"Dia mencintaimu," kata Angga akhirnya, entah kenapa kata itu meluncur begitu saja.
Dina menoleh pada Angga, lalu tertawa dengan geli. Lucu sekali suaminya ini, apa Angga sedang cemburu pada Bara? Atau hanya egonya saja yang terluka. "Kamu aneh-aneh saja, Mas. Bara itu ganteng dan belum pernah menikah, kalau dia mau gadis manapun bisa dia dapatkan, ngapain dia suka sama aku yang istri orang, sedang hamil pula." Angga memandang Dina, dia tak tahu harus bersyukur atau marah dengan istrinya yang begitu tak peka. "Sudahlah itu tak penting, Bara pasti baik-baik saja setelah ini. Aku akan usahakan dokter terbaik untuknya." Dina mengangguk, tak ada yang dapat dia lakukan memang, dia hanya bisa berdoa agar Bara cepat pulih. "Lalu Hera?" "Dia ada di ruang perawatan, kondisinya sudah membaik." Dina meminta Angga untuk menemaninya melihat kondisi Hera. Wanita itu sudah mulai membaik kondisinya, syukurKekuatan uang dan kekuasaan memang kombinasi yang memiliki power luar biasa, setelah sang paman datang Bara dan Hera yang sebelumnya dirawat di ruang perawatan Vvip, saat ini mendapatkan lebih exklusive lagi, bahkan pihak rumah sakit mendatangkan dokter-dokter terbaik dari seluruh negeri, tentu saja ada harga yang harus dibayar, tapi untuk Angga tentu saja bukan masalah besar. Dan kondisi keduanya berangsur membaik, Dina sedikit bernapas lega.Sore ini seperti biasa, setelah pulang kerja yang sebelumnya ditentang habis-habisan oleh Angga, tapi Dina yang keras kepala ngotot ingin terus bekerja, sampai waktunya akan melahirkan. Dan demi kedamaian mereka Angga dengan berat hati mengijinkannya, tentu saja dengan berbagai persyaratan yang harus dipatuhi Dina termasuk soal pengawal dan harus mengangkat telepon setiap Angga menghubunginya, yang mana laki-laki itu meneleponnya setiap satu jam sekali yang membuat Dina begitu jengkel dibuatnya, tapi tak bisa berbuat apa-apa, dan
Angga melajukan mobilnya kencang menuju kantor polisi tempat Vanya ditahan. Jalanan masih dipenuhi orang-orang yang akan berangkat mencari nafkah pagi ini, dia sendiri memutuskan masuk kantor lebih lambat.Meski Bara belum bisa masuk kerja, tapi Hendra bisa diandalkan untuk meringankan pekerjaannya. Dia sudah memastikan Dina dan anak-anaknya sampai di tempat tujuan masing-masing dengan selamat sebelum membelokkan mobilnya berlawanan arah dengan kantornya.Tujuannya ke sana bukan untuk menjenguk Vanya tentu saja, sesayangnya Angga pada wanita itu dia juga bisa marah saat keluarganya disakiti, dan seperti ucapannya pada Dina kemarin, dia akan pastikan Vanya dihukum dengan sepantasnya. Sengaja memang dia tidak mengajak Dina, dia tak mau istrinya itu terlalu emosi saat melihat Vanya dan mengakibatkan kondisinya yang menurun dan sengaja memberitahukan pada wanita itu melalui telepon saja untuk mencegah kesalahpahaman yang tidak diinginkan.Dan terbukti trick iti cu
Dengan diantar Deri, Angga menemui Vanya yang ditahan di sana, wanita itu terlihat lusuh, beda sekali dengan penampilannya yang biasanya. Ada sedikit rasa iba yang ada di hati Angga, tapi mengingat perbuatannya pada Dina membuat perasaan itu seolah tawar, wanita yang dulu begitu dibelanya telah menusuknya dari belakang. “Aku harap kamu tidak tersesat dalam bujuk rayunya lagi,” kata Deri dan berlalu dari sana. Angga hanya memandang sosok temannya itu lalu melangkah menghampiri Vanya yang duduk dalam ruangan dengan sekat kaca. “Mas Angga!” seru Vanya antusias. “Aku tahu, Mas akan ke sini dan membebaskanku.” Wanita itu memandang Angga dengan penuh harap. Angga meraih kursi yang ada di sana dan duduk dengan tenang. Diamatinya sebentar wajah yang dulu pernah dikaguminya, Vanya memang sangat cantik, bahkan saat sudah beberapa hari dia dalam penjara dan tentu saja tidak ada make up dan skincare yang dia pakai. Tapi entah kenapa hatinya sejak dulu tak bisa lebih dari s
“Halo. Ada apa Ghe?” tanya Angga. Sambungan terdiam di ujung sana. Dia memandang layar ponselnya sejenak memastikan kalau panggilan belum terputus. Angga menunggu beberapa saat sampai suara lembut yang dulu sempat mengisi hari-harinya terdengar. “Aku akan ke Indonesia secepatnya.” Hanya itu yang Ghea katakan tanpa salam pembuka ataupun ucapan basa basi yang lainnya. Hubungan mereka memang tidak sedekat dulu, waktu yang berlalu begitu lama seakan tak mampu mencairkan kebekuan di antara mereka. “Aku mengerti.” Lalu sambungan terputus. Angga melangkahkan kakinya menuju mobilnya terparkir, langkahnya lebih ringan sekarang, dia akan menyerahkan urusan Vanya pada Ghea dan mulai sekarang dia akan lepas tangan dari semua urusan itu, dia juga tak ingin lagi terbebani dengan janjinya pada Ghea. Angga ingin bebas. Jika saja jam dinding yang menempel di tembok bisa bicara mungkin dia akan kegeeran karena betapa seringnya Angga me
"Ghea? Mantan tunanganmu?" tanya Dina.Dia berusaha bicara setenang mungkin, meski dadanya seketika bergemuruh, rasa cemburu dan kecewa seketika menyerangnya dengan hebat. Dina mengalihkan pandangannya pada keindahan taman di dekatnya. Bunga-bunga tertata dengan rapi tergantung disebuah papan kayu sangat indah. Tapi keindahan itu tak mampu menepis rasa sesak dalam hatinya, setetes air mata jatuh di pipinya.Tanpa disangka sebuah tangan menghapusnya dengan lembut."Kamu menangis," kata Angga dengan pahit, Dina pasti merasa tertekan dengan semua ini. Tapi Anggapun tak mampu untuk menyelami perasaan istrinya, dia bingung harus bagaimana."Jangan berpikir yang tidak-tidak, aku hanya menemui Vanya untuk tahu alasannya itu saja, demi Tuhan tak ada keinginanku untuk memperhatikannya, maaf karena tidak mengatakan padamu sebelumnya."Dina hanya diam saja, wanita itu masih memalingkan muka, tak sanggup menatap wajah suaminya. Sekali lagi dia merasa dikhianati.
Udara yang segar dan pemandangan yang indah, selalu mampu memberikan ketenangan yang sulit dijelaskan dengan nalar, bersyukulah orang-orang yang hidup di pedesaan yang masih bisa menghirup udara yang alami dengan kadar pencemaran polusi yang sangat minim. Itulah yang dirasakan Dina sekarang, dengan menhirup udara yang jernih ini membuatnya dapat berpikir dengan jernih pula. Rasa cemburunya pada Ghea dan Vanya mungkin sudah berlebihan dan salahkan saja hormon kehamilannya yang tidak stabil. Tapi bukan berarti Dina begitu mudah memaafkan Angga dan menerima kehadiran suaminya kembali. Permasalahan dalam rumah tangga mereka bukan orang lain penyebabnya dari diri mereka sendiri sebagai pemeran utama di dalamnya, Angga yang tak mampu memberikan seluruh hatinya pada Dina dan masih dipenuhi bayang-bayang masa lalu dan Dina yang tidak cukup mampu untuk mengalihkan dunia Angga dari masa lalu itu sendiri. Hadirnya orang luar hanya faktor pemicu yang mempercepat perpecahan di ant
“Kalau orang yang tidak tahu pasti mengira kalian kakak dan adek kandung,” komentar Dina. Bara hanya menyeringai, “Mau bagaimana lagi Mas Angga memang yang paling dekat denganku, meski dia menyebalkan tapi dia orang yang baik dan suka tak tegaan.” “Dan sifatanya yang tidak tegaan itu tanpa sadar menyakiti orang terdekatnya,” balas Dina tak habis pikir. “Mau bagaimana lagi itu sudah bawaan bayi, sulit banget untuk dihilangkan, tapi sepertinya Mbak Dina sudah mulai bisa memahami hal itu?” Bara menatap Dina tajam, ingin mencari jawaban sendiri untuk pertanyaannya. Untunglah orang yang sedang mereka bicarakan sedang ke ruangan dokter, ada sesuatu yang ingin dokter katakan pada wali Bara dan Angga sebagai walinya tentu harus ke sana. “Bukan bisa tapi terpaksa bisa,” jawab Dina kesal. “Kenapa, Mbak? Bukankah jika Mbak Dina ingin mencari yang lain masih terbuka lebar, Mbak cantik, baik dan keibuan, hidup ini terlalu siangkat untuk melakukan sesuatu yang tidak
“Besok Ghea dan suaminya akan datang, apa kamu mau ikut denganku menjemput mereka di bandara?” tanya Angga, malam itu saat lagi-lagi dia numpang makan malam di rumah yang ditempati oleh Dina. Bahkan bisa dikatakan laki-laki itu hanya numpang tidur saja di rumah utama yang dulu menjadi tempat tinggal mereka, itupun kalau anak-anak tidak rewel dan meminta sang papa untuk tidur dengan mereka. Dina sampai tak habis pikir dulu saja saat mereka tinggal bersama, anak-anak cuek saja papanya pulang sampai larut malam dan hanya bertemu saat sarapan pagi, itupun mereka jarang sekali untuk berinteraksi, tapi sekarang saat mereka tinggal terpisah, seolah-olah anak-anak tak ingin lepas dari papa mereka. Mungkin itu juga yang dinamakan ikatan ayah dan anak. ‘Love hate relationship’ kalau Dina menyimpulkan. Memang tidak mudah juga tumbuh tanpa adanya figur orang tua yang lengkap dan Dina sangat paham akan hal itu. Tapi apa tadi Angga bilang menjemput Ghea dan suaminya di bandara?