“Kalau orang yang tidak tahu pasti mengira kalian kakak dan adek kandung,” komentar Dina.
Bara hanya menyeringai, “Mau bagaimana lagi Mas Angga memang yang paling dekat denganku, meski dia menyebalkan tapi dia orang yang baik dan suka tak tegaan.”“Dan sifatanya yang tidak tegaan itu tanpa sadar menyakiti orang terdekatnya,” balas Dina tak habis pikir.“Mau bagaimana lagi itu sudah bawaan bayi, sulit banget untuk dihilangkan, tapi sepertinya Mbak Dina sudah mulai bisa memahami hal itu?” Bara menatap Dina tajam, ingin mencari jawaban sendiri untuk pertanyaannya.Untunglah orang yang sedang mereka bicarakan sedang ke ruangan dokter, ada sesuatu yang ingin dokter katakan pada wali Bara dan Angga sebagai walinya tentu harus ke sana.“Bukan bisa tapi terpaksa bisa,” jawab Dina kesal.“Kenapa, Mbak? Bukankah jika Mbak Dina ingin mencari yang lain masih terbuka lebar, Mbak cantik, baik dan keibuan, hidup ini terlalu siangkat untuk melakukan sesuatu yang tidak“Besok Ghea dan suaminya akan datang, apa kamu mau ikut denganku menjemput mereka di bandara?” tanya Angga, malam itu saat lagi-lagi dia numpang makan malam di rumah yang ditempati oleh Dina. Bahkan bisa dikatakan laki-laki itu hanya numpang tidur saja di rumah utama yang dulu menjadi tempat tinggal mereka, itupun kalau anak-anak tidak rewel dan meminta sang papa untuk tidur dengan mereka. Dina sampai tak habis pikir dulu saja saat mereka tinggal bersama, anak-anak cuek saja papanya pulang sampai larut malam dan hanya bertemu saat sarapan pagi, itupun mereka jarang sekali untuk berinteraksi, tapi sekarang saat mereka tinggal terpisah, seolah-olah anak-anak tak ingin lepas dari papa mereka. Mungkin itu juga yang dinamakan ikatan ayah dan anak. ‘Love hate relationship’ kalau Dina menyimpulkan. Memang tidak mudah juga tumbuh tanpa adanya figur orang tua yang lengkap dan Dina sangat paham akan hal itu. Tapi apa tadi Angga bilang menjemput Ghea dan suaminya di bandara?
“Baiklah aku akan ikut menjemput Ghea dan suaminya,” kata Dina saat menyambut suaminya di pagi hari, jadwal Angga untuk ‘numpang’ sarapan pagi di rumah ini. “Kamu yakin?” tanya Angga sedikit terkejut dengan sambutan istrinya yang ‘romantis’ itu. Nggak juga sih, tapi mau bagaimana lagi dari pada kamu ngelirik mantan. “Iya yakin. Kapan datangnya?” jawab Dina mengesampingkan pikiran konyol yang melintas di kepalanya.“Siang ini jam satu pesawatnya mendarat.” “Hah! Jam satu kamu kok nggak bilang, Mas, nggak bisa gitu jemputnya tar malem saja,” kata Dina ngaco. Angga yang sudah melangkah ke dalam rumah untuk menemui anak-anaknya, menghentikan langkahnya, dia memandang sang istri tajam, yang benar saja masak datangnya jam satu siang suruh jemput malam. Bisa jamuran mereka kelamaan menunggu di bandara. “Memangnya kenapa kalau kita jemput jam satu?” tanya Angga lebih memilih mengabaikan pemikirannya tadi, meski judes dan menyebalkan Dina orang yang logis dan sel
“Hah! Jadi benar kamu dulu selingkuh saat tunangan dengan Ghea?” tanya Dina begitu terkejut. Roda mobil itu berputar cepat meninggalkan tempat parkir yayasan, Angga berkonsentrasi mengeluarkan sedan mewah kesayangannya itu dari tempat parkir, jadi Dina mau tak mau harus bersabar meski kepalanya penuh dengan berbagai hal yang ingin dia tanyakan pada Angga. Mereka memang tidak membawa pengawal yang ikut di mobil ini, tapi Dina yakin Angga banyak menempatkan pengawal bayangan di sekellingnya, peristiwa penculikan kemarin masih meninggalkan trauma untuk laki-laki itu sehingga menambah jumlah pengawal adalah opsi rasional yang dia pilih, apalagi Dina yang masih enggan untuk kembali satu rumah dengannya. Mobil berjenis sedan mewah itu sudah berjalan dengan mulus di jalan raya, ini bukan waktu yang tepat memang untuk bertanya, tapi Dina sudah sangat penasaran. Oh ayolah dia bukannya ingin bertengkar di mobil dengan suaminya, yang bisa mencelakakan mereka, tapi dia hanya
Dina memandang wanita di depannya dengan sorot menilai, senyumnya dan tingkah lakunya terlihat tulus bukan hal yang palsu, setidaknya itulah penilaiannya saat bertemu pertama kali dengan Ghea, masa lalu suaminya ini. Perjalanan yan jauh dan beban pikiran karena adek kesayangannya mendekam dipenjara membuat Ghea terlihat lelah dan pucat, tapi tidak mengurangi kecantikannya, dia menghadapi Dina dengan tenang. Sebagai orang yang sudah berpengalaman berhadapan dengan berbagai jenis orang tentu Dina bisa melakukan hal yang sama, meski sebelum ini dia terbakar api cemburu yang membara, tapi itu hanya di depan Angga, dia tak akan sudi menunjukkannya di depan wanita yang dia cemburui. “Aku senang akhirnya kita bisa bertemu Mas Angga sering menceritakanmu pada kami,” suaranya terdengar lembut dan jernih. Tapi apa tadi katanya Angga sering membicarakan dirinya dengan wanita ini, apa mereka sering berkomunikasi?Tapi gengsi banget untuk bertanya. “Semoga bukan soal
Sidang kasus penculikan dan percobaan pembunuhan Dina yang dilakukan oleh Vanya, akan menemui titik akhir, pembacaan putusan akan dilakukan hari ini. Dina yang menjadi korban tentu saja harus rela untuk bolak balik ke kantor polisi untuk memberikan kesaksiannya dengan Angga yang setia mendampinginya, dan seperti janji Angga laki-laki itu bahkan mau memberikan bukti-bukti yang memberatkan Vanya, langkah yang berani memang menurut Dina dan Ghea yang juga mengikuti jalannya persidangan, hanya bisa pasrah, karena adeknya memang bterbukti melakukan kejahatan itu, apalagi percobaan pembunuhan yang dia lakukan terhadap Dina terjadi di depan banyak orang dan juga sudah melukai Bara. Ngomong-ngomong soal Bara, laki-laki itu juga turut serta hadir dalam persidangan terakhir mantan kekasihnya itu, kondisinya membaik dengan cepat, meski masih harus cek up ke rumah sakit tiap seminggu sekali. Dan jangan lupakan Hera yang juga kembali bertugas menjaga Dina. “Kamu siap mendeng
‘Keira terjatuh di kamar mandi, sekarang mama menuju rumah sakit harapan bunda.’ Angga memajamkan matanya, apalagi ini, tidakkah Tuhan memberinya sedikit saja waktu untuk menenangkan diri, dia baru saja menyaksikan vonis hukum Vanya dan jujur saja itu membuatnya tak nyaman, dia tak tahu harus bersikap bagaimana di depan Dina, istrinya itu terlalu pandai untuk dibohongi. Dan sekarang dia harus kembali dihadapkan pada situasi sulit, Angga menyesali hatinya yang lemah, seharusnya dia mudah saja mengabaikan pesan mamanya, tapi bagaimanapun juga Keira masih berstatus istrinya di atas kertas meski kata talak telah dia ucapkan. Angga memandang Dina yang juga memandangnya dengan sinar mata bertanya.Tuhan apa yang harus dia putuskan? Dulu mungkin dia akan langsung berlari menghampiri Keira dengan alasan kemanusiaan yang akan dia jadikan alasan, tapi kini dia tak bisa pergi begitu saja, satu kesalahan saja pasti akan membuat Dina terluka dan memilih pergi meninggalkannya.
Tak henti-hentinya mulut Dina mengunyah makanan yang dia bawa dalam pastik kecil di pangkuannya, bahkan dia tak peduli meski Angga mengemudikan mobilnya dengan kencang, Dina bukannya tak punya hati bisa makan enak saat Keira sedang sakit, tapi dia butuh makan, meski hanya sekedar camilan. Beban emosi yang ditanggungnya cukup berat, jadi dia butuh tenaga yang besar juga untuk menghadapinya. Angga hanya melirik tingkah polah istrinya itu, sudah biasa dengan Dina yang suka sekali makan sejak hamil. Angga tak tahu dia harus bersyukur atau tidak, bahkan bobot tubuh Dina mulai naik dengan drastis, Angga bukannya keberatan dengan hal itu, tapi dia hanya tidak ingin salah berkomentar karena Dina cukup sensitif belakangan ini apalagi untuk urusan penampilan. “Kamu mau ikut ke dalam dulu atau aku antar ke kantin langsung.” Dina menatap suaminya yang membukakan pintu mobil. “Aku belum lapar.” Ya iyalah dari tadi sudah makan cemilan, aku yang kelaparan, batin Angga sebal. Boro-boro Dina mau
“Mama tahu laki-laki itu?” Dina memandang mertuanya yang terdiam di sampingnya, memperhatikan Angga yang sedang berdebat di depan mereka. “Laki-laki itu beberapa kali mengunjungi Keira,” katanya sambil memandang Dina ragu. Satu kesadaran langsung mampir ke otak Dina. “Apa dia kekasih Keira, putra Rudi Hartono?” Sang mama hanya menggeleng dengan bingung. “Entahlah, Din, Keira hanya bilang dia temannya dulu saat mama bertanya.” “Kita ke sana saja, Ma.” Dina tak tahu apa yang mereka perdebatkan, dia juga tak melihat Rudi Hartono dimanapun, padahal jelas sekali Dina melihat Angga tadi menghubunginya dan mengatakan kalau kemungkinan Keira akan melahirkan. Lorong rumah sakit yang tidak bisa dikatakan sepi bahkan tak mampu meredam perdebatan dua orang itu, beberapa orang terlihat menengok pada mereka dengan wajah ingin tahu. Angga yang dikenal Dina bukan orang yang ceroboh sampai dia harus bertengkar di muka umum seperti ini, apa ada hal yang gawat dengan Keir
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda