“Apa ini karena Dina tak terima dengan kejadian waktu itu? istrimu itu terlalu kampungan dan merasa kalau dia tak cukup layak untukmu makanya berulah, apa kamu mau didekte oleh istrimu itu?”
Angga melotot marah, rahangnya mengeras dan tangannya terkepal, dia tak terima ada yang menghina Dina.Tapi Angga tahu Vanya akan semakin sulit kalau dia menghadapinya dengan kemarahan, dia kemari untuk memutuskan benang masa lalunya, bukan untuk bertengkar. Dihelanya napas dalam, sekedar menenangkan hatinya yang terasa terbakar.“Apa menurutmu aku akan menurut pada orang lain jika aku tak menginginkannya?” tanya Angga tenang.“Aku yakin kamu hanya sedang bingung, kamu tidak mungkin mencintainya?” tanya vanya tak terima.Vanya mengenal Angga hampir diseparuh usianya, dia juga tahu wanita seperti apa yang menjadi kekasih Angga, dan Dina sama sekali tidak masuk dalam kriteria itu. Angga menyukai tipikal wanita yang lemah lembut dan yang pasti bukan dari orang yang tidak"Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu pada Vanya, Bar?""Aku hanya mengatakan kenyataan yang ada, kenapa? Apa Mas marah, perempuan yang Mas puja ternyata tak berharga?" jawab Bara tak peduli.Angga menatap Bara dengan penasaran."Jelaskan padaku!" Bara menatap Angga tajam, antara rasa iba dan juga tidak mengerti."Untuk apa? Dia tidak ada hubungan dengan Mas Anggakan? Dia juga bukan orang yang penting? Jadi untuk apa aku jelaskan.Bara melangkah ke mini market dengan ringan mengabaikan Angga yang ternganga tak percaya di pinggir jalan. Angga tak tahu dia harus berkata apa, kalimat Bara telak menohoknya, dia tidak punya hubungan apapun dengan Vanya dan juga dia bukan orang yang penting untuk Angga, tapi tetap saja dia tidak terima, Vanya teman baiknya dan Angga menyayanginya, tapi berdebat masalah itu dengan Bara akan memicu bencana yang lain, cepat atau lambat pertengkarannya akan didengar Dina dan istrinya itu, akan meninggalkannya tanpa pikir panj
Dina terbangun dari tidur lelapnya, dia terkejut oleh ketukan pintu kamarnya. Suara Bibi memanggil namanya berulang kali. Dina menengok jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Apa anak-anak sakit? Pikiran itu membuat Dina tersentak dan secepatnya turun membuka pintu. “Ada apa, Bi?” tanya Dina cemas, apalagi melihat wajah bibi yang terlihat ketakutan. “Anak-anak kenapa?” tanyanya tak sabar. “I..itu, Nya, bukan anak-anak tapi Tuan,” jawab Bibi tergagap. “Mas Angga kenapa?” Dina segera keluar dari kamarnya dan mengikuti telunjuk Bbi yang mengarah ke ruang tamu. “Ada apa dengamu, Mas? Kamu habis tawuran?”Dina membelalak kaget melihat wajah Angga yang penuh luka, dan bekas darah yang mengering di wajahnya membuatnya tampak mengerikan. Dengan tangan bergetar Dina memegang wajah suaminya. Ini sudah tengah malam demi Tuhan, dan dari mana saja suaminya ini berkeliaran sampai mendapatkan luka yang begitu menyeramkan itu. Apa kebiasaan lama laki-laki i
Dina terduduk di toilet perempuan sebuah restoran dengan lemas, tubuhnya terasa tak nyaman, mungkin karena tadi malam tidurnya terganggu oleh kedatangan Angga di tengah malam, belum lagi laki-laki itu juga menginap di rumah yang dia tempati, meski memilih tidur dengan Ara. Hampir pagi Dina baru bisa tertidur kembali, dan harus bangun lagi untuk bekerja, bahkan dia tak membuatkan membantu bibi memasak atau menyiapkan keperluan anak-anak. Anggalah yang tadi pagi mengambil alih tugas itu, syukurlah anak-anak tidak protes dan mengerti kondisi bundanya yang sedang hamil muda. Angga tadi juga sudah melarangnya untuk masuk kerja, tapi Dina memaksa, karena dia harus ikut pertemuan penting dengan klien, dia tidak mungkin menyerahkan tanggung jawabnya begitu saja pada temannya. Makanan dengan bumbu pekat sejenis rendang yang biasanya sangat disukainya netah mengapa sekarang malah membuatnya mual, syukurlah mereka makan siang setelah menyelesaikan semua pembicaraan bisnis mereka, d
Hera bersiap menggunakan helmnya, dengan motor gagah yang menjadi tunggangannya sehari-hari wanita itu akan menyusul Dina yang sudah terlebih dahulu meninggalkan restoran bersama teman-temannya. Dia tahu sang Nyonya orang yang sederhana, jadi setiap saat dibuntuti oleh pengawal membuatnya tak nyaman, tapi Hera tahu banyak orang yang mengincar keselamatan Dina. Sebagai istri seorang pengusaha kaya raya yang perusahaannya sedang sangat berkembang, tentu Dina menjadi incaran yang empuk. Bukan hanya sekali ini Hera ditugaskan untuk menjaga istri orang kaya, tapi hanya saat menjaga Dina dia merasa dihormati sebagai manusia bukan hanya pengawal yang selalu diumpankan untuk menjamin keselamatan tuannya. Mobil yang mereka tumpangi melaju dengan kencang dan Hera juga mengikuti dalam jarak yang aman. Mereka memasuki perbatasan kota, tapi tiba-tiba sebuah mobil menyalip di depan dan berhenti mendadak, Brian yang mengemudikan mobil itu mau tak mau harus menghentikan mobil
Dina duduk di sebuah kursi di tengah ruangan, tepatnya dia didudukkan Di sana oleh orang-orang itu, wajahnya terlihat datar dan tak menampakkan emosi apapun. Dia tak ingin memuaskan ego penculiknya dengan menampakkan wajah ketakutan, meski dalam hatinya dia takut setengah mati, apalagi kandungannya yang masih tergolong muda, sangat rentan untuk mengalami pendarahan. Anak dalam kandungannya memang datang tanpa direncanakan tapi tetap saja, dia sangat menyayangi calon anaknya itu, dia tak mau terjadi apa-apa pada kandungannya, dan panik dan memberontak hanya akan percuma, para penculiknya tidak akan luluh dengan air mata, mereka sudah terbiasa dengan darah manusia yang mengalir. Dina sangat paham dengan hal itu.Jadilah dia hanya duduk diam di sini, kedua tangan dan kakinya terikat erat pada kursi, entah sudah berapa lama dia berada di sini, Dina tak tahu, apalagi keadaan kamar yang remang-remang membuatnya tak bisa menebak apa sekarang masih siang atau sudah akan memasuki ma
"Kenapa Hera belum keluar?" tanya Dina cemas, dia takut karena dia sudah lari Heralah yang akan menjadi korban."Aku yakin dia baik-baik saja," Brian berusaha berkata dengan yakin, tapi Dina yang sudah lama berkecimpung di bidang psikologi dan hampir setiap hari harus menilai seseorang, tentu tidak sulit baginya kalau ada ketidakyakinan juga dalam kalimat Brian."Apa yang harus kita lakukan untuk membantunya keluar dari sana." "Tidak ada, kita hanya perlu secepatnya pergi seperti perkataan Hera, lalu mencari bantuan untuk menyelamatkannya." Brian menarik tangan Dina, berusaha memanfaatkan kesempatan saat orang itu masuk kembali ke dalam rumah. Mau tak mau dia mengikuti langkah Brian, tidak ada yang bisa dia lakukan memang, kalau lebih lama di sini akan membahayakan Hera.Dalam hati Dina tak putus untuk berdoa, memohon pertolongannya.Mereka terus berjalan sampai tiba di sebuah pohon besar, Dina berhenti sejenak mengatur napasnya, perutnya terasa kram,
Dina memandang Brian yang kebetulan sedang memandnagnya juga dan sebuah kesepakatan terbentuk dari sana. Memang masih samar, semuanya hanya berdasarkan asumsi mereka saja, belum ada bukti nyata. Dina menoleh pada orang yang tengah berbicara itu, bukan kalimat panjang memang hanya sebuah ucapan ringan yang tak bermakna. “Mbak Dina tidak sendiri?” tanyanya. Sekilas pertanyaan biasa tapi tidak untuk Brian dan Dina yang sudah mendengar panggilan telepon penculik mereka. Dina menoleh pada Vanya yang memandangnya terkejut. “Kenapa memangnya?” tanya Dina berusaha memancing Vanya untuk bicara. “Oh, tidak aku hanya bersyukur Mbak Dina tidak sendiri,” jawabnya dengan terbata. “Iya syukurlah ada orang baik yang mau menolongku dari cengkraman iblis,” jawab Dina yang tersenyum semanis racun. Dia harus bisa membuktikan kalau Vanya terlibat dalam masalah ini, tapi dia tak mungkin mengatakan langsung pada Bara maupun Angga kenyataan ini, bisa dijamin mereka akan m
Dina bangun di sebuah ruangan serba putih, matanya terbuka dan menatap nyalang, tubuhnya terasa kaku dan dingin. Dia menoleh ke kanan, tangannya terasa hangat dan berat, satu-satunya bagian tubuhnya yang tidak kedinginan. Benar saja seseorang memegang erat tangannya, seolah dia akan pergi berlari dari sana. Dina berusaha menggerakkan tangannya, memberi tanda pada orang itu kalau dia sudah bangun. “Kamu sudah sadar?”Angga menatapnya dengan mata merah, sejenak mereka hanya saling pandang, lalu laki-laki itu pergi keluar kamar dengan tergesa, meninggalkan Dina yang terbaring sendiri di sana. Dina ingin memanggil Angga agar tak meninggalkannya tapi suaranya seolah hilang tak mau berucap apa-apa, sampai bayangan Angga menghilang ditelan pintu ruangan, Dina hanya bisa terbaring pasrah. Tubuhnya seolah tak mau bekerja sama untuk menuruti perintah otaknya. Apa Angga membencinya karena membuat Vanya melakukan perbuatan segila ini? dan sekarang sang suami meninggalkannya s