Dengan diantar Deri, Angga menemui Vanya yang ditahan di sana, wanita itu terlihat lusuh, beda sekali dengan penampilannya yang biasanya. Ada sedikit rasa iba yang ada di hati Angga, tapi mengingat perbuatannya pada Dina membuat perasaan itu seolah tawar, wanita yang dulu begitu dibelanya telah menusuknya dari belakang.
“Aku harap kamu tidak tersesat dalam bujuk rayunya lagi,” kata Deri dan berlalu dari sana.Angga hanya memandang sosok temannya itu lalu melangkah menghampiri Vanya yang duduk dalam ruangan dengan sekat kaca.“Mas Angga!” seru Vanya antusias. “Aku tahu, Mas akan ke sini dan membebaskanku.” Wanita itu memandang Angga dengan penuh harap.Angga meraih kursi yang ada di sana dan duduk dengan tenang. Diamatinya sebentar wajah yang dulu pernah dikaguminya, Vanya memang sangat cantik, bahkan saat sudah beberapa hari dia dalam penjara dan tentu saja tidak ada make up dan skincare yang dia pakai. Tapi entah kenapa hatinya sejak dulu tak bisa lebih dari s“Halo. Ada apa Ghe?” tanya Angga. Sambungan terdiam di ujung sana. Dia memandang layar ponselnya sejenak memastikan kalau panggilan belum terputus. Angga menunggu beberapa saat sampai suara lembut yang dulu sempat mengisi hari-harinya terdengar. “Aku akan ke Indonesia secepatnya.” Hanya itu yang Ghea katakan tanpa salam pembuka ataupun ucapan basa basi yang lainnya. Hubungan mereka memang tidak sedekat dulu, waktu yang berlalu begitu lama seakan tak mampu mencairkan kebekuan di antara mereka. “Aku mengerti.” Lalu sambungan terputus. Angga melangkahkan kakinya menuju mobilnya terparkir, langkahnya lebih ringan sekarang, dia akan menyerahkan urusan Vanya pada Ghea dan mulai sekarang dia akan lepas tangan dari semua urusan itu, dia juga tak ingin lagi terbebani dengan janjinya pada Ghea. Angga ingin bebas. Jika saja jam dinding yang menempel di tembok bisa bicara mungkin dia akan kegeeran karena betapa seringnya Angga me
"Ghea? Mantan tunanganmu?" tanya Dina.Dia berusaha bicara setenang mungkin, meski dadanya seketika bergemuruh, rasa cemburu dan kecewa seketika menyerangnya dengan hebat. Dina mengalihkan pandangannya pada keindahan taman di dekatnya. Bunga-bunga tertata dengan rapi tergantung disebuah papan kayu sangat indah. Tapi keindahan itu tak mampu menepis rasa sesak dalam hatinya, setetes air mata jatuh di pipinya.Tanpa disangka sebuah tangan menghapusnya dengan lembut."Kamu menangis," kata Angga dengan pahit, Dina pasti merasa tertekan dengan semua ini. Tapi Anggapun tak mampu untuk menyelami perasaan istrinya, dia bingung harus bagaimana."Jangan berpikir yang tidak-tidak, aku hanya menemui Vanya untuk tahu alasannya itu saja, demi Tuhan tak ada keinginanku untuk memperhatikannya, maaf karena tidak mengatakan padamu sebelumnya."Dina hanya diam saja, wanita itu masih memalingkan muka, tak sanggup menatap wajah suaminya. Sekali lagi dia merasa dikhianati.
Udara yang segar dan pemandangan yang indah, selalu mampu memberikan ketenangan yang sulit dijelaskan dengan nalar, bersyukulah orang-orang yang hidup di pedesaan yang masih bisa menghirup udara yang alami dengan kadar pencemaran polusi yang sangat minim. Itulah yang dirasakan Dina sekarang, dengan menhirup udara yang jernih ini membuatnya dapat berpikir dengan jernih pula. Rasa cemburunya pada Ghea dan Vanya mungkin sudah berlebihan dan salahkan saja hormon kehamilannya yang tidak stabil. Tapi bukan berarti Dina begitu mudah memaafkan Angga dan menerima kehadiran suaminya kembali. Permasalahan dalam rumah tangga mereka bukan orang lain penyebabnya dari diri mereka sendiri sebagai pemeran utama di dalamnya, Angga yang tak mampu memberikan seluruh hatinya pada Dina dan masih dipenuhi bayang-bayang masa lalu dan Dina yang tidak cukup mampu untuk mengalihkan dunia Angga dari masa lalu itu sendiri. Hadirnya orang luar hanya faktor pemicu yang mempercepat perpecahan di ant
“Kalau orang yang tidak tahu pasti mengira kalian kakak dan adek kandung,” komentar Dina. Bara hanya menyeringai, “Mau bagaimana lagi Mas Angga memang yang paling dekat denganku, meski dia menyebalkan tapi dia orang yang baik dan suka tak tegaan.” “Dan sifatanya yang tidak tegaan itu tanpa sadar menyakiti orang terdekatnya,” balas Dina tak habis pikir. “Mau bagaimana lagi itu sudah bawaan bayi, sulit banget untuk dihilangkan, tapi sepertinya Mbak Dina sudah mulai bisa memahami hal itu?” Bara menatap Dina tajam, ingin mencari jawaban sendiri untuk pertanyaannya. Untunglah orang yang sedang mereka bicarakan sedang ke ruangan dokter, ada sesuatu yang ingin dokter katakan pada wali Bara dan Angga sebagai walinya tentu harus ke sana. “Bukan bisa tapi terpaksa bisa,” jawab Dina kesal. “Kenapa, Mbak? Bukankah jika Mbak Dina ingin mencari yang lain masih terbuka lebar, Mbak cantik, baik dan keibuan, hidup ini terlalu siangkat untuk melakukan sesuatu yang tidak
“Besok Ghea dan suaminya akan datang, apa kamu mau ikut denganku menjemput mereka di bandara?” tanya Angga, malam itu saat lagi-lagi dia numpang makan malam di rumah yang ditempati oleh Dina. Bahkan bisa dikatakan laki-laki itu hanya numpang tidur saja di rumah utama yang dulu menjadi tempat tinggal mereka, itupun kalau anak-anak tidak rewel dan meminta sang papa untuk tidur dengan mereka. Dina sampai tak habis pikir dulu saja saat mereka tinggal bersama, anak-anak cuek saja papanya pulang sampai larut malam dan hanya bertemu saat sarapan pagi, itupun mereka jarang sekali untuk berinteraksi, tapi sekarang saat mereka tinggal terpisah, seolah-olah anak-anak tak ingin lepas dari papa mereka. Mungkin itu juga yang dinamakan ikatan ayah dan anak. ‘Love hate relationship’ kalau Dina menyimpulkan. Memang tidak mudah juga tumbuh tanpa adanya figur orang tua yang lengkap dan Dina sangat paham akan hal itu. Tapi apa tadi Angga bilang menjemput Ghea dan suaminya di bandara?
“Baiklah aku akan ikut menjemput Ghea dan suaminya,” kata Dina saat menyambut suaminya di pagi hari, jadwal Angga untuk ‘numpang’ sarapan pagi di rumah ini. “Kamu yakin?” tanya Angga sedikit terkejut dengan sambutan istrinya yang ‘romantis’ itu. Nggak juga sih, tapi mau bagaimana lagi dari pada kamu ngelirik mantan. “Iya yakin. Kapan datangnya?” jawab Dina mengesampingkan pikiran konyol yang melintas di kepalanya.“Siang ini jam satu pesawatnya mendarat.” “Hah! Jam satu kamu kok nggak bilang, Mas, nggak bisa gitu jemputnya tar malem saja,” kata Dina ngaco. Angga yang sudah melangkah ke dalam rumah untuk menemui anak-anaknya, menghentikan langkahnya, dia memandang sang istri tajam, yang benar saja masak datangnya jam satu siang suruh jemput malam. Bisa jamuran mereka kelamaan menunggu di bandara. “Memangnya kenapa kalau kita jemput jam satu?” tanya Angga lebih memilih mengabaikan pemikirannya tadi, meski judes dan menyebalkan Dina orang yang logis dan sel
“Hah! Jadi benar kamu dulu selingkuh saat tunangan dengan Ghea?” tanya Dina begitu terkejut. Roda mobil itu berputar cepat meninggalkan tempat parkir yayasan, Angga berkonsentrasi mengeluarkan sedan mewah kesayangannya itu dari tempat parkir, jadi Dina mau tak mau harus bersabar meski kepalanya penuh dengan berbagai hal yang ingin dia tanyakan pada Angga. Mereka memang tidak membawa pengawal yang ikut di mobil ini, tapi Dina yakin Angga banyak menempatkan pengawal bayangan di sekellingnya, peristiwa penculikan kemarin masih meninggalkan trauma untuk laki-laki itu sehingga menambah jumlah pengawal adalah opsi rasional yang dia pilih, apalagi Dina yang masih enggan untuk kembali satu rumah dengannya. Mobil berjenis sedan mewah itu sudah berjalan dengan mulus di jalan raya, ini bukan waktu yang tepat memang untuk bertanya, tapi Dina sudah sangat penasaran. Oh ayolah dia bukannya ingin bertengkar di mobil dengan suaminya, yang bisa mencelakakan mereka, tapi dia hanya
Dina memandang wanita di depannya dengan sorot menilai, senyumnya dan tingkah lakunya terlihat tulus bukan hal yang palsu, setidaknya itulah penilaiannya saat bertemu pertama kali dengan Ghea, masa lalu suaminya ini. Perjalanan yan jauh dan beban pikiran karena adek kesayangannya mendekam dipenjara membuat Ghea terlihat lelah dan pucat, tapi tidak mengurangi kecantikannya, dia menghadapi Dina dengan tenang. Sebagai orang yang sudah berpengalaman berhadapan dengan berbagai jenis orang tentu Dina bisa melakukan hal yang sama, meski sebelum ini dia terbakar api cemburu yang membara, tapi itu hanya di depan Angga, dia tak akan sudi menunjukkannya di depan wanita yang dia cemburui. “Aku senang akhirnya kita bisa bertemu Mas Angga sering menceritakanmu pada kami,” suaranya terdengar lembut dan jernih. Tapi apa tadi katanya Angga sering membicarakan dirinya dengan wanita ini, apa mereka sering berkomunikasi?Tapi gengsi banget untuk bertanya. “Semoga bukan soal