Dina memandang Brian yang kebetulan sedang memandnagnya juga dan sebuah kesepakatan terbentuk dari sana.
Memang masih samar, semuanya hanya berdasarkan asumsi mereka saja, belum ada bukti nyata.Dina menoleh pada orang yang tengah berbicara itu, bukan kalimat panjang memang hanya sebuah ucapan ringan yang tak bermakna.“Mbak Dina tidak sendiri?” tanyanya. Sekilas pertanyaan biasa tapi tidak untuk Brian dan Dina yang sudah mendengar panggilan telepon penculik mereka.Dina menoleh pada Vanya yang memandangnya terkejut.“Kenapa memangnya?” tanya Dina berusaha memancing Vanya untuk bicara.“Oh, tidak aku hanya bersyukur Mbak Dina tidak sendiri,” jawabnya dengan terbata.“Iya syukurlah ada orang baik yang mau menolongku dari cengkraman iblis,” jawab Dina yang tersenyum semanis racun. Dia harus bisa membuktikan kalau Vanya terlibat dalam masalah ini, tapi dia tak mungkin mengatakan langsung pada Bara maupun Angga kenyataan ini, bisa dijamin mereka akan mDina bangun di sebuah ruangan serba putih, matanya terbuka dan menatap nyalang, tubuhnya terasa kaku dan dingin. Dia menoleh ke kanan, tangannya terasa hangat dan berat, satu-satunya bagian tubuhnya yang tidak kedinginan. Benar saja seseorang memegang erat tangannya, seolah dia akan pergi berlari dari sana. Dina berusaha menggerakkan tangannya, memberi tanda pada orang itu kalau dia sudah bangun. “Kamu sudah sadar?”Angga menatapnya dengan mata merah, sejenak mereka hanya saling pandang, lalu laki-laki itu pergi keluar kamar dengan tergesa, meninggalkan Dina yang terbaring sendiri di sana. Dina ingin memanggil Angga agar tak meninggalkannya tapi suaranya seolah hilang tak mau berucap apa-apa, sampai bayangan Angga menghilang ditelan pintu ruangan, Dina hanya bisa terbaring pasrah. Tubuhnya seolah tak mau bekerja sama untuk menuruti perintah otaknya. Apa Angga membencinya karena membuat Vanya melakukan perbuatan segila ini? dan sekarang sang suami meninggalkannya s
“Aku sudah mengurusnya, Din, kamu tenang saja, Vanya sudah diamankan dan anak-anak juga baik-baik saja.”Dina bukannya tak percaya ucapan Angga, tapi dia ingin memperjelas maksud dari mengamnakan itu, dia tidak akan tinggal diam kalau Vanya sampai bisa bebas, apalagi bisa ke luar negeri dan beberapa tahun kemudian bebas keluar masuk kemari. oh tentu saja tidak. Dina tak akan membiarkan itu, meski dia harus berhadapan dengan Angga dan keluarga Vanya dia tak akan mundur, Dina yakin keadilan pasti ada untuknya. “Mengurus bagaimana maksudmu? apa kamu menahanku di sini supaya kamu punya waktu untuk membebaskan wanita itu?” bentak Dina. “aku tidak akan pernah memaafkanmu kalau itu sampai terjadi.” Angga tertegun, Dina memang sering marah padanya dan perdebatan sering kali mewarnai rumah tangga mereka, tapi kali Dina marah sambil menangis, air mata kekecewaan mengalir deras jatuh ke pipinya. Dada Angga bagai tertusuk belati, sakit. Tapi dia sadar inilah balasan yang haru
"Dia mencintaimu," kata Angga akhirnya, entah kenapa kata itu meluncur begitu saja. Dina menoleh pada Angga, lalu tertawa dengan geli. Lucu sekali suaminya ini, apa Angga sedang cemburu pada Bara? Atau hanya egonya saja yang terluka. "Kamu aneh-aneh saja, Mas. Bara itu ganteng dan belum pernah menikah, kalau dia mau gadis manapun bisa dia dapatkan, ngapain dia suka sama aku yang istri orang, sedang hamil pula." Angga memandang Dina, dia tak tahu harus bersyukur atau marah dengan istrinya yang begitu tak peka. "Sudahlah itu tak penting, Bara pasti baik-baik saja setelah ini. Aku akan usahakan dokter terbaik untuknya." Dina mengangguk, tak ada yang dapat dia lakukan memang, dia hanya bisa berdoa agar Bara cepat pulih. "Lalu Hera?" "Dia ada di ruang perawatan, kondisinya sudah membaik." Dina meminta Angga untuk menemaninya melihat kondisi Hera. Wanita itu sudah mulai membaik kondisinya, syukur
Kekuatan uang dan kekuasaan memang kombinasi yang memiliki power luar biasa, setelah sang paman datang Bara dan Hera yang sebelumnya dirawat di ruang perawatan Vvip, saat ini mendapatkan lebih exklusive lagi, bahkan pihak rumah sakit mendatangkan dokter-dokter terbaik dari seluruh negeri, tentu saja ada harga yang harus dibayar, tapi untuk Angga tentu saja bukan masalah besar. Dan kondisi keduanya berangsur membaik, Dina sedikit bernapas lega.Sore ini seperti biasa, setelah pulang kerja yang sebelumnya ditentang habis-habisan oleh Angga, tapi Dina yang keras kepala ngotot ingin terus bekerja, sampai waktunya akan melahirkan. Dan demi kedamaian mereka Angga dengan berat hati mengijinkannya, tentu saja dengan berbagai persyaratan yang harus dipatuhi Dina termasuk soal pengawal dan harus mengangkat telepon setiap Angga menghubunginya, yang mana laki-laki itu meneleponnya setiap satu jam sekali yang membuat Dina begitu jengkel dibuatnya, tapi tak bisa berbuat apa-apa, dan
Angga melajukan mobilnya kencang menuju kantor polisi tempat Vanya ditahan. Jalanan masih dipenuhi orang-orang yang akan berangkat mencari nafkah pagi ini, dia sendiri memutuskan masuk kantor lebih lambat.Meski Bara belum bisa masuk kerja, tapi Hendra bisa diandalkan untuk meringankan pekerjaannya. Dia sudah memastikan Dina dan anak-anaknya sampai di tempat tujuan masing-masing dengan selamat sebelum membelokkan mobilnya berlawanan arah dengan kantornya.Tujuannya ke sana bukan untuk menjenguk Vanya tentu saja, sesayangnya Angga pada wanita itu dia juga bisa marah saat keluarganya disakiti, dan seperti ucapannya pada Dina kemarin, dia akan pastikan Vanya dihukum dengan sepantasnya. Sengaja memang dia tidak mengajak Dina, dia tak mau istrinya itu terlalu emosi saat melihat Vanya dan mengakibatkan kondisinya yang menurun dan sengaja memberitahukan pada wanita itu melalui telepon saja untuk mencegah kesalahpahaman yang tidak diinginkan.Dan terbukti trick iti cu
Dengan diantar Deri, Angga menemui Vanya yang ditahan di sana, wanita itu terlihat lusuh, beda sekali dengan penampilannya yang biasanya. Ada sedikit rasa iba yang ada di hati Angga, tapi mengingat perbuatannya pada Dina membuat perasaan itu seolah tawar, wanita yang dulu begitu dibelanya telah menusuknya dari belakang. “Aku harap kamu tidak tersesat dalam bujuk rayunya lagi,” kata Deri dan berlalu dari sana. Angga hanya memandang sosok temannya itu lalu melangkah menghampiri Vanya yang duduk dalam ruangan dengan sekat kaca. “Mas Angga!” seru Vanya antusias. “Aku tahu, Mas akan ke sini dan membebaskanku.” Wanita itu memandang Angga dengan penuh harap. Angga meraih kursi yang ada di sana dan duduk dengan tenang. Diamatinya sebentar wajah yang dulu pernah dikaguminya, Vanya memang sangat cantik, bahkan saat sudah beberapa hari dia dalam penjara dan tentu saja tidak ada make up dan skincare yang dia pakai. Tapi entah kenapa hatinya sejak dulu tak bisa lebih dari s
“Halo. Ada apa Ghe?” tanya Angga. Sambungan terdiam di ujung sana. Dia memandang layar ponselnya sejenak memastikan kalau panggilan belum terputus. Angga menunggu beberapa saat sampai suara lembut yang dulu sempat mengisi hari-harinya terdengar. “Aku akan ke Indonesia secepatnya.” Hanya itu yang Ghea katakan tanpa salam pembuka ataupun ucapan basa basi yang lainnya. Hubungan mereka memang tidak sedekat dulu, waktu yang berlalu begitu lama seakan tak mampu mencairkan kebekuan di antara mereka. “Aku mengerti.” Lalu sambungan terputus. Angga melangkahkan kakinya menuju mobilnya terparkir, langkahnya lebih ringan sekarang, dia akan menyerahkan urusan Vanya pada Ghea dan mulai sekarang dia akan lepas tangan dari semua urusan itu, dia juga tak ingin lagi terbebani dengan janjinya pada Ghea. Angga ingin bebas. Jika saja jam dinding yang menempel di tembok bisa bicara mungkin dia akan kegeeran karena betapa seringnya Angga me
"Ghea? Mantan tunanganmu?" tanya Dina.Dia berusaha bicara setenang mungkin, meski dadanya seketika bergemuruh, rasa cemburu dan kecewa seketika menyerangnya dengan hebat. Dina mengalihkan pandangannya pada keindahan taman di dekatnya. Bunga-bunga tertata dengan rapi tergantung disebuah papan kayu sangat indah. Tapi keindahan itu tak mampu menepis rasa sesak dalam hatinya, setetes air mata jatuh di pipinya.Tanpa disangka sebuah tangan menghapusnya dengan lembut."Kamu menangis," kata Angga dengan pahit, Dina pasti merasa tertekan dengan semua ini. Tapi Anggapun tak mampu untuk menyelami perasaan istrinya, dia bingung harus bagaimana."Jangan berpikir yang tidak-tidak, aku hanya menemui Vanya untuk tahu alasannya itu saja, demi Tuhan tak ada keinginanku untuk memperhatikannya, maaf karena tidak mengatakan padamu sebelumnya."Dina hanya diam saja, wanita itu masih memalingkan muka, tak sanggup menatap wajah suaminya. Sekali lagi dia merasa dikhianati.