Home / Pernikahan / Wanita Kedua / Tak Mungkin Lagi

Share

Tak Mungkin Lagi

Author: Ajeng padmi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Dina menutup pintu depan, dan bersandar lemas pada dinding. Hatinya tidak baik-baik saja remuk redam rasanya, bukan perpisahan yang dia inginkan sesungguhnya, lima tahun sudah dia bertahan dalam ketidakpastian, tapi sebuah rumah tangga tidak hanya tentang satu orang.

Sebaik apapun dia bertahan tapi bila hanya dia yang berusaha tentu akan pincang, dan lama-lama akan ambruk juga.

Itulah yang terjadi dalam rumah tangganya kali ini, nekad memang, dia bahkan tak tahu hidupnya setelah ini apakah akan baik-baik saja, apalagi dengan adanya Anak-anak yang selamanya akan membentuk ikatan tersendiri antara mereka.

Dina memejamkan mata merasakan sesak di dada, saat selintas bayangan Angga yang akan bahagia dengan wanita pilihannya, dan pastinya itu bukan dirinya.

Dina begitu cemburu, pada bayangan masa depan yang akan terjadi pada hidupnya.

"Tuan sangat mengkhawatirkan Nyonya dan anak-anak."

Dina membuka matanya menyeka air matanya deng
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Marina Rose
hanya kerana sumpah klo x, dh kawin pn kn..adoiii jantan xguna ttp pertahankan kaca dr permata
goodnovel comment avatar
Biandr
ternyata angga gk berani nikahin vanya bkn krn merasa vanya gk pantes jd istrinya, gk pantes/gk mampu jd ibu sambung ank2nya, trnyata dia gk nikahin vanya krn semata janji sm laras psti jg krn ancaman ortunya laras. yg gk trima cucunya ber ibu sambung kek vanya, cb klo dia gk janji, pasti dh dinikah
goodnovel comment avatar
Badriah
ternyata angga tetap membela vanya,....sudah benar dina pisah dari Angga .....menghilang , pergi jauh dari Angga..tinggalkan Anak Laras agar tidak jadi masalah, bukan tidak sayang, tetapi demi kewarasan, kalau mau tetap bertahan ya wes Dina terima saja jalan hidupmu, jangan banyak drama
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Wanita Kedua   Sahabat

    "Karena kalau Tuan nekad menikahi Non Vanya, Non Vanya akan masuk penjara."Kalimat Bibi kemarin kembali terngiang di telinganya, bagai kaset rusak yang dimainkan berkali-kali.Dina tak tahu apa yang dilakukan keluarga Aryobimo, sampai janji yang dibuat antara Angga dan Laras bisa berdampak begitu, meski Laras sendiri sudah lama tiada.Tidak ada gunanya mengintrogasi bibi lebih jauh lagi, karena sepertinya wanita itu juga tak tahu alasannya, dia hanya tak sengaja mendengar percakapan Angga saja. Dina tersadar dari lamunannya saat ponselnya berbunyi pelan menandakan sebuah pesan masuk. Diambilnya benda itu ternyata dari Angga, yang hanya mengucapkan selamat pagi. Hari ini hari pertama Dina kembali lagi ke kantor lamanya. Dan juga pagi pertama hidupnya tanpa Angga di sisinya.Tak bisa dipungkiri, bagaimanapun Angga menyakiti hatinya Dina tak dapat menghentikan pikiran, bagaimana laki-laki itu tanpa dirinya, pagi tadi dia sudah me

  • Wanita Kedua   Semangat Brian.

    “Jadi sekarang suami Mbak Dina tinggal dengan istri mudanya?” Tanya Siska. Gadis itu mengatakannya dengan tak terima, sungguh dia tak tahu bagaimana car kerja otak suami Dina, yang menyia-nyiakan wanita sebaik ini. Sejak tahu Angga menikahi Keira memang Siska sudah kehilangan respek padanya, bahkan tak segan gadis itu menggoda Dina agar mau melepaskan Angga dan memilih Brian, yang menurutnya menyimpan rasa pada Dina. “Tidak Keira tinggal bersama mama mertua, sejak dia mengumbar kehidupan kami di medsos.” “Jadi dia tinggal tanpa salah satu istrinya?” tanya Siska dengan tak sabar.“Iya.” “Pasti dia berpikir untuk menikah dengan orang lain lagi, dasar buaya,” umpat Siska dengan sadis, yang membuat Dina meringis. Andai saja mereka tahu, kalau sekarang Angga malah dekat dengan wanita yang dicintainya tentu mereka akan semakin marah dan menghujatnya, tapi Dina tidak ingin mengatakannya, bukan karena dia ingin membela Angga, tapi D

  • Wanita Kedua   Hamil?

    Dina memandang anak-anak yang sedang bermain di halaman belakang rumah ini, mereka terlihat ceria seperti biasa. Syukurlah. Padahal Dina sempat khawatir mereka tidak akan nyaman tinggal di sini. Mereka sudah terbiasa hidup nyaman dengan fasilitas mewah, tentu sulit jika harus tinggal di rumah yang bisa dibilang sederhana untuk ukuran mereka."Anak-anak sudah makan siang semua, Mbak?" tanya Dina pada pengasuh yang sedang mengawasi anak-anak bermain.Pengasuh itu menoleh kaget tapi lalu tersenyum dan mengangguk. "Sudah Nyonya, mereka makan seperti biasa." Dina menyapa anak-anaknya sebentar lalu berpamitan untuk membersihkan diri badannya terasa lengket dan tidak nyaman, dia juga merasa sangat lapar. “Bisa minta tolong pada Bibi siapkan makan untukku juga, Mbak,” pinta Dina. “Eh, Nyonya belum makan siang?” tanya Mbak pengasuh sedikit terkejut, padahal jam di dinding sudah menunjukkaan empat sore. “Sudah, tadi tapi lapar lagi, tolong ya, Mbak.” Si Mbak mengangguk lalu mencari bibi d

  • Wanita Kedua   Keluarga Katanya

    Bu Rahmi mendongak dan mendapati Dina yang berdiri di sana dengan mata berkaca-kaca. “Ada apa, Din apa suamimu menyakitimu lagi? kenapa menangis?”Bu Rahmi hanya dapat mengelus punggung anak asuhnya ini dengan lembut, dia biarkan Dina menumpahkan tangisnya, tak terasa air mata Bu Rahmi juga menetes mendengar tangis putus asa Dina. Jujur saja BU Rahmi merasa sangat bersalah pada Dina, dia dulu yang menjodohkan Dina dengan Angga, meski dia mereka tidak saling cinta, dia pikir rasa itu bisa tumbuh seiring waktu berjalan, tapi ternyata sampai lima tahun pernikahan malah perpisahan yang terjadi. “Maafin Ibu, Din jika keputusan ibu menjodohkanmu dulu membuatmu sedih,” kata Bu Rahmi lirih masih dengan memeluk Dina. Dina yang sadar, tangisnya hanya akan membebani Bu Rahmi saja segera melepaskan pelukannya, dengan mata yang masih basah, Dina menatap wanita yang sudah membesarkannya itu. “Ini bukan salah, ibu, aku yakin ibu juga tak mau ini terjadi padaku.” Senyum

  • Wanita Kedua   Bersamamu

    Dina melangkah ke halaman rumah yang dia tempati dengan tak bersemangat, di sebelahnya Hera berjalan dengan pelan, sesekali matanya melirik Dina dengan penasaran, tapi dia tak berani bertanya.Wajah wanita itu terlihat kusut dengan mata sembab, tidak perlu menjadi pintar untuk bisa menebak kalau wanita itu baru saja menangis hebat. “Aku masuk dulu, terima kasih sudah menemaniku,” kata Dina dengan senyum yang jelas sekali dia paksakan. “Sama-sama, Nyonya. senang bisa menamani Nyonya.” Dina segera berlalu masuk ke dalam rumah, senja telah tiba, di ujung sana tampak semburat jingga yang sangat indah, tapi siapa peduli, hati Dina sedang tak tenang, dia bahkan tak sadar kalau akan jatuh hingga sebuah tangan memegang tubuhnya. Dina mengerjap cepat, dia kenal betul aroma ini, aroma yang selalu menemaninya tidur. Dina membuka matanya dan menatap Angga yang memandangnya khawatir. Dina segera melepaskan diri dari pelukan Angga dan menoleh ke sekelilingnya, rupany

  • Wanita Kedua   Kepanikan Bu Rahmi

    Pagi-pagi sekali sebelum Dina berangkat kerja, Bu Rahmi datang tergopoh-gopoh menuju rumahnya, wanita itu terlihat cemas. Bahkan mataharipun belum menunjukkan dirinya, hanya semburatnya yang indah terlihat di ujung sana. “Ada apa, Bu? Kenapa ibu terlihat panik.” Bu Rahmi menghela napasnya dalam menormalkan detak jatungnya yang memburu, salahnya juga yang datang dengan wajah panik membuat Dina ikut khawatir, padahal wanita itu tidak boleh stress. “Duduk, dulu, Bu, biar aku ambilkan minum.” Dina mengambil segelas air mineral dan memberikannya pada Bu Rahmi. Wanita itu menghabiskan gelasnya dalam tiga tegukan besar, dan bernapas dengan terengah-engah. “Pelan-pelan, Bu,” ucap Dina, tangannya mengelus punggung Bu Rahmi naik turun, berharap wanita itu bisa menenangkan diri. Bu Rahmi meletakkan gelasnya dan duduk menghadap Dina. “Maaf, Din, Ibu pagi-pagi sudah merusuh di rumahmu.” Dina hanya tersenyum dan menggeleng pelan. “Ada apa, Bu? Kenapa ibu terliha

  • Wanita Kedua   Siapa Aku?

    Keputusan Bu Rahmi untuk memaksa Dina membicarakannya dengan Angga dan tidak boleh datang tanpa laki-laki itu bersamanya memang tepat. Dina tak tahu apa yang akan terjadi padanya andai dia nekad datang sendiri. Saat ini saja dia sudah berkeringat dingin, jantungnya berdebar begitu kencang, dia sampai khawatir jantungnya akan jatuh ke lantai mobil. “Kamu baik-baik saja? Tegang banget kayaknya,” goda Angga sambil tersenyum jahil. “Semoga saja mereka ingin bertemu bukan ingin menjodohkanmu dengan pangeran dari negeri antah berantah.” Dina memandang Angga galak, yang benar saja, bagaimana laki-laki itu bisa bercanda menyebalkan begini di waktu yang tidak tepat pula. “Kalau itu benar aku akan menganguk setuju, apalagi kalau dia ganteng banget nggak nolak aku,” ejek Dina membuat Angga cemberut. “Jangan suka cemberut begitu, sudah tua bisa nambah itu keriput di wajah.” “Kamu seneng banget bahas soal umur,” gerutunya. “Iyalah supaya nggak lupa, kamu  masih suka

  • Wanita Kedua   Sulit Ditebak

    Hari itu pembagian hari pembagian raport, semua anak datang dengan didampingi orang tuanya. Dina hanya bisa memandang mereka dengan iri, Bu Rahmi tidak bisa hadir karena ada adek panti yang sedang sakit, sedangkan kakak-kakak panti juga tidak bisa menemaninya karena harus sekolah ataupun bekerja. Padahal hari ini wali kelasnya sudah mengatakan kalau dia mendapat peringkat pertama dan akan diminta maju ke podium yang telah disiapkan. Dina memandang mereka yang sedang tertawa bahagia bersama orang tuanya, padahal mereka bahkan tidak mendapat predikat juara. Dia selalu berusaha sangat keras untuk mencapai hal ini, dia berharap dengan begitu orang tuanya yang entah ada di mana akan bangga dan mau menjemputnya dari panti, bukan karena dia tidak betah tinggal di panti, tapi lebih karena dia ingin seperti anak lain, yang bisa mendapatkan kasih sayang yang utuh dari ayah dan ibu. Hari itu dia naik ke panggung sendirian dengan diiringi berbagai pandangan, Dina hanya bisa men

Latest chapter

  • Wanita Kedua   Exp Angga-Dina: Cinta Sederhana

    "Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih

  • Wanita Kedua   Exp Angga-Dina: Kejutan

    “Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Sehangat Mentari

    Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Tak Terduga

    Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Malam Panjang

    Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Teman?

    Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Kotak Biru

    Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Move on

    Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Jawaban?

    Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda

DMCA.com Protection Status