Dina memandang wanita di depannya dengan sorot menilai, senyumnya dan tingkah lakunya terlihat tulus bukan hal yang palsu, setidaknya itulah penilaiannya saat bertemu pertama kali dengan Ghea, masa lalu suaminya ini.
Perjalanan yan jauh dan beban pikiran karena adek kesayangannya mendekam dipenjara membuat Ghea terlihat lelah dan pucat, tapi tidak mengurangi kecantikannya, dia menghadapi Dina dengan tenang.Sebagai orang yang sudah berpengalaman berhadapan dengan berbagai jenis orang tentu Dina bisa melakukan hal yang sama, meski sebelum ini dia terbakar api cemburu yang membara, tapi itu hanya di depan Angga, dia tak akan sudi menunjukkannya di depan wanita yang dia cemburui.“Aku senang akhirnya kita bisa bertemu Mas Angga sering menceritakanmu pada kami,” suaranya terdengar lembut dan jernih.Tapi apa tadi katanya Angga sering membicarakan dirinya dengan wanita ini, apa mereka sering berkomunikasi?Tapi gengsi banget untuk bertanya.“Semoga bukan soalSidang kasus penculikan dan percobaan pembunuhan Dina yang dilakukan oleh Vanya, akan menemui titik akhir, pembacaan putusan akan dilakukan hari ini. Dina yang menjadi korban tentu saja harus rela untuk bolak balik ke kantor polisi untuk memberikan kesaksiannya dengan Angga yang setia mendampinginya, dan seperti janji Angga laki-laki itu bahkan mau memberikan bukti-bukti yang memberatkan Vanya, langkah yang berani memang menurut Dina dan Ghea yang juga mengikuti jalannya persidangan, hanya bisa pasrah, karena adeknya memang bterbukti melakukan kejahatan itu, apalagi percobaan pembunuhan yang dia lakukan terhadap Dina terjadi di depan banyak orang dan juga sudah melukai Bara. Ngomong-ngomong soal Bara, laki-laki itu juga turut serta hadir dalam persidangan terakhir mantan kekasihnya itu, kondisinya membaik dengan cepat, meski masih harus cek up ke rumah sakit tiap seminggu sekali. Dan jangan lupakan Hera yang juga kembali bertugas menjaga Dina. “Kamu siap mendeng
‘Keira terjatuh di kamar mandi, sekarang mama menuju rumah sakit harapan bunda.’ Angga memajamkan matanya, apalagi ini, tidakkah Tuhan memberinya sedikit saja waktu untuk menenangkan diri, dia baru saja menyaksikan vonis hukum Vanya dan jujur saja itu membuatnya tak nyaman, dia tak tahu harus bersikap bagaimana di depan Dina, istrinya itu terlalu pandai untuk dibohongi. Dan sekarang dia harus kembali dihadapkan pada situasi sulit, Angga menyesali hatinya yang lemah, seharusnya dia mudah saja mengabaikan pesan mamanya, tapi bagaimanapun juga Keira masih berstatus istrinya di atas kertas meski kata talak telah dia ucapkan. Angga memandang Dina yang juga memandangnya dengan sinar mata bertanya.Tuhan apa yang harus dia putuskan? Dulu mungkin dia akan langsung berlari menghampiri Keira dengan alasan kemanusiaan yang akan dia jadikan alasan, tapi kini dia tak bisa pergi begitu saja, satu kesalahan saja pasti akan membuat Dina terluka dan memilih pergi meninggalkannya.
Tak henti-hentinya mulut Dina mengunyah makanan yang dia bawa dalam pastik kecil di pangkuannya, bahkan dia tak peduli meski Angga mengemudikan mobilnya dengan kencang, Dina bukannya tak punya hati bisa makan enak saat Keira sedang sakit, tapi dia butuh makan, meski hanya sekedar camilan. Beban emosi yang ditanggungnya cukup berat, jadi dia butuh tenaga yang besar juga untuk menghadapinya. Angga hanya melirik tingkah polah istrinya itu, sudah biasa dengan Dina yang suka sekali makan sejak hamil. Angga tak tahu dia harus bersyukur atau tidak, bahkan bobot tubuh Dina mulai naik dengan drastis, Angga bukannya keberatan dengan hal itu, tapi dia hanya tidak ingin salah berkomentar karena Dina cukup sensitif belakangan ini apalagi untuk urusan penampilan. “Kamu mau ikut ke dalam dulu atau aku antar ke kantin langsung.” Dina menatap suaminya yang membukakan pintu mobil. “Aku belum lapar.” Ya iyalah dari tadi sudah makan cemilan, aku yang kelaparan, batin Angga sebal. Boro-boro Dina mau
“Mama tahu laki-laki itu?” Dina memandang mertuanya yang terdiam di sampingnya, memperhatikan Angga yang sedang berdebat di depan mereka. “Laki-laki itu beberapa kali mengunjungi Keira,” katanya sambil memandang Dina ragu. Satu kesadaran langsung mampir ke otak Dina. “Apa dia kekasih Keira, putra Rudi Hartono?” Sang mama hanya menggeleng dengan bingung. “Entahlah, Din, Keira hanya bilang dia temannya dulu saat mama bertanya.” “Kita ke sana saja, Ma.” Dina tak tahu apa yang mereka perdebatkan, dia juga tak melihat Rudi Hartono dimanapun, padahal jelas sekali Dina melihat Angga tadi menghubunginya dan mengatakan kalau kemungkinan Keira akan melahirkan. Lorong rumah sakit yang tidak bisa dikatakan sepi bahkan tak mampu meredam perdebatan dua orang itu, beberapa orang terlihat menengok pada mereka dengan wajah ingin tahu. Angga yang dikenal Dina bukan orang yang ceroboh sampai dia harus bertengkar di muka umum seperti ini, apa ada hal yang gawat dengan Keir
Kalau dipikir-pikir memang tanggapan Dina ada benarnya juga, kenapa dia tadi harus marah pada laki-laki itu, toh memang sejak awal dia sudah tahu kalau ayah dari anak yang dikandung Keira adalah salah satu dari putra Rudi Hartono, jika memang laki-laki ini mengatakan dengan begitu yakin jadi apa masalahnya sekarang? Nah lho, kenapa Angga juga jadi bingung? “Jadi kamu ikutan nyumbang?” tanya Dina enteng, dia bukannya tak sakit hati jika memang hal itu yang terjadi, Dina hanya mencoba untuk percaya pada apa yang telah diceritakan suaminya. “Nyumbang apa? kamu tahu sendiri aku hanya pernah tidur dengan kamu dan Laras saja,” jawab Angga tak terima. “Ya jadi biasa saja nggak usah nyolot.” “Aku hanya tak terima dibilang merayu Keira dan meninggalkannya, yang menyodorkan Keira padaku juga ayahnya.” Angga masih menatap garang laki-laki itu. “Ya memang ayahnya yang nyodorin, tapi kamu terima juga.” Angga langsung kicep, tak tahu harus bicara apa, Dina mema
Dina hanya berharap dalam diri bayi itu benar-benar mengalir darah salah satu putra Rudi Hartono, entah yang mana Dina tak peduli, yang jelas dengan begitu nasib bayi itu lebih jelas, mereka keluarga kaya raya meski mungkin saja kasih sayang yang akan bayi itu dapatkan masih belum jelas tapi setidaknya dia tak akan merasakan kekurangan materi, syukur-syukur kalau orang tuanya mau mengasuhnya sendiri. Bukan harapan yang terlalu muluk memang, melihat sikap Anton Hartono yang mau bersusah payah menemui Keira dan mengakui anaknya. Bayi baru lahir adalah mahluk suci yang tidak memiliki dosa apapun, dia tak pernah bisa memilih untuk lahir dari orang tua yang bagaimana. Perbuatan orang tuanyalah yang menyebabkan mereka memiliki nasib yang buruk. “Apa yang terjadi kalau anak itu bukan keturunan Hartono?” tanya Dina pada Angga, yang masih menatap bayi dalam kotak kaca itu, sedangkan Anton Hartono dengan terpaksa mengikuti langkah ayahnya yang ingin melakukan test DNA pada bay
“Mama nggak bisa begitu, Ma,” seru Angga tak terima.Malam itu seelah memastikan Keira aman dan dijaga oleh perawatnya dan juga ada Anton Hartono yang dengan ngeyelnya ingin menjaga Keira di sana, Angga akhirnya bisa pulang dengan tenang, dan bukan tempat tinggalnya yang pertama kali dia datangi tadi rumah mamanya, dan saat ini Dina dan anak-anak juga menginap di sini, hal yang sejak lama tidak dilakukan Dina saat Keira tinggal bersama mamanya. Dengan alasan sang mama yang sedang kangen dengan cucunya, Dina harus rela menginap di sini, bukan masalah sebenarnya karena besok akhir pekan dan waktunya mereka libur sejenak dari aktivitas rutin seperti sekolah dan kerja, tapi yang dipermasalahkan Angga adalah mereka akan pergi liburan tanpa mengajaknya. Oh Angga memang bisa saja menyusul ke sana dia bukan anak kecil lagi yang akan menangis saat ditinggal mamanya untuk berlibur, dia sudah terlalu tua untuk itu, tapi saat ini dia punya tanggung jawab lain yang harus dia sel
Mamanya pasti sudah gila, kenapa malah meminta Bara menjaga Dina, laki-laki itu ikut saja sudah membuat Angga kegerahan, apalagi membayangkan mereka yang kemana-mana berdua, karena keinginan mamanya. Kepala Angga rasanya pusing luar biasa. Dadanya seakan tebakar. “Tapi Angga suami Dina, jadi Angga yang harus menjaganya.” “Semua orang juga tahu, meski kamu seenaknya punya istri muda, tapi yang dikenal sebagai Nyonya Anggara Wicaksana itu ya Dina, bukan orang lain, kamu nggak usah mengatakan hal yang sudah mama tahu sejak lama.” Wanita senior itu sudah mulai sebal dengan sikap putranya.“Sudah tidak ada lagi masalah, pokoknya besok kami akan liburan, kamu urusin saja Keira, kurang baik apa coba mama, mengajak istrimu liburan di saat kamu sibuk mengurus istri mudamu itu, biasanya laki-laki yang punya istri dua malah senang bukannya marah-marah seperti kamu,” sindiran telak itu hanya mampu membuat Angga tersenyum masam. Mamanya sangat tahu caranya membuat An