang itu, wajahnya terlihat datar dan tak menampakkan emosi apapun. Dia tak ingin memuaskan ego penculiknya dengan menampakkan wajah ketakutan, meski dalam hatinya dia takut setengah mati, apalagi kandungannya yang masih tergolong muda, sangat rentan untuk mengalami pendarahan. Anak dalam kandungannya memang datang tanpa direncanakan tapi tetap saja, dia sangat menyayangi calon anaknya itu, dia tak mau terjadi apa-apa pada kandungannya, dan panik dan memberontak hanya akan percuma, para penculiknya tidak akan luluh dengan air mata, mereka sudah terbiasa dengan darah manusia yang mengalir. Dina sangat paham dengan hal itu.Jadilah dia hanya duduk diam di sini, kedua tangan dan kakinya terikat erat pada kursi, entah sudah berapa lama dia berada di sini, Dina tak tahu, apalagi keadaan kamar yang remang-remang membuatnya tak bisa menebak apa sekarang masih siang atau sudah akan memasuki ma
"Kenapa Hera belum keluar?" tanya Dina cemas, dia takut karena dia sudah lari Heralah yang akan menjadi korban."Aku yakin dia baik-baik saja," Brian berusaha berkata dengan yakin, tapi Dina yang sudah lama berkecimpung di bidang psikologi dan hampir setiap hari harus menilai seseorang, tentu tidak sulit baginya kalau ada ketidakyakinan juga dalam kalimat Brian."Apa yang harus kita lakukan untuk membantunya keluar dari sana." "Tidak ada, kita hanya perlu secepatnya pergi seperti perkataan Hera, lalu mencari bantuan untuk menyelamatkannya." Brian menarik tangan Dina, berusaha memanfaatkan kesempatan saat orang itu masuk kembali ke dalam rumah. Mau tak mau dia mengikuti langkah Brian, tidak ada yang bisa dia lakukan memang, kalau lebih lama di sini akan membahayakan Hera.Dalam hati Dina tak putus untuk berdoa, memohon pertolongannya.Mereka terus berjalan sampai tiba di sebuah pohon besar, Dina berhenti sejenak mengatur napasnya, perutnya terasa kram,
Dina memandang Brian yang kebetulan sedang memandnagnya juga dan sebuah kesepakatan terbentuk dari sana. Memang masih samar, semuanya hanya berdasarkan asumsi mereka saja, belum ada bukti nyata. Dina menoleh pada orang yang tengah berbicara itu, bukan kalimat panjang memang hanya sebuah ucapan ringan yang tak bermakna. “Mbak Dina tidak sendiri?” tanyanya. Sekilas pertanyaan biasa tapi tidak untuk Brian dan Dina yang sudah mendengar panggilan telepon penculik mereka. Dina menoleh pada Vanya yang memandangnya terkejut. “Kenapa memangnya?” tanya Dina berusaha memancing Vanya untuk bicara. “Oh, tidak aku hanya bersyukur Mbak Dina tidak sendiri,” jawabnya dengan terbata. “Iya syukurlah ada orang baik yang mau menolongku dari cengkraman iblis,” jawab Dina yang tersenyum semanis racun. Dia harus bisa membuktikan kalau Vanya terlibat dalam masalah ini, tapi dia tak mungkin mengatakan langsung pada Bara maupun Angga kenyataan ini, bisa dijamin mereka akan m
Dina bangun di sebuah ruangan serba putih, matanya terbuka dan menatap nyalang, tubuhnya terasa kaku dan dingin. Dia menoleh ke kanan, tangannya terasa hangat dan berat, satu-satunya bagian tubuhnya yang tidak kedinginan. Benar saja seseorang memegang erat tangannya, seolah dia akan pergi berlari dari sana. Dina berusaha menggerakkan tangannya, memberi tanda pada orang itu kalau dia sudah bangun. “Kamu sudah sadar?”Angga menatapnya dengan mata merah, sejenak mereka hanya saling pandang, lalu laki-laki itu pergi keluar kamar dengan tergesa, meninggalkan Dina yang terbaring sendiri di sana. Dina ingin memanggil Angga agar tak meninggalkannya tapi suaranya seolah hilang tak mau berucap apa-apa, sampai bayangan Angga menghilang ditelan pintu ruangan, Dina hanya bisa terbaring pasrah. Tubuhnya seolah tak mau bekerja sama untuk menuruti perintah otaknya. Apa Angga membencinya karena membuat Vanya melakukan perbuatan segila ini? dan sekarang sang suami meninggalkannya s
“Aku sudah mengurusnya, Din, kamu tenang saja, Vanya sudah diamankan dan anak-anak juga baik-baik saja.”Dina bukannya tak percaya ucapan Angga, tapi dia ingin memperjelas maksud dari mengamnakan itu, dia tidak akan tinggal diam kalau Vanya sampai bisa bebas, apalagi bisa ke luar negeri dan beberapa tahun kemudian bebas keluar masuk kemari. oh tentu saja tidak. Dina tak akan membiarkan itu, meski dia harus berhadapan dengan Angga dan keluarga Vanya dia tak akan mundur, Dina yakin keadilan pasti ada untuknya. “Mengurus bagaimana maksudmu? apa kamu menahanku di sini supaya kamu punya waktu untuk membebaskan wanita itu?” bentak Dina. “aku tidak akan pernah memaafkanmu kalau itu sampai terjadi.” Angga tertegun, Dina memang sering marah padanya dan perdebatan sering kali mewarnai rumah tangga mereka, tapi kali Dina marah sambil menangis, air mata kekecewaan mengalir deras jatuh ke pipinya. Dada Angga bagai tertusuk belati, sakit. Tapi dia sadar inilah balasan yang haru
"Dia mencintaimu," kata Angga akhirnya, entah kenapa kata itu meluncur begitu saja. Dina menoleh pada Angga, lalu tertawa dengan geli. Lucu sekali suaminya ini, apa Angga sedang cemburu pada Bara? Atau hanya egonya saja yang terluka. "Kamu aneh-aneh saja, Mas. Bara itu ganteng dan belum pernah menikah, kalau dia mau gadis manapun bisa dia dapatkan, ngapain dia suka sama aku yang istri orang, sedang hamil pula." Angga memandang Dina, dia tak tahu harus bersyukur atau marah dengan istrinya yang begitu tak peka. "Sudahlah itu tak penting, Bara pasti baik-baik saja setelah ini. Aku akan usahakan dokter terbaik untuknya." Dina mengangguk, tak ada yang dapat dia lakukan memang, dia hanya bisa berdoa agar Bara cepat pulih. "Lalu Hera?" "Dia ada di ruang perawatan, kondisinya sudah membaik." Dina meminta Angga untuk menemaninya melihat kondisi Hera. Wanita itu sudah mulai membaik kondisinya, syukur
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda